Menikah dalam sel­ingkung masyarakat selalu diang­gap seba­gai hal pent­ing sekali­gus cita-cita jika sudah dewasa nan­ti. Seo­lah menikah adalah suatu kewa­jiban. Jika tak kun­jung dilak­sanakan pada usia umum­nya, maka sanksi sosial akan dijatuhkan. Perem­puan yang tak kun­jung menikah, tak jarang akan dihardik den­gan berba­gai ujaran. Kapan menikah? Nan­ti sulit pun­ya anak kalau menikah tua. Ya begi­tu kalau seko­lah ting­gi-ting­gi, laki-laki yang mau mendekati mikir dulu dua kali.

Tak bisa ditepis begi­tu saja, perem­puan memang dihadap­kan den­gan kisah-kisah yang penuh akan kon­struk sosial. Mulai dari ceri­ta, don­geng sam­pai sinetron dan film. Don­geng seper­ti Bawang Mer­ah Bawang Putih, Putri Salju & Tujuh Kur­caci, dan Cin­derel­la, selu­ruh cer­i­tanya berakhir den­gan kaba­ha­giaan pernika­han. Hal seru­pa juga ter­ja­di di beber­a­pa sinetron dan film. Menikah seo­lah men­ja­di solusi segala per­masala­han perem­puan. Belum lagi kon­struk­si umur perem­puan yang masih dipan­dang seba­gai batasan untuk segera melakukan pernikahan.

Kese­hatan, pen­didikan, dan peker­jaan adalah tiga isu pent­ing yang ser­ingkali men­ja­di latar belakang ter­jadinya pernika­han dini dan kek­erasan sek­su­al. Kese­hatan repro­duk­si akan men­ja­di per­masala­han yang pent­ing diper­hatikan keti­ka pernika­han anak ter­ja­di. Uta­manya men­ge­nai kesi­a­pan organ repro­duk­si perem­puan. Jika perem­puan melahirkan di bawah usia yang dian­jurkan, maka perem­puan akan rentan men­gala­mi kece­masan saat hamil, kese­hatan menu­run sam­pai kelahi­ran bayi pre­matur. Bahkan risiko kema­t­ian pada ibu.

Menyoal pen­didikan, pada kasus pernika­han anak yang dise­babkan oleh Kehami­lan Tidak Diinginkan (KTD), ser­ingkali seko­lah men­gelu­arkan siswa yang keda­p­atan men­gala­mi KTD. Juga pada kasus lain, siswa memil­ih kelu­ar seko­lah den­gan sendirinya sebab merasa malu untuk melan­jutkan pen­didikan­nya. Ada juga pernika­han seba­gai solusi dari akses pen­didikan yang sulit. Semi­sal yang ter­ja­di pada masyarakat yang jauh dari akses pen­didikan dan kon­disi ekono­mi yang ter­bilang ren­dah. Sehing­ga menim­bulkan kepu­tu­san orang tua untuk menikahkan anaknya dari­pa­da mem­biarkan mere­ka melan­jutkan studinya. Walaupun sang anak meno­lak untuk menikah, ia tidak memi­li­ki pil­i­han lain. Penye­bab anak perem­puan lebih memil­ih menikah pada usia muda adalah kare­na kurangnya panu­tan di seke­lil­ingnya untuk dijadikan contoh. 

Ter­ma­suk stereotip oleh indi­vidu sendiri, seko­lah yang diang­gap seba­gai beban, menim­bulkan prasang­ka bah­wa seko­lah itu memak­sa untuk berpikir. Apa­bi­la men­da­p­ati berba­gai tugas yang diang­gap menyulitkan, tak jarang ada pen­da­p­at lebih baik menikah dari pada seko­lah. Sebab tan­ta­n­gan terbe­sar bagi perem­puan dari godaan menikah adalah lingkun­gan yang men­gang­gap hidup adalah are­na bal­a­pan. Mere­ka sal­ing kejar-menge­jar sia­pa yang lulus dulu­an, nikah dulu­an, hamil dulu­an, dan seterus­nya. Terkadang, kita larut dalam bal­a­pan tan­pa menikmati esen­si kehidupan.

Pada ranah peker­jaan, banyak dari perem­puan yang men­tok seba­gai ibu rumah tang­ga saja. Apala­gi jika anak perem­puan yang sudah terikat pernika­han dini. Keter­gan­tun­gan finan­sial yang ting­gi kepa­da kepala rumah tang­ga, mem­bu­at perem­puan lebih mudah men­gala­mi Kek­erasan Dalam Rumah Tang­ga (KDRT). Sehing­ga perem­puan akan sulit lep­as dari sang sua­mi dan men­gang­gap ade­gan demi ade­gan kek­erasan seba­gai bum­bu rumah tangga. 

Ser­ingkali pan­dan­gan atau penaf­sir­an aga­ma yang tidak tepat men­ja­di salah satu fak­tor pen­dorong pernika­han anak. Angga­pan bah­wa perem­puan sudah men­gala­mi men­stru­asi, ia sudah pan­tas untuk dinikahkan. Angga­pan pernika­han dini seba­gai jalan untuk men­gu­ran­gi angka perz­i­naan. Pan­dan­gan-pan­dan­gan ini keliru kare­na tidak ada kore­lasi antara usia pernika­han den­gan perz­i­naan. Pada­hal bera­papun usia sese­o­rang, kemu­ngk­i­nan bagi manu­sia untuk melakukan perz­i­naan itu sama besarnya. Bahkan hal terse­but seo­lah men­jadikan pernika­han hanya sebatas pada hubun­gan seksual.

Pernika­han anak mem­beri dampak yang luar biasa buruk teruta­ma pada perem­puan. Pernika­han anak mer­am­pas hak anak perem­puan atas pen­didikan dan kese­hatan. Jika kon­disi ini dib­iarkan terus berlang­sung, maka ten­tu saja tidak akan berdampak baik bagi pem­ban­gu­nan bangsa dan negara kare­na anak perem­puan, sama hal­nya den­gan anak laki-laki. Ked­u­anya sama-sama memi­li­ki poten­si dan kemam­puan yang sama besarnya seba­gai gen­erasi penerus bangsa.

Advokasi hukum ten­tu diper­lukan untuk men­gu­ran­gi per­masala­han terse­but. RUU Peng­ha­pu­san Kek­erasan Sek­su­al harus segera dis­ahkan. Langkah bijak pence­tu­san RUU PKS meru­pakan pil­i­han tepat untuk men­gako­modir hak-hak kor­ban secara kom­pre­hen­sif. Apala­gi RUU PKS ini memu­at 9 ben­tuk kek­erasan sek­su­al. Namun saya menyayangkan men­ga­pa RUU yang diusulkan sejak tahun 2015, masuk pro­gram leg­is­latif nasion­al pri­or­i­tas 2016, dan dite­tap­kan men­ja­di RUU inisi­atif DPR tahun 2017 ini, nasib­nya masih di ambang per­tim­ban­gan hing­ga 2020 kini. 

Ter­lepas dari RUU yang entah kapan dis­ahkan, ter­da­p­at UU Nomor 16 Tahun 2019 ten­tang Perkaw­inan. Salah satu poinnya adalah pasal 7 yang menye­butkan batasan usia menikah untuk laki-laki dan perem­puan adalah 19 tahun. Namun demikian ker­ap ter­ja­di pernika­han di bawah kete­ta­pan usia terse­but. Jalur per­si­dan­gan pun ter­pak­sa diam­bil sebab alasan tertentu.

Anak perem­puan juga per­lu dili­batkan ter­hadap seti­ap kepu­tu­san yang menyangkut dirinya, ter­ma­suk untuk masa depan dan pernika­han­nya. Per­an komu­ni­tas dalam men­gubah nor­ma sosial ten­tang pernika­han anak juga per­lu digiatkan. Anak perem­puan yang telah ter­lan­jur men­jalani pernika­han pun harus men­da­p­atkan per­ha­t­ian. Akses pen­didikan senan­ti­asa harus diberikan. 

Pent­ing bagi anak perem­puan, rema­ja perem­puan, maupun para ibu untuk men­da­p­atkan bekal pen­didikan yang baik kare­na melalui pen­didikan­lah mere­ka dap­at memu­tus rantai tra­disi pernika­han anak yang dipak­sakan pada mere­ka. Entah kemu­di­an pen­didikan itu dap­at digu­nakan untuk memu­tuskan masa depan­nya sendiri atau digu­nakan untuk mem­berikan pen­didikan bagi kelu­ar­ga dan lingkun­gan sek­i­tarnya untuk menghen­tikan pernika­han anak, yang jelas pen­didikan dap­at men­ja­di ger­bang bagi perem­puan untuk men­ja­di agen sosial yang melawan pernika­han anak.

Penulis: Nifa Kur­nia F.
Redak­tur: Rifqi Ihza F.