Indone­sia memerdekakan diri dan men­ja­di negara yang diakui secara de fac­to dan de jure. Sete­lah tujuh puluh satu tahun merde­ka, negara ini lagi-lagi men­da­p­at kebin­gun­gan menyoal aga­ma. Iya, saya pikir aga­ma memang akan tetap men­ja­di perde­batan sep­a­n­jang sejarah. Telah ter­ja­di banyak kasus diskrim­i­nasi yang berba­lik arah men­ja­di penistaan aga­ma. Ten­tun­ya kita tahu sekarang sedang ter­ja­di kasus mem­anas yang men­gatas­na­makan aga­ma, tapi saya tidak akan mem­ba­has soal itu. Saya akan mem­bu­ka hukum yang memar­ji­nalkan kaum minori­tas khusus­nya kaum penghayat.

Saya pikir semua orang tahu, banyak keper­cayaan yang dianut oleh masyarakat Indone­sia selain aga­ma yang res­mi diakui negara. Namun negara hanya men­gakui beber­a­pa aga­ma saja yang dap­at dianut war­ganya. Sehing­ga banyak keper­cayaan lain yang ter­mar­ji­nalkan kare­na tidak ada legit­i­masi. Seper­ti nafas, keper­cayaan ini tetap ada dan lestari dalam kehidu­pan masyarakat sehari-hari meskipun di bawah tanah. Saya sebut demikian kare­na tidak banyak dari kaum ini yang mau memu­nculkan dirinya. Beber­a­pa fak­tor menye­babkan mere­ka menut­up diri dan eng­gap emn­gungkap iden­ti­tas keyak­i­nan mereka.

Penge­cualian dibu­at negara dalam rang­ka meny­er­agamkan keyak­i­nan war­ganya. Kar­tu Tan­da Pen­duduk (KTP) meru­pakan con­toh kecil ben­tuk pemar­ji­nalan kaum minori­tas ini. Kolom aga­ma dalam KTP dap­at dikosongkan apa­bi­la yang bersangku­tan tidak men­ganut aga­ma yang sudah dite­tap­kan negara. Lebih dari itu, tidak hanya menyoal KTP saja bahkan uru­san admin­is­trasi bisa semakin run­yam jika tidak ada keje­lasan soal kolom aga­ma ini.
Mis­al­nya saja di Tulun­ga­gung ini ter­da­p­at kaum peng­hay­at yang meru­pakan keper­cayaan minori­tas. Ajaran peng­hay­at ini sulit dilakukan dalam seko­lah-seko­lah sebab ter­batas­nya akses dan kesuli­tan tena­ga pen­ga­jarnya. Sejatinya kaum peng­hay­at ini memang minori­tas sekali sehing­ga tidak dap­at dipungkiri jika ter­ja­di pen­gu­cilan dari lingkun­gan mere­ka sendiri. Hal-hal ini meru­pakan con­toh intol­er­an­si yang ter­ja­di di lingkun­gan kita.

Intol­er­an­si ini ser­ingkali ter­ja­di kare­na mere­ka diang­gap bukan aga­ma may­ori­tas yang harus dijun­jung ting­gi. Diskrim­i­nasi memang ser­ingkali ter­ja­di bahkan keti­ka hen­dak mendirikan tem­pat ibadah. Mere­ka harus men­ga­jukan per­iz­inan pendiri­an tem­pat ibadah den­gan pros­es pan­jang dan cen­derung men­da­p­at per­lakuan yang diskrim­i­natif. Kesuli­tan dalam mem­per­oleh izin dan cemoohan dari kaum aga­ma minori­tas meru­pa­ka hal yang kadang ter­ja­di. Intol­er­an­si juga ter­ja­di kare­na men­gang­gap aneh keyak­i­nan ini sehing­ga mena­j­di patut untuk dicuri­gai dan dikucilkan.

Instru­men Hukum yang Sal­ing Silang

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meny­atakan Deklarasi Uni­ver­sal Hak Asasi Manu­sia (DUHAM) pada 10 Desem­ber 1948 yang didalam­nya ter­da­p­at pasal 18 yakni ten­tang kebe­basan beraga­ma. Indone­sia telah mem­bu­at jam­i­nan atas kebe­basan beraga­ma dalam UUD 1945 dalam  pasal 29 ayat 2. Isi dari pasal 29 ayat 2 adalah, “Negara men­jamin kemerdekaan tiap-tiap pen­duduk untuk memeluk aga­manya mas­ing-mas­ing dan untuk berib­a­dat menu­rut aga­manya dan keper­cayaan­nya itu.” Undang-undang itu sendiri men­gala­mi aman­de­men dan pada aman­de­men ked­ua per­at­u­ran ten­tang kebe­basan beraga­ma ini ter­tuang dalam pasal 28 E, I, dan J yang kurang lebih isinya sama.

Selan­jut­nya lahir UU nomor 39 tahun 1999 ten­tang Hak Asasi Manu­sia yang didalam­nya juga men­gatur kebe­basan beraga­ma. Pasal 22 UU No. 39 Tahun 1999 ini berbun­yi, “Seti­ap orang berhak memeluk aga­manya mas­ing-mas­ing dan untuk berib­a­dat menu­rut aga­manya dan keper­cayaan­nya itu. Dan negara men­jamin kemerdekaan seti­ap orang memeluk aga­manya mas­ing-mas­ing dan untuk berib­a­dat menu­rut aga­manya dan keper­cayaan­nya itu.”
Sejak dideklarasikan, Indone­sia baru mer­at­i­fikasi DUHAM pada tahun 2004 yang kemu­di­an melahirkan UU No.12 Tahun 2005 ten­tang kove­nan Hak Sip­il dan Poli­tik (sipol) war­ga negara Indone­sia. Undang-undang ini memu­at adanya ben­tuk kebe­basan beraga­ma yang harus dilak­sanakan oleh war­ga negaranya kelak. Nah den­gan lahirnya UU ini seharus­nya negara sudah secara res­mi mele­git­i­masi adanya kebe­basan beraga­ma. Namun, negara belum sepenuh­nya melakukan kewa­jiban­nya untuk melin­dun­gi hak sipol warganya.

Sebe­narnya ada beber­a­pa instru­men hukum yang kemu­di­an meng­ham­bat kebe­basan beraga­ma dan berkeyak­i­nan di Indone­sia. Namun saya akan men­gu­raikan satu hal yang men­ja­di kun­ci uta­ma diskrim­i­nasi yang ter­ja­di. Adanya UU No. 1 PNPS 1965 ten­tang Pence­ga­han dan Penyalah­gu­naan atau/dan Pen­odaan Aga­ma. Ten­tun­ya trage­di tahun 1965 ikut andil dalam pemu­ncu­lan UU ini yang saya pikir mem­bu­at keman­dekan berpikir menyoal  agama.
Undang-undang ini sendiri ter­diri atas empat pasal yang men­gatur soal pen­odaan aga­ma. Pasal per­ta­ma berisi mak­sud dari pen­odaan aga­ma itu sendiri berdasarkan hukum. Semen­tara pasal ked­ua dan keti­ga meru­pakan mekanisme pasal ini dap­at diber­lakukan. Pasal keem­pat adalah ben­tuk krim­i­nal­isasi yang meny­atakan huku­man ter­hadap oknum-oknum yang diang­gap melakukan pen­odaan agama.

Selan­jut­nya pasal keem­pat ini diak­tu­al­isas­ikan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang ter­mak­tub dalam pasal 156 A dibawah bab V. Pasal ini men­gatur ten­tang “Keja­hatan Ter­hadap Ketert­iban Umum”. Undang-undang mem­beri kuasa penuh negara untuk menen­tukan pokok ajaran aga­ma, penaf­sir­an aga­ma yang diang­gap meny­im­pang, bahkan melakukan penye­lidikan ter­hadap ali­ran yang diang­gap meny­im­pang melalui tan­gan Departe­men Aga­ma (Depag).

Pasal satu juga men­je­laskan aga­ma apa saja yang diakui negara dan ter­hin­dar dari pasal pen­odaan aga­ma. Sehing­ga pasal 156 ini dap­at digu­nakan untuk men­jer­at kaum keper­cayaan atau aga­ma minori­tas yang tidak sesuai den­gan penaf­sir­an kaum aga­ma may­ori­tas. Ten­tu saya dap­at meny­im­pulkan begi­t­u­lah alur bagaimana kaum aga­ma minori­tas men­ja­di semakin termarjinalkan.

Undang-undang ini benar-benar mem­bat­asi adanya organ­isasi lain yang kelu­ar dari  daf­tar aga­ma yang diakui negara. Organ­isasi atau keper­cayaan yang diang­gap sesat dan tidak sesuai nor­ma aga­ma-aga­ma yang diakui akan ditin­dak seba­gai ben­tuk pen­odaan aga­ma. Ten­tun­ya ini real­i­tas yang menu­rut saya san­gat dis­ayangkan  kare­na pem­bat­asan-pem­bat­asan oleh negara.

Kewa­jiban Negara

Sebe­narnya Negara mem­pun­yai kewa­jiban untuk melin­dun­gi hak-hak non dero­gable war­ganya seper­ti hak hidup dan ten­tun­ya hak beraga­ma. Negara dalam per­an­nya mem­pun­yai hak untuk men­ja­di sub­yek hukum dan indi­vidu. Sedan­gkan secara organ­isasi Negara mem­pun­yai kewa­jiban to respect (Pasif), to pro­tect (Aktif), dan to full fil (memenuhi/kemampuan negara/Aktif). Itu­lah hal-hal yang ide­al­nya dilakukan Negara khusus­nya untuk mewu­jud­kan hak sipol war­ganya. Dari sini dap­at saya paha­mi bah­wa ada saat­nya Negara bersikap aktif maupun pasif sehing­ga kewa­jiban Negara dap­at dilakukan seba­gaimana mestinya.

Deklarasi Hak Asasi Manu­sia (DuHAM) Pasal 18 sebe­narnya secara riil dap­at diu­raikan seper­ti ini. Bah­wa negara seharus­nya, a). Men­jamin kebe­basan berpikir, berkeyak­i­nan, beraga­ma, mene­tap­kan aga­ma, dan kebe­basan men­jalankan aga­ma, b). Non Koer­si, tidak ada ben­tuk larangan apapun ter­ma­suk didalam­nya forum inter­num dan forum ekster­num, c). Pem­bat­asan hanya boleh dilakukan jika, meng­gang­gu kea­manan, ketert­iban, kese­hatan, moral dan hak-hak orang lain masuk didalam­nya hak derog­ble dan non dero­gable, d). Ter­akhir Negara harus meng­hor­mati yakni den­gan mem­berikan kebe­basan orang­tua untuk memas­tikan pen­didikan aga­ma dan moral anak sesuai keyak­i­nan mere­ka sendiri.

Namun seper­ti yang sudah saya jelaskan diatas bah­wa Negara kemu­di­an mem­bu­at reg­u­lasi yang sal­ing silang sehing­ga mem­bin­gungkan. Negara yang seharus­nya bersikap pasif menang­gapi hak sipol war­ganya malah aktif atau mem­bu­at suatu tin­dakan repre­sif. Tin­dakan ini kemu­di­an diman­i­fes­tasikan dalam ben­tuk UU No. 1 PNPS tahun 1965 tadi yang san­gat bias dari reg­u­lasi  sebelumnya.

Saya kira per­lu adanya peruba­han men­ge­nai reg­u­lasi yang seharus­nya diber­lakukan soal aga­ma ini. Undang-undang yang sal­ing silang harus dire­visi agar tidak ter­ja­di bias-bias selan­jut­nya. Ten­tun­ya jika reg­u­lasi semacam ini tetap dilakukan akan merugikan kaum aga­ma minori­tas. Bagaimana­pun juga aga­ma dan keper­cayaan ada adalah untuk men­damaikan dan men­ga­pa jus­tru seba­liknya? Ten­tu saya tidak bisa men­jawab ini sendiri­an jika tidak dibaren­gi kesadaran mas­ing-mas­ing indi­vidu. Teruta­ma berhen­ti men­golok-olok kaum-kaum minori­tas kare­na saya rasa Indone­sia tidak seseder­hana itu. Indone­sia masih Negara yang kaya, kaya akan keber­aga­man dan tidak seseder­hana itu keber­aga­man untuk diseragamkan. []

Manu­sia dan ker­ak-ker­ak bumi, sama berg­er­aknya. Hanya, manu­sia itu lebih absurd