Kata “wacana” sering dipakai oleh berbagai kalangan, baik dalam studi bahasa, psikologi, sosiologi, politik dan lain sebagainya. Tak sedikit pula ahli yang memberikan batasan dan definisi berbeda mengenai hal ini. Dalam lapangan sosiologi, misal, wacana menunujuk pada hubungan antara konteks sosial dari pemakaian bahasa.
Berbeda dengan lingkup linguistik, wacana disebut sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Dalam lapangan psikologi sosial, wacana diartikan sebagai pembicaraan. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana berarti praktik pemakaian bahasa.
Meskipun terdapat banyak pengertian, titik singgung analisis wacana tetap berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Lantas, bagaimana bahasa dipandang dalam analisis wacana? Berikut penjelasan dari Mohammad A. S. Hikam mengenai bahasa dalam paradigma analisis wacana.
Pertama, kaum Positivis-Empiris yang memandang bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek diluar dirinya. Aliran ini memisahkan antara pemikiran dan realitas. Kaitannya dengan analisis wacana ialah seseorang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif dibalik pernyataan yang dipakai, sebab bagian pentingnya apakah penyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah semantik dan sintaksis.
Sedangkan, titik perhatian utamanya didasarkan pada benar tidaknya bahasa itu secara gramatikal. Wacana yang baik selalu mengandung kohesi (keserasian hubungan unsur-unsur dalam wacana) dan koherensi (kepaduan wacana sehingga membawa ide tertentu).
Contoh dalam kalimat, “Ani memukul temannya, dia menangis”. Kalimat ini koheren karna kita tahu ide apa yang hendak disampaikan, tapi kalimat ini tidak kohesi karena kata dia belum jelas merujuk pada siapa, Ani atau temannya.
Kedua, Konstruktivisme yang menolak pandangan empirisme, yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Bahasa dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Pernyataan-pernyataan ini pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna atau tindakan pembentukan dan pengungkapan jati diri sang pembicara.
Oleh karena itu, aliran ini mencoba membongkar maksud-maksud tertentu. Wacana di sini diartikan sebagai upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari Si Pembicara. Penafsiran makna tersebut dilakukan dengan mengikuti struktur makna dari Si Pembicara.
Ketiga, Kritis bermaksud mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna secara historis maupun institusional. Pandangan kontrukstivise dianggap belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana yang berperan membentuk jenis subjek dan perilakunya.
Sedangkan, dalam pandangan kritis individu dianggap sebagai subjek yang tidak bisa menafsirkan makna secara bebas. Mereka tidak lepas dari pengaruh kekuatan sosial yang ada di masyarakat. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek, tema wacana maupun strategi tertentu. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam proses bahasa.
Karakteristik Analisis Wacana Kritis
Dalam analisis wacana kritis, wacana bukan sekedar studi bahasa meskipun pada akhirnya analisis wacana tetap menggunakan bahasa. Dalam analisis wacana kritis, misal, bahasa tidak semata-mata digambarkan hanya dari aspek kebahasaan saja, tetapi juga dihubungkan dengan konteks. Artinya, bahasa dapat dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk praktik kekuasaan.
Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana sebagai bentuk dari praktik sosial. Hal ini dapat menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Melalui wacana, seperti rasis, seksis, dan ketimpangan dari kehidupan sosial dipandang sebagai common sense, atau suatu kewajaran/alamiah.
Analisis wacana kritis juga melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat. Inilah karakteristiknya: Pertama, wacana dipahami sebagai “tindakan”. Wacana diasosiasikan sebagai bentuk interaksi. Artinya, wacana tidak sekedar ditulis melainkan sebagai sarana untuk berinteraksi dengan orang lain. Orang tidak menulis untuk dirinya sendiri.
Kedua, konteks atau wacana perlu dipahami dan ditafsirkan dari kondisi dan lingkungan sosial yang mendasarinya. Ketiga, historis atau menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu. Artinya, wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan peristiwa yang menyertainya.
Keempat, kekuasaan atau setiap wacana yang muncul tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, atau netral tetapi sebagai bentuk pertarungan kekuasaan. Kelima, ideologi atau wacana tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral karena dalam wacana selalu terkandung ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh.
Pendekatan Analisis Wacana Kritis
Analisi wacana kritis memiliki beberapa pendekatan, yaitu pertama, analisis bahasa kritis (critical language) yang melihat bagaimana gramatika bahasa membawa posisi dan makna ideologi. Tokoh dalam pendekatan ini adalah Roger Fowler dan Theo van Leeuwen.
Kedua, analisis wacana pendekatan Prancis (French discourse analysis) atau wacana yang menempatkan seseorang sebagai subjek dalam situasi sosial tertentu. Tokoh dalam pendekatan ini adalah Sara Mills.
Ketiga, pendekatan kognisi sosial yang dikenalkan oleh Van Dijk. Ia melihat faktor kognisi sebagai elemen penting dalam wacana. Artinya, wacana tidak hanya dilihat dari struktur wacana saja, tetapi juga menyertakan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial. Atau, wacana di sini dipandang sebagai praktik sosial. Dengan demikian ada hubungan dialektis antara praktik diskursif tersebut dengan identitas dan relasi sosial.
Keempat, pendekatan wacana sejarah yang menurut Wodak analisis wacana harus menyertakan konteks sejarah, bagaimana wacana tentang suatu kelompok atau komunitas digambarkan.
Analisis wacana dalam pandangan kritis melihat bagaimana teks berita tidak dapat dilepaskan dari relasi-relasi kuasa. Paradigma kritis ini memandang pesan sebagai pertarungan kekuasaan sehingga teks berita dipandang sebagai bentuk dominasi suatu kelompok dominan atas kelompok lainnya. Dengan demikian, wacana adalah suatu alat representasi di mana kelompok dominan memarjinalkan kelompok yang lainnya.
Adapun teori-teori mengenai wacana dikenalkan oleh Michel Foucault dan Althusser. Foucault mengenalkan wacana sebagai praktik sosial. Wacana berperan dalam mengontrol, menormalkan, dan mendisiplinkan individu.
Sementara Althusser, menyebut bahwa wacana berperan dalam mendefinisikan individu dan memposisikan seseorang dalam posisi tertentu. Adapun model analisis yang digunakan dalam paradigma kritis ini, yaitu Roger Flower dkk., Theo van Leeuwen, Sara Mills, Teun A. van Dijk, Norman Fairclough.
Penulis: Thoifatul Ningtyas
Editor: Ulum