Poliga­mi ker­ap men­ja­di top­ik perde­batan hangat di masyarakat Mus­lim. Seba­gian kalan­gan meli­hat­nya seba­gai prak­tik yang sah dan dibenarkan aga­ma, semen­tara yang lain meni­lai poliga­mi lebih banyak meng­hadirkan luka sosial, teruta­ma bagi perem­puan. Perde­batan ini tidak hanya menyen­tuh ranah hukum Islam, tetapi juga aspek sosial, ekono­mi, dan psikologis.

Dalam per­spek­tif hukum Islam, poliga­mi memang memi­li­ki lan­dasan yang jelas,  meru­juk pada Surah An-Nisa ayat 3 yang mem­berikan ruang bagi seo­rang laki-laki untuk menikahi hing­ga empat istri den­gan syarat mam­pu berlaku adil. Namun, inter­pre­tasi ter­hadap ayat ini terus men­ja­di perde­batan, kare­na kead­i­lan yang dimak­sud tidak hanya berkai­tan den­gan materi, tetapi juga menyangkut aspek emo­sion­al dan per­ha­t­ian. Hal ini mem­bu­at para ula­ma berbe­da pen­da­p­at dalam menaf­sirkan sejauh mana poliga­mi dap­at dijalankan tan­pa menim­bulkan mudarat bagi pihak-pihak yang terlibat.

Di sisi lain, dari aspek sosial dan psikol­o­gis, poliga­mi ser­ing dikri­tik kare­na berpoten­si melahirkan keti­dak­sta­bi­lan dalam rumah tang­ga. Rasa cem­bu­ru, keti­dakadi­lan emo­sion­al, dan per­sain­gan antar istri ker­ap muncul, sehing­ga memu­nculkan dampak psikol­o­gis yang serius, teruta­ma bagi perem­puan dan anak-anak. Lebih jauh, dalam masyarakat mod­ern, poliga­mi ser­ing dipan­dang tidak selaras den­gan nilai-nilai kese­taraan gen­der yang ten­gah diper­juangkan. Perem­puan diang­gap lebih rentan men­gala­mi mar­gin­al­isasi dalam perkaw­inan poliga­mi, kare­na posisi mere­ka ser­ingkali men­ja­di sub­or­di­nat di bawah otori­tas laki-laki.

Dalam kon­teks negara mod­ern, poliga­mi bahkan ser­ingkali berhada­pan den­gan hukum posi­tif yang lebih menekankan monoga­mi seba­gai asas perkaw­inan. Con­tohnya di Indone­sia, meskipun Undang-Undang Perkaw­inan Nomor 1 Tahun 1974 masih mem­berikan pelu­ang poliga­mi den­gan syarat ter­ten­tu, tetapi prak­tiknya diper­sulit agar tidak dilakukan secara sem­barangan. Den­gan demikian, poliga­mi bukan hanya sekadar isu aga­ma, melainkan juga menyangkut relasi sosial, hak asasi manu­sia, ser­ta per­lin­dun­gan hukum ter­hadap perem­puan dan anak.

Poliga­mi seba­gai salah satu prak­tik perkaw­inan dalam tra­disi Islam selalu menim­bulkan polemik yang kom­pleks. Meskipun memi­li­ki lan­dasan hukum aga­ma, prak­tik ini tidak bisa dilepaskan dari real­i­tas sosial dan hukum posi­tif di Indone­sia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang meru­pakan revisi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ten­tang Perkaw­inan, dite­gaskan bah­wa asas perkaw­inan di Indone­sia adalah monoga­mi, namun poliga­mi tetap dimungkinkan dalam kon­disi ter­ten­tu. Pasal 3 ayat (2) menye­butkan bah­wa seo­rang sua­mi dap­at beristri lebih dari satu apa­bi­la dike­hen­da­ki oleh pihak-pihak terkait dan diizinkan oleh pen­gadi­lan. Akan tetapi, syarat yang dite­tap­kan cukup ketat, mis­al­nya harus men­da­p­at per­se­tu­juan istri per­ta­ma, adanya alasan yang sah, ser­ta kemam­puan sua­mi untuk mem­berikan nafkah dan berlaku adil. Atu­ran ini mem­per­li­hatkan bah­wa negara pada dasarnya berusa­ha mem­bat­asi prak­tik poliga­mi agar tidak menim­bulkan keti­dakadi­lan, khusus­nya ter­hadap perempuan.

Jika dit­in­jau dari per­spek­tif gen­der, poliga­mi menim­bulkan berba­gai polemik kare­na mem­per­li­hatkan ketim­pan­gan relasi kuasa antara laki-laki dan perem­puan. Dalam budaya patri­arkis, poliga­mi diang­gap seba­gai hak istime­wa laki-laki yang tidak bisa digu­gat. Pada­hal, jika dil­i­hat dari sudut pan­dang kead­i­lan gen­der, prak­tik ini rentan men­em­patkan perem­puan dalam posisi sub­or­di­nat. Perem­puan ser­ingkali tidak memi­li­ki ruang yang setara untuk menyuarakan pen­da­p­at­nya, baik dalam mener­i­ma maupun meno­lak poliga­mi. Dalam banyak kasus, per­se­tu­juan istri per­ta­ma hanya for­mal­i­tas bela­ka kare­na adanya tekanan sosial, ekono­mi, maupun psikol­o­gis. Hal ini jelas menun­jukkan buk­ti kesen­jan­gan gen­der yang berten­tan­gan den­gan prin­sip kesetaraan.

Dalam per­spek­tif fem­i­nisme, poliga­mi dipan­dang seba­gai insti­tusi sosial yang poten­sial mengekalkan dom­i­nasi laki-laki jika tidak diawasi den­gan ketat. Fem­i­nisme lib­er­al, mis­al­nya, menekankan bah­wa seti­ap indi­vidu — baik laki-laki maupun Perem­puan — memi­li­ki hak yang sama untuk menen­tukan pil­i­han hidup, ter­ma­suk dalam perkaw­inan. Poliga­mi, dalam pan­dan­gan ini, hanya dap­at diter­i­ma jika semua pihak yang ter­li­bat benar-benar menyetu­juinya tan­pa pak­saan, ser­ta memi­li­ki kesem­patan yang setara untuk mem­per­oleh keba­ha­giaan dan kead­i­lan. Semen­tara itu, fem­i­nisme radikal meli­hat poliga­mi seba­gai ben­tuk penin­dasan secara struk­tur­al ter­hadap perem­puan, kare­na ham­pir tidak ada ruang bagi perem­puan untuk memi­li­ki “hak poliga­mi” yang sama. Den­gan demikian, poliga­mi lebih dipan­dang seba­gai ben­tuk keti­dakadi­lan sis­temik yang per­lu dibatasi demi melin­dun­gi hak-hak perempuan.

Namun, pent­ing untuk digaris­bawahi bah­wa per­spek­tif fem­i­nisme tidak ser­ta-mer­ta men­gang­gap perem­puan seba­gai kor­ban pasif. Dalam banyak kasus, perem­puan juga memi­li­ki agen­si untuk meno­lak atau mener­i­ma poliga­mi sesuai den­gan pil­i­han hidup­nya. Fem­i­nisme kon­tem­por­er lebih menekankan pada upaya men­cip­takan kese­taraan struk­tur­al agar perem­puan tidak dipak­sa masuk dalam sis­tem perkaw­inan yang merugikan dirinya.

Dalam kon­teks hukum di Indone­sia, pen­gat­u­ran poliga­mi yang men­syaratkan izin istri per­ta­ma dan per­se­tu­juan pen­gadi­lan meru­pakan langkah posi­tif untuk mem­berikan per­lin­dun­gan hukum bagi perem­puan. Mes­ki demikian, masih ter­da­p­at celah dalam imple­men­tasi hukum, teruta­ma di daer­ah-daer­ah den­gan budaya patri­arkis yang kuat, di mana suara perem­puan ser­ingkali tidak diang­gap penting.

Jika dil­i­hat dari sisi kead­i­lan sosial, prak­tik poliga­mi yang tidak dikelo­la den­gan baik dap­at menim­bulkan masalah serius. Perem­puan berpoten­si men­gala­mi tekanan psikol­o­gis seper­ti kecem­bu­ru­an, rasa ter­p­ing­girkan, hing­ga penu­runan kual­i­tas hidup. Anak-anak yang lahir dari kelu­ar­ga poliga­mi juga ser­ing meng­hadapi dampak sosial beru­pa kurangnya per­ha­t­ian, kon­flik rumah tang­ga, dan keti­dak­sta­bi­lan emosional.

Oleh kare­na itu, dari per­spek­tif fem­i­nisme, solusi yang ditawarkan adalah men­cip­takan kerang­ka hukum yang lebih kuat untuk melin­dun­gi hak-hak perem­puan, memas­tikan par­tisi­pasi mere­ka dalam pengam­bi­lan kepu­tu­san, ser­ta mem­perku­at nilai kese­taraan dalam perkaw­inan. Den­gan cara ini, poliga­mi tidak lagi dil­i­hat seba­gai hak istime­wa laki-laki, tetapi seba­gai pil­i­han yang hanya dap­at dijalankan keti­ka semua pihak setara dan mem­per­oleh per­lin­dun­gan hukum ser­ta sosial yang adil.

Poliga­mi meru­pakan isu yang kom­pleks kare­na menyen­tuh ranah aga­ma, sosial, hukum, dan psikol­o­gis. Mes­ki Islam mem­bolehkan­nya den­gan syarat kead­i­lan, prak­tik di lapan­gan ser­ing menim­bulkan keti­dak­se­taraan, teruta­ma bagi perem­puan. UU No. 16 Tahun 2019 telah mene­gaskan asas monoga­mi, namun tetap mem­beri ruang ter­batas untuk poliga­mi den­gan syarat ketat.

Dari per­spek­tif gen­der dan fem­i­nisme, poliga­mi harus dika­ji secara kri­tis agar tidak mem­perku­at patri­ar­ki. Perem­puan harus dipan­dang setara, bebas dari tekanan, dan dilin­dun­gi hak-haknya. Den­gan demikian, poliga­mi hanya dap­at diter­i­ma jika benar-benar men­jun­jung kese­taraan dan kead­i­lan bagi semua pihak.

Penulis: Gea Oktavia Ramad­hani
Ilus­tra­tor: Cindy Dewi Kusuma
Edi­tor: Musto­fa Ismail