Sore itu aku kemasi baju-baju pen­ing­galan almarhum Ibu. Den­gan tan­gan yang berg­er­ak lam­ban dan seman­gat yang mulai patah aku masukkan ke dalam tas ransel. Raut wajahku kali ini diliputi den­gan suasana sedih yang begi­tu men­dalam. Aku tengge­lam begi­tu lama dalam laut kesedi­han. Hari itu ter­pak­sa harus berhen­ti bek­er­ja di restoran tem­pat aku bek­er­ja. Hal ini dikare­nakan pemi­lik restoran memi­li­ki banyak hutang dari bis­nis­nya yang lain yaitu toko oleh-oleh khas Semarang. Pemi­lik restoran beren­cana akan bant­i­ng stir ker­ja di perusa­haan tem­pat teman­nya di Jakarta.

Hari itu aku sung­guh menye­sal per­nah mela­mar ker­ja seba­gai chef di restoran yang akan ditut­up. Aku per­nah jadi som­bong den­gan peng­hasi­lan per­ta­maku saat bek­er­ja di restoran itu. Keti­ka per­ta­ma men­da­p­at gaji di restoran itu aku lupa untuk pulang ke rumah orang tuaku sekedar mem­ba­ha­giakan mereka.

Mes­ki ada penye­salan dalam diriku aku per­caya bah­wa diba­lik semua peri­s­ti­wa itu ada ren­cana Tuhan yang lebih indah. Aku per­caya Tuhan pun­ya turut bek­er­ja dalam segala perkara untuk men­datangkan kebaikan. Melalui peri­s­ti­wa itu Tuhan men­ga­jariku untuk ren­dah hati saat men­jalani pem­ber­hent­ian kerja.

Pem­ber­hent­ian ker­ja dari restoran tem­pat aku ker­ja mem­bu­at aku sadar bah­wa  hanya Tuhan satu-sat­un­ya tem­pat untuk berharap. Aku tidak boleh berharap pada har­ta atau manu­sia. Sebab har­ta dan manu­sia itu bisa datang dan per­gi. Saat ini aku bera­da pada titik teren­dah dalam hidup. Aku mere­nungkan semua yang ter­ja­di. Aku masih tengge­lam dalam laut kesedi­han. Dalam detik per­jalanan hidup­ku ini ada rasa gagal. Ada rasa ren­dah dalam diri.

Sore itu piki­ranku begi­tu kacau. Aku tak tau akan melangkah ke mana. Pada­hal aku pun­ya istri dan dua anak. Aku masih pun­ya tang­gung jawab pada kelu­ar­ga. Aku hanya memi­li­ki satu sepe­da motor dan satu rumah kontrakan.

Den­gan rasa penye­salan dan piki­ran yang kacau aku pulang men­gen­darai sepe­da Motor Revo-ku. Sepe­da motorku ini hasil dari aku bek­er­ja sela­ma 10 tahun bek­er­ja di Kafe daer­ah Semarang. Di per­jalanan pulang ke rumah aku berdoa kepa­da Tuhan dalam hati pada Tuhan agar istriku mam­pu mener­i­ma keny­ataan ini.

Arah per­jalanan ke rumah mele­wati toko-toko, hotel dan bank. Angin sore kali ini begi­tu lem­but menya­paku. Aku merasakan kese­jukan udara saat itu. Di ten­gah per­jalanan pulang aku meli­hat ada dua warung makan baru . Warung makan itu berna­ma “Ada Per­to­lon­gan Tuhan” dan “Jan­gan Meny­er­ah”. Aku kaget saat itu pan­dan­gan mataku meli­hat dua nama warung makan itu. Aku pikir pemi­lik warung makan pun­ya mak­sud den­gan mem­beri nama yang tak biasa.

Per­jalanan pulang sore itu seman­gat hidup­ku kem­bali bangk­it keti­ka meli­hat dua nama yang ter­tulis di ten­da warung makan itu. Nama dua warung makan itu mengin­gatkanku untuk tidak meny­er­ah dalam hidup kare­na per­to­lon­gan Tuhan selalu ada. Aku sung­gu bersyukur per­jalanan pulang sore itu diwar­nai den­gan sem­na­gat baru. Aku merasa ada momen yang tepat saat mulai kehi­lan­gan harapan.

Menit berikut­nya pada per­jalanan hing­ga 1 km tiba-tiba pan­dan­gan mataku ter­tu­ju pada seo­rang pemu­da ber­jalan di tro­toar berlawan arah den­ganku tersenyum meli­hatku. Senyum­nya yang tulus menyi­ta per­ha­tianku. Dan aku meli­hat pemu­da itu men­ge­nakan kaos bertuliskan “Jan­gan Gelisah”.

Meli­hat pemu­da itu aku ikut tersenyum dan perasaanku mulai ten­ang. Aku per­caya bah­wa  per­jalanan pulang kali ini Tuhan men­gir­im orang baik. Tuhan men­gir­im pemu­da itu supaya aku bela­jar ten­ang untuk hadapi seti­ap per­soalan, kare­na di dalam ting­gal ten­ang itu­lah letak kekuatanku.

Dalam per­jalanan menu­ju ke rumah aku terkadang berpikir bah­wa masih ada titik terang di seti­ap masalah. Masih ada momen-momen indah mengin­gatkanku bah­wa Tuhan itu selalu baik dalam segala keadaan.

Saat per­jalanan pulang ke rumah aku masih teringat saat per­ta­ma kali diter­i­ma seba­gai karyawan di restoran itu. Masa-masa itu sung­guh aku san­gat berba­ha­gia. Saat diter­i­ma ker­ja di restoran itu aku juga dikaru­ni­ai satu orang anak laki-laki.

            “Sela­mat ya pak awal bulan ini bisa ker­ja di sini.” Ucap Kepala Restoran.

            “Ter­i­makasih ya saya sudah bisa diter­i­ma ker­ja sini.” Jawabku.

Kenan­gan wak­tu itu sung­guh mem­bekas . Per­ta­ma kalinya ker­ja di restoran sete­lah aku melepas  peker­jaan lamaku seba­gai chef di Kafe daer­ah dekat UNDIP Semarang den­gan gaji yang cukup tinggi.

Menit demi menit per­jalanan pulangku kenan­gan itu beru­lang-ulang kem­bali dalam ingatanku. Kenan­gan itu mem­bu­atku bela­jar bah­wa kesem­patan itu masih ada jika mau men­co­ba. Dan dari kenan­gan itu juga aku bela­jar bah­wa dalam tiap peker­jaan yang diter­i­ma ada pen­gala­man man­is dan pahit.

Pada titik ini aku hanya ingin bela­jar bersyukur bah­wa pen­gala­man hidup itu men­ga­jariku untuk tetap sabar. Sabar mener­i­ma semua keny­ataan yang telah ter­ja­di. Dan dari pen­gala­man pahit aku pun bela­jar bah­wa hidup tak selalu mulus jalan­nya. Terkadang aku jatuh di ten­gah jalan. Tapi dari yang diala­mi tetap masih ada hal-hal baik yang harus disyukuri.

Seten­gah jam sudah aku mele­wati per­jalanan pulang. Aku tiba di rumah berjumpa istri dan anak-anakku. Aku bela­jar untuk tetap tersenyum apapun kondisinya.

Aku ingin istri dan anak-anakku tetap baha­gia hari ini. Aku ingin mere­ka tetap bisa bersyukur. Aku ingin mere­ka tetap menerimaku.

            “Sara istriku ini Mas Yoga sudah pulang. Masak apa hari ini ?” tanyaku basa-basi.

            “Oh…Mas Yoga baru pulang jam segi­ni. Aku masak  sup jagung kesukaan­mu. Jawab Sara.

            “Oh…ya Sara trimakasih.

Beber­a­pa detik sete­lah­nya aku mem­beranikan diri untuk mem­bu­ka obrolan.

            “Sar, Sara…Mas Yoga mau ngo­b­rol ben­tar.” Ucap­ku sam­bil terbata-bata.

            “ Iya mas ngo­b­rol saja.” Ucap Sara sam­bil beres-beres meja makan.

            “Sara…maafkan Mas Yoga ya. Mas Yoga hari ini berhen­ti bek­er­ja.” Cetusku sam­bil tertunduk.

Sara lang­sung mem­ber­hen­tikan kesi­bukan­nya dan raut mukanya berubah men­ja­di gelisah.

Oh iya, Mas. Aku nggak per­caya Mas Yoga berhen­tii bek­er­ja. Kena­pa, Mas? Tanya Sara lirih.

            “Restoran tem­pat Mas ker­ja ditut­up. Kare­na pemi­lik restoran pun­ya hutang banyak.” Jawabku terus terang.

            “Jujur aku kaget, Mas.” Ucap Sara den­gan mata yang sedik­it berkaca-kaca.

            “Sara …tak usah gelisah. Mas Yoga masih pun­ya tabun­gan dan sepe­da motor. Ren­cana mas mau buka usa­ha warung makan ayam goreng di depan rumah dan jadi dri­ver gojek. Mas Yoga per­caya ada mak­sud baik Tuhan diba­lik semua masalah ini. Tuhan tetap bek­er­ja di tiap masalah hidup kita. Dia pasti tetap melin­dun­gi kita. Asal kita tetap hidup untuk menabur kebaikan.”

Penulis: Devi­ta Andriyani
Edi­tor: Novinda