RUU Peng­ha­pu­san Kek­erasan Sek­su­al (PKS) ditarik dari Pro­gram Leg­is­lasi Nasion­al (Pro­leg­nas) 2020 den­gan alasan pem­ba­hasan­nya yang sulit. Para aktivis dan pen­dukung RUU PKS tidak meny­er­ah, mere­ka mulai meng­gu­nakan foto pro­fil berwar­na ungu di media sosial­nya seba­gai sebuah ger­akan agar DPR mema­sukkan RUU PKS ke dalam Pro­leg­nas 2021. 

Hal ini ten­tu saja bukan tan­pa alasan. Berdasarkan data yang dim­i­li­ki oleh Kom­nas Perem­puan, pada tahun 2018 angka kasus kek­erasan sek­su­al di Indone­sia men­ca­pai 348.466 dan pada 2019 men­gala­mi pen­ingkatan men­ja­di 406.178 kasus. Ter­da­p­at berba­gai polemik dari pihak pro dan kon­tra terkait kasus pele­ce­han sek­su­al ini. Namun, pada fak­tanya pele­ce­han sek­su­al biasa ter­ja­di pada sia­pa saja tan­pa kenal usia dan di mana saja.

Tidak menut­up kemu­ngk­i­nan bah­wa kasus pele­ce­han sek­su­al bisa ter­ja­di di lingkun­gan akademik seper­ti per­gu­ru­an ting­gi. Menu­rut data pele­ce­han yang ter­ja­di di lingkun­gan kam­pus memi­li­ki angka yang lebih banyak diband­ingkan lingkun­gan akademik lain. Pele­ce­han sek­su­al di lingkun­gan kam­pus ser­ing ter­ja­di kare­na adanya ketim­pan­gan kekuasaan dalam relasi gen­der, mis­al­nya antara dosen laki-laki dan mahasiswi. 

Kasus yang per­nah ter­ja­di seper­ti pele­ce­han yang dilakukan oleh dosen Fakul­tas Hukum Uni­ver­si­tas Mataram, kasus pele­ce­han dosen Fakul­tas Ilmu Sosial dan Poli­tik (Fisipol) UGM berin­isial EH, kasus pele­ce­han yang dilakukan oleh oknum CPNS dosen UIN Alaud­din Makas­sar, dll. 

Di sisi lain, pele­ce­han sek­su­al di lingkun­gan kam­pus bisa ter­ja­di antara maha­siswa senior yang meman­faatkan posisinya pada maha­siswi-mahasi­wi yang rentan. Seper­ti kasus yang ter­ja­di di UII Yogyakar­ta dan yang baru-baru ini ter­ja­di adalah kasus dugaan pele­ce­han sek­su­al yang dilakukan oleh salah satu maha­siswa senior di kam­pus IAIN Tulungagung. 

Kasus dugaan pele­ce­han di IAIN Tulun­ga­gung terungkap saat salah seo­rang kor­ban mencer­i­takan ten­tang per­cobaan perkosaan yang dialaminya pada Kru Lem­ba­ga Pers Maha­siswa (LPM) Dimen­si pada tang­gal 3 Sep­tem­ber 2020. Hal ini dikare­nakan kam­pus belum memi­li­ki lem­ba­ga khusus untuk men­gadukan kasus pele­ce­han atau kek­erasan sek­su­al. Pada­hal, meli­hat beber­a­pa kasus pel­cehan dan kek­erasan sek­su­al yang viral akhir-akhir ini sep­a­tut­nya kam­pus sudah mengam­bil langkah untuk melakukan tin­dakan pence­ga­han kek­erasan seksual. 

Berdasarkan lapo­ran yang diberikan, kor­ban ker­ap kali men­da­p­atkan vik­timisasi seti­ap kali ingin angkat bicara dan men­gungkap­kan keja­di­an buruk yang dialaminya. Bahkan, saat kor­ban mela­por pada dua dosen yang ia per­caya, dua dosen terse­but jus­tru menang­gapi den­gan narasi yang menyudutkan kor­ban seo­lah-olah kor­ban juga bersalah. Respon seru­pa juga sem­pat diberikan pada pihak kam­pus Uni­ver­si­tas Gad­jah Mada (UGM) saat ada adu­an dari maha­siswanya ten­tang kasus pele­ce­han sek­su­al yang ter­ja­di di kam­pus. Pihak kam­pus UGM baru mem­berikan penan­ganan sete­lah kasus terse­but men­ja­di viral dan diber­i­takan oleh media-media besar di Indonesia. 

93% Kor­ban Pele­ce­han Sek­su­al Tidak Mela­porkan Kasusnya

Berdasarkan tulisan yang dipub­likasikan oleh Fakul­tas Psikolo­gi Uni­ver­si­tas Surabaya dan Savy Ami­ra Women’s Cri­sis Cen­ter yang menin­jau sisi psikol­o­gis dari kasus pele­ce­han sek­su­al, ada berba­gai alasan yang mem­bu­at seo­rang kor­ban pele­ce­han memil­ih bungkam alih-alih mela­porkan kasus­nya. Seo­rang kor­ban yang mela­porkan kasus pele­ce­han yang dialaminya ker­ap kali men­da­p­atkan penyangkalan dari insti­tusi, keti­dakper­cayaan, dan tin­dakan yang jus­tru mem­per­salahkan korban. 

Menu­rut survei, hanya 7% kasus pele­ce­han sek­su­al yang dila­porkan dari keselu­ruhan kasus pele­ce­han sek­su­al yang ter­ja­di di Indone­sia. Seba­gian besar kor­ban eng­gan mela­porkan kasus­nya kare­na perasaan takut dis­alahkan, takut tidak didukung kelu­ar­ga, dan adanya intim­i­dasi atau anca­man dari pelaku. 

Pada kasus pele­ce­han sek­su­al yang ter­ja­di di IAIN Tulun­ga­gung, sete­lah ditelisik lebih lan­jut ter­da­p­at tiga kor­ban lain den­gan pelaku yang sama. Namun keti­ga kor­ban terse­but eng­gan mela­por dan lebih memil­ih bungkam kare­na trau­ma psikol­o­gis. Per­masala­han semacam ini ten­tu tidak akan ter­ja­di jika pihak kam­pus memi­li­ki biro atau lem­ba­ga pelayanan khusus seba­gai tem­pat pen­gad­u­an, pen­dampin­gan, dan pemuli­han kor­ban pele­ce­han dan kek­erasan sek­su­al seper­ti yang sudah dit­er­ap­kan di beber­a­pa kam­pus lain.

Menu­rut per­spek­tif psikolo­gi, pelaku pele­ce­han sek­su­al adalah orang-orang yang merasa dirinya “berar­ti” keti­ka mere­ka men­da­p­atkan kepuasan dari tin­dakan meren­dahkan sese­o­rang secara sek­su­al. Dalam melakukan aksinya, pelaku berin­isial MAA meng­gu­nakan posisinya seba­gai senior untuk mema­nip­u­lasi dan mem­per­daya maha­siswi-maha­siswi tingkat di bawahnya. 

MAA tidak hanya melakukan pele­ce­han fisik pada kor­ban­nya tapi juga ser­ingkali men­gir­i­mi pesan bernu­ansa sek­su­al. MAA juga melakukan intim­i­dasi dan men­gan­cam kor­ban den­gan berba­gai cara untuk mene­gaskan bah­wa dirinya lebih berkuasa dan juga untuk melin­dun­gi dirinya sendiri.

Menang­gapi kasus pele­ce­han sek­su­al di kam­pus IAIN Tulun­ga­gung, ada pihak yang telah berin­isi­atif mem­ben­tuk sebuah Layanan Tang­gap dan Pence­ga­han Kek­erasan Sek­su­al, IAIN TA Bersuara. Namun layanan ini terny­a­ta adalah ger­akan yang diin­isi­asi pihak maha­siswa dalam menang­gapi kasus pele­ce­han sek­su­al yang baru per­ta­ma kali terkuak di kam­pus, bukan­nya inisi­asi dari pihak kam­pus terkait yang seharus­nya berg­er­ak lebih cepat untuk melakukan tin­dakan dalam menan­gani kasus pele­ce­han seksual. 

Ter­lebih den­gan sikap pihak-pihak terkait yang terke­san tidak tang­gap dalam menyikapi kasus ini. Pihak kam­pus bahkan telah mewisu­da MAA via dar­ing sete­lah lapo­ran ten­tang pele­ce­han sek­su­al ini dis­er­ahkan ke pihak kam­pus. Beber­a­pa pihak akademik yang seharus­nya men­jem­bat­ani antara kor­ban dan kam­pus ser­ta turut mengam­bil andil dalam men­cip­takan kead­i­lan di kam­pus jus­tru men­yarankan kor­ban untuk memaafkan pelaku dan memaafkan diri sendiri. Entah dise­babkan wawasan mere­ka ten­tang kasus pele­ce­han sek­su­al yang masih min­im atau tidak ingin kasus ini men­ja­di besar dan men­coreng nama baik IAIN Tulun­ga­gung yang saat ini sedang bertrans­for­masi men­ja­di UIN.

Pada­hal Kom­nas Perem­puan men­catat sudah ada banyak Per­gu­ru­an Ting­gi yang men­gelu­arkan Surat Kepu­tu­san (SK) Rek­tor ten­tang kebi­jakan dalam menan­gani kasus pele­ce­han sek­su­al di kam­pus­nya. Berdasarkan keteran­gan yang dida­p­atkan LPM Dimen­si, pada tang­gal 16 Novem­ber 2020, Wak­il Rek­tor 3 bagian Kema­ha­siswaan IAIN Tulun­ga­gung meng­in­for­masikan bah­wa Per­at­u­ran Rek­tor ten­tang Anti Kek­erasan Sek­su­al sudah ditan­datan­gani oleh Rek­tor. Ada­pun naskah sali­nan­nya kini sudah bera­da di tan­gan Pusat Stu­di Gen­der dan Anak (PSGA).

Tin­dakan penan­ganan yang diam­bil kam­pus pada kasus pele­ce­han sek­su­al ini juga tidak tepat. Yang mana pada tang­gal 16 Novem­ber 2020, pihak kam­pus men­gadakan sidang yang mem­perte­mukan pelaku den­gan kor­ban. Kepu­tu­san kam­pus untuk mem­perte­mukan pelaku dan kor­ban adalah tin­dakan yang fatal. Kare­na den­gan mem­perte­mukan ked­ua pihak ini secara lang­sung ten­tu saja akan mengin­gatkan kor­ban pada trau­ma yang per­nah diala­mi sehing­ga akan mem­per­bu­ruk kon­disi psik­isnya. Meskipun pada akhirnya, sid­ing pada hari itu batal terlaksana.

Di lingkun­gan sosial dan masyarakat, masih banyak orang yang melakukan vik­timisasi pada kor­ban. Bukan­nya mem­berikan dukun­gan emo­sion­al, beber­a­pa orang ter­dekat kor­ban malah mem­per­tanyakan kepu­tu­san kor­ban yang mau per­gi berd­ua den­gan pelaku. Seper­ti di banyak kasus pele­ce­han di tem­pat lain di mana kor­ban jus­tru diberon­dong den­gan per­tanyaan yang menyudutkan dan cen­derung mele­cehkan, mem­bu­at kor­ban men­ja­di kor­ban untuk ked­ua kalinya oleh pihak yang seharus­nya melin­dunginya. Maka dari itu, kor­ban san­gat memer­lukan pen­dampin­gan dan pemuli­han psikis agar mam­pu melan­jutkan hidup­nya tan­pa rasa bersalah.

Sanksi sosial yang diberikan masyarakat umum­nya ter­ja­di kare­na cara mere­ka meman­dang perem­puan seba­gai kelom­pok kelas dua di masyarakat. Bukan raha­sia umum jika masyarakat kita masih suka menor­mal­isasi rape cul­ture atau budaya perkosaan, con­tohnya saja pada hal yang diang­gap pal­ing remeh seper­ti cat­call­ing. Alih-alih menun­tut laki-laki untuk men­gen­da­likan hawa naf­sun­ya, masyarakat kita jus­tru ser­ing menun­tut para perem­puan untuk men­ja­ga sikap dan paka­ian­nya demi men­ja­ga hawa naf­su para lela­ki bejat di luar sana. Maka dari itu, edukasi dari berba­gai pihak diper­lukan untuk menghen­tikan budaya patri­arkal ini. 

Kam­pus IAIN Tulun­ga­gung telah memi­li­ki Pusat Stu­di Gen­der dan Anak (PSGA) yang berdiri di bawah Lem­ba­ga Penelit­ian dan Pengab­di­an kepa­da Masyarakat (LP2M). Visi dan misi pendiri­an lem­ba­ga ini di antaranya adalah untuk mewu­jud­kan kese­taraan gen­der, mem­berikan edukasi pada sege­nap war­ga kam­pus dan masyarakat umum ten­tang per­spek­tif gen­der, dan juga pen­dampin­gan pada kelom­pok yang termarginalkan. 

Namun fak­tanya, PSGA terny­a­ta baru saja ban­gun dari tidur pan­jang sete­lah adanya kasus pele­ce­han sek­su­al ini. Kegiatan yang dilakukan PSGA tidak ter­lepas dari kegiatan admin­is­tratif dan tidak mem­berikan peruba­han per­spek­tif maha­siswa maupun dosen dalam meman­dang suatu kasus terkait gen­der, seper­ti kasus pele­ce­han sek­su­al yang terkuak baru-baru ini. 

Kam­pus IAIN Tulun­ga­gung mungkin per­lu berka­ca pada per­gu­ru­an ting­gi lain yang telah melakukan tin­dakan pence­ga­han dan pelayanan untuk kor­ban pele­ce­han sek­su­al, mis­al­nya seper­ti UIN Mataram. UIN Mataram memi­li­ki agen­da rutin beru­pa sem­i­nar yang ter­bu­ka untuk umum dalam rang­ka mem­berikan wawasan terkait gen­der dan mem­bu­ka sesi diskusi ter­hadap berba­gai kasus pele­ce­han dan kek­erasan sek­su­al yang kian marak ter­ja­di. Seper­ti pada tang­gal 19 Novem­ber 2020, pihak PSGA kam­pus UIN Mataram melang­sungkan sem­i­nar ke empatnya. 

Dalam rang­ka mewu­jud­kan lingkun­gan kam­pus yang ramah gen­der, UIN Mataram juga telah memi­li­ki lem­ba­ga khusus untuk pen­gad­u­an, pen­dampin­gan, dan pemuli­han kor­ban kek­erasan sek­su­al, SK Rek­tor ten­tang SOP penan­ganan kasus pele­ce­han sek­su­al, ser­ta men­gadakan Mata Kuli­ah Gen­der di beber­a­pa fakul­tas di kampusnya.

Penulis: Nadya Eka Nurlisa
Redak­tur: Nifa K. Fahmi