Menu­rut Engel (Dinas­tu­ti, 2008), meny­atakan bah­wa emo­tion­al abuse meru­pakan suatu ben­tuk kek­erasan menyeli­nap di masyarakat, yang bila dib­iarkan akan men­ja­di kek­erasan fisik ataupun non fisik. Emo­tion­al abuse meru­pakan sikap atau per­lakuan sese­o­rang kepa­da orang lain yang dap­at men­gak­i­batkan orang lain merasa tidak nya­man secara psikolo­gi. Ben­tuk per­lakuan ini mis­al­nya men­gan­cam, mema­nip­u­lasi, hing­ga menghi­na. Ben­tuk dari emo­tion­al abuse pada kor­ban bisa beru­pa per­i­laku kor­ban yang dikon­trol, diin­tim­i­dasi, ditak­lukkan, diren­dahkan, dihukum, dan diku­cilkan melalui kri­tik yang terus menu­rus dilem­parkan secara halus baik melalui peman­faatan rasa takut, penghi­naan, intim­i­dasi, rasa bersalah, pemak­saan, atau manip­u­lasi. Dap­at dis­im­pulkan bah­wa emo­tion­al abuse memi­li­ki ciri yang ham­pir sama den­gan pele­ce­han ver­bal, yakni berben­tuk penghi­naan pada kehidu­pan prib­a­di seseorang.

Pada usia rema­ja ataupun pada orang dewasa, suatu hal yang nor­mal apa­bi­la memi­li­ki suatu hubun­gan spe­sial den­gan orang lain. Tetapi tahukah kalian bah­wa tidak sedik­it dari kita per­nah men­gala­mi keja­di­an kurang menye­nangkan di dalam hubun­gan, entah itu ben­tuk pele­ce­han fisik maupun pele­ce­han ver­bal. Baik men­ja­di pelaku ataupun kor­ban, ser­ingkali kita tidak menyadari sedang bera­da dalam hubun­gan yang tidak sehat. Pada­hal jika dil­i­hat kem­bali hubun­gan yang tejalin ber­jalan den­gan den­gan rasa tidak nya­man, ketaku­tan, bahkan kepedi­han yang dirasakan oleh salah satu pihak.

Ada beber­a­pa tan­da yang bisa dike­tahui sejak dini apakah hubun­gan yang ada ter­jalin den­gan baik atau tidak. Hubun­gan ini bisa ter­jalin antar pasan­gan maupun per­sa­ha­ban. Salah sat­un­ya yakni ker­ap memerik­sa pon­sel atau email dan jaringan sosial media tan­pa izin. Hal ini mungkin ter­li­hat san­gat sepele, namun jika diper­hatikan kem­bali hal terse­but sebe­narnya melang­gar pri­vasi yang kita punya.

Ser­ing mere­mehkan, bahkan sam­pai menghi­na. Mem­bu­at tuduhan pal­su seper­ti menye­barkan rumor ten­tang orang lain yang bertu­juan untuk men­gan­cam atau mem­permalukan­nya di depan pub­lik. Menen­tukan semua kepu­tu­san secara sepi­hak. Ser­ta men­gala­mi peruba­han suasana hati yang secara men­dadak. Pada dasarnya sebuah hubun­gan apapun seharus­nya dilan­dasi den­gan rasa sal­ing meng­har­gai (respect) satu sama lain, dan sal­ing per­caya, men­dukung satu sama lain , dan bukan sal­ing menguasai.

Jika dil­i­hat kem­bali, ada banyak fak­tor penye­bab muncul­nya emo­tion­al abuse pada sese­o­rang. Salah sat­un­ya ialah trau­ma masa lalu yang per­nah dihadap oleh si pelaku, Tin­dakan yang diter­i­ma anak akan terekam di alam bawah sadarnya sehing­ga mem­o­ri terse­but dibawanya sam­pai mere­ka dewasa. Sehing­ga menye­babkan pelaku di masa akan datang melampiaskan hal seru­pa ter­hadap orang lain. Selain itu ada pula fak­tor ekono­mi, pada umum­nya kek­erasan rumah tang­ga dipicu oleh kemiski­nan dan tekanan dari kebu­tuhan sehari-hari. Hal ini men­ja­di salah satu cara calon pelaku men­da­p­atkan traumanya.

Emo­tion­al abuse memi­li­ki dampak yang sulit untuk dihi­langkan bagi kor­ban, apala­gi di dalam lingkun­gan perte­m­anan. Biasanya sese­o­rang yang telah men­gala­mi emo­tion­al abu­sive juga men­gala­mi kek­erasan atau pele­ce­han dalam ben­tuk lain­nya. Seper­ti puku­lan, hing­ga kek­erasan sek­su­al. Ada­pun dampak lain­nya yang bisa dida­p­atkan keti­ka ia men­ja­di kor­ban yakni menu­run­nya rasa per­caya kepa­da orang baru (trust issue), sulit mem­u­lai perte­m­anan den­gan orang baru, men­gala­mi gang­guan kece­masan berlebi­han, rasa sak­it dan nyeri pada tubuh, sulit untuk berkon­sen­trasi, peruba­han suasana hati yang san­gat cepat, sulit tidur, mimpi buruk, hing­ga men­gala­mi kete­gan­gan otot. Menu­rut artikel yang dilan­sir oleh popbela.com, apa­bi­la kita mulai menyadari bera­da di dalam hubun­gan perte­m­anan yang men­garah ke emo­tion­al abuse, kalian bisa melakukan beber­a­pa cara seper­ti mem­berikan batasan diri sendiri ter­hadap orang terse­but, jan­gan ter­lalu ser­ing menol­er­an­si semua sikap dan per­bu­atan pelaku. Selain itu ubah pri­o­tas, jan­gan men­dahu­lukan keper­lu­an dan men­jadikan pelaku seba­gai tujuan uta­ma dari semua uru­san kehidu­pan prib­a­di. Jan­gan per­nah berhubun­gan kem­bali den­gan pelaku emo­tion­al abuse, walaupun sang pelaku mem­berikan berba­gai macam bujukan. Apa­bi­la pelaku telah bert­ingkah ter­lalu jauh, kelu­ar­lah dari hubun­gan terse­but. Bila memu­ngkinkan, putuskan hubun­gan den­gan pelaku untuk semen­tara wak­tu. Jan­gan per­nah takut untuk mengam­bil kepu­tu­san yang tepat keti­ka bera­da di posisi men­ja­di kor­ban. Kare­na keba­ha­giaan dan kese­hatan­mu lebih uta­ma dan jauh lebih pent­ing dari yang lain.

Penulis: Septi­na
Edi­tor: Nurul