Bayangkan, ketika matamu terpejam Ikhlas atau terpaksa karena kalut
Tubuhmu dipaksa untuk berlutut
Lalu sahutan takbir “Allahuakbar!”
Kau telah menyadari tubuhmu telah tersungkur
Dan nadimu sudah terkoyak
Dan kau melihat untuk terakhir kalinya
Tetanggamu sendiri yang memegang parang
Kau mencoba untuk mengingat,
Ternyata wajah itu adalah wajah yang sama seperti yang biasa kau lihat di balai desa
Kau hanya Karni
Seorang pemberontak dari Trenggalek
Pemberontak yang tak bertuhan
Seorang kafir pengkhianat
Aku, temanku, keluargaku disiksa
Ya, oleh mereka yang mendaku nasionalis dan agamis
Nahasnya mereka sampai kini masih eksis
Rijalul anshor masih bisa kita rayakan sampai hari ini
Mereka mendengungkan “Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon”
Aku merintih “ampuni aku!”
Mereka lebih keras lagi “Hubbul Wathon Minal Iman”
Aku tak percaya “jangan kau bunuh istriku!”
Sialnya mereka masih meneruskan “Wala Takun minal Hirman”
Tangis anakku menjadi kombinasi nyanyian yang mengerikan
Terakhir “Inhadlu alal wathon”
Permohonanku yang terakhir “ampuni Aku”
Lantas, Begitulah nasionalisme yang pernah ada di agamamu
Begitukah yang kalian yakini?
Penulis: Gea
Editor: Novinda