Pada suatu wak­tu, ter­ja­di per­si­dan­gan antara Alam den­gan Sapi­ens. Peng­gu­gat yang ter­diri atas Si Sapi­ens yang dik­laim Dar­win meru­pakan evo­lusi sem­pur­na dari nenek moyang mere­ka yaitu si Erec­tus dan ter­gu­gat dari raky­at Alam yang diwak­ili oleh Tuan Beringin, Tuan Celeng, dan Tuan Batu.

Sidang dim­u­lai den­gan gugatan dari Sapi­ens, yang menyoal ten­tang keja­hatan yang akhir ini diduga-duga biangnya adalah raky­at Alam. Si Aryan, Sapi­ens pal­ing diung­gulkan oleh kaum­nya berka­ta “Ini semua salah raky­at Alam, mata air yang ger­sang, tanah yang tan­dus, dan segala masalah yang menye­babkan kepuna­han masal pada kaumku, kaum Sapi­ens. Kalian si kaum Alam eng­gan untuk menggem­burkan tanah, bahkan para tum­buhan eng­gan tum­buh dan meng­hasilkan buah untuk kami makan. Bukan­lah ini sebuah penghi­naan!” Ujar si Aryan den­gan menggge­bu. Si Mon­go­lian menam­bahkan “Betul sekali saudara Aryan, kami seba­gai Sapi­ens. Kami seba­gai kaum kon­sumen merasa san­gat diren­dahkan den­gan penghi­naan ini. Pan­gan kami men­ja­di ter­batas, kami kela­paran! Banyak dari kelu­ar­ga kami yang mati! ” Ucapp si Mon­go­lian sam­bil tersedu-sedu. 

Keadaan bumi memang sedang kacau, banyak ben­cana yang ter­ja­di. Gunung yang long­sor, kek­eringan yang melan­da, man­deknya per­tum­buhan tana­man, sam­pai Kutub Utara yang melelehkan diri. Situ­asi seper­ti ini yang men­ja­di gugatan kaum Sapi­ens. Mere­ka bersik­eras segala hal terse­but tidak lain dan tidak bukan hanyalah rekayasa raky­at Alam yang bersekongkol untuk meny­ingkirkan ser­ta memus­nahkan ras atau kaum mere­ka. Mere­ka berang­ga­pan Alam ingin men­jadikan bumi men­ja­di ner­a­ka.  Alam men­ja­di begi­tu sen­ti­men­til bagi kaum Sapi­ens. Selalu men­u­ai kon­flik tak berke­su­da­han. Singkat­nya, Alam yang sedari dulu begi­tu bersa­ha­bat, kini men­ja­di musuh yang begi­tu jahat.

Izin yang mulia”. Tuan Beringin selaku Per­wak­i­lan Raky­at Alam men­gangkat rant­i­ngnya. “Bukankah ini sebuah lelu­con, bukankah ini sebuah can­daan? Kaum Sapi­ens yang digadang gadang pal­ing rasion­alis, intelek, memi­li­ki otak yang mam­pu berfikir kri­tis berka­ta demikian. Perny­ataan yang sung­guh tidak masuk akal, bukan?” Tuan Beringin mulai mema­parkan argu­men­nya. “Tidakkah kalian berpikir para Sapi­ens? Kesala­han yang kau ala­matkan pada kami seba­gai pence­tus kepuna­han dari kaummu?”.

Belum sem­pat meneruskan uca­pan­nya, si Sapi­ens Aryan mem­o­tong. “Oh jelas demikian Tuan Beringin, kami kaum Sapi­ens pal­ing cer­das cakap dan bermoral dari kalian. Kami ini evo­lusi yang sem­pur­na bahkan lebih dari nenek moyang kami entah Erec­tus atau sia­papun itu. Kami diper­in­tahkan men­ja­di pemimpin di muka bumi ini.”  Si Sapi­ens Mon­gol menam­bahi, “Iya betul itu kata saudara Aryan, dari kaum Kami­lah dip­il­ih para nabi dan juga rasul. Juga dari kaum kami­lah muncul fil­suf, ilmuwan, sas­trawan dan masih banyak lagi jabatan yang kalian kaum Alam sekali­gus nenek moyang kami sekalipun tak bisa mendapatkannya.” 

Per­si­dan­gan seakan didom­i­nasi oleh kaum Sapi­ens, kaum Sapi­ens mem­pun­yai kecer­dasan yang luar biasa. Mere­ka selalu bisa mem­bu­at perny­ataan yang kuat. Tak ayal mere­ka dise­but kaum rasion­alis bahkan lebih lan­jut mere­ka mena­mai diri mere­ka sendiri kaum kri­tis. Semen­tara raky­at Alam hanya mahk­luk biasa, otak saja hanya ras Fau­na yang mem­pun­yai itu. Seper­ti Tuan Babi mis­al­nya. Itupun masih jauh den­gan “kecang­gi­han”  otak kaum Sapiens. 

Yang Mulia G, izinkan kami untuk berund­ing dulu. Untuk menang­gapi perny­ataan kaum Sapi­ens.” Kata Tuan Batu men­co­ba men­cairkan suasana. Berund­inglah mere­ka, tiga per­wak­i­lan dari mas­ing-mas­ing ras raky­at Alam. “Ser­ahkan ini padaku, Tuan Beringin dan Tuan Batu. Aku yang akan meladeni mere­ka. Kaum Sapi­ens ser­akah.” Ujar Tuan Babi den­gan per­caya diri. 

Tuan Babi mulai mem­beranikan diri untuk berbicara, dadanya berde­tak ken­cang seir­ing den­gan sesak penuh den­gan kere­sa­han, kege­lisa­han, kemuakan, yang mengkristal men­ja­di satu. Ham­pir mele­tus rasanya dada itu. Adalah kaum Sapi­ens penye­bab semua itu. Dike­tahui Tuan Babi ini adalah hanya salah satu ras yang ter­sisa dari kaum Fau­na. Para ker­abat­nya mati oleh per­bu­atan kaum Sapi­ens. Ada yang dibunuh, dijadikan kuda­pan, dikuli­ti untuk dijadikan paka­ian, diiris-iris untuk dijadikan per­nak-pernik, bahkan dipa­jang seba­gai hiasan di dind­ing rumah mereka.

Yang Mulia G, yang amat saya hor­mati. Engkau selaku pen­gatur bumi, yang menu­runk­an hujan, meni­up­kan angin, men­jatuhkan kilat dari petikan tan­gan-Mu. Kau yang selalu men­ja­di rumah bagi puja-puji kami. Kau Yang Maha adil, kau yang men­jamin tidak akan ada sat­upun dari kami yang tidak akan men­da­p­atkan reze­ki. Bahkan ulat kecil di dasar lau­tan sekalipun. “ Tuan Babi menghela napas. Men­co­ba men­gatur paru-parun­ya yang mulai kem­bang kem­p­is tak karuan. 

Akan tetapi Yang Mulia G, tidakkah kau menyadari bah­wa kau berlaku tak adil sekarang? Tidakkah kau meli­hat keka­cauan ini. Keka­cauan yang seo­lah kami yang menye­babkan­nya. Yang seo­lah kami bersekongkol untuk mem­bu­mihanguskan kaum Sapi­ens tak waras ini. Sapi­ens yang Anda anggap seba­gai satu-sat­un­ya pemimpin di muka bumi, telah berubah men­ja­di peng­han­cur bumi.” Tuan Babi nam­pak kele­la­han untuk meneruskan perny­ataanya. Raganya tidak mam­pu mena­han gejo­lak yang ia ingin tumpahkan.

Tuan Beringin ban­gun dari tem­pat duduknya dan mulai menang­gapi, “Aku sudah beru­mur, lebih dari ser­a­tus ribu tahun. Sudah sedari dulu aku hidup di dunia ini. Sudah jutaan mahk­luk, mil­yaran  spe­sies yang per­nah aku temui. Semua ku asuh, aku rawat, aku jaga sama seper­ti saat aku juga dija­ga, dirawat, dan dia­suh. Selu­ruh mata rantai ketu­runan Sapi­ens telah aku jaga dari maraba­haya. Tidakkah kau mengin­gat jika tidak dari belas kasih para tum­buhan, dari mana Adam akan men­da­p­atkan kur­ma yang dimakan untuk berta­han hidup. Jika tidak dari  kayu-kayuku, dari apa Nuh akan mem­bu­at bahtera untuk menye­lamtkan dirinya dan kaum­nya dari ban­jir besar itu? Jika bukan dari per­to­lon­gan laba-laba dan mer­pati, apakah Muham­mad akan tetap sela­mat saat bersem­bun­yi di gua? ”

Betul itu Tuan Beringin.” Tam­bah Tuan Batu.

Bah­wa selu­ruh nenek moyang bahkan para nabimu telah kami rawat, tapi yang kau lakukan pada kami adalah keja­hatan dan kebi­ad­a­ban. Selu­ruh raky­at Alam yang kau tebang, kau bunuh dan kuli­ti, sam­pai kau sedot isi dari minyak di perut bumi sam­pai ker­ing kerontang. Kau adalah buk­ti kega­galan sebuah per­ad­a­ban Sapiens.”

 Situ­asi nam­pak teba­lik, kaum Sapi­ens mulai gagap dan panik. Mere­ka sal­ing menyalahkan rekan­nya sendiri. Kebin­gun­gan kedoknya mulai diketahui.

”Dan kami raky­at Alam, juga menun­tut Anda Yang Mulia G keser­aka­han dan kepon­ga­han mere­ka berasal dari angga­pan­mu kalau semua yang ada di muka bumi ini adalah untuk kaum Sapi­ens man­faatkan. Hal picik apala­gi ini?” Ujar Tuan Babi. “Jawab Yang Mulia! Di mana letak kead­i­lan­mu itu?”

Yang Mulia G bin­gung sam­bil melirik kumpu­lan Sapi­ens yang terus saja sal­ing menyalahkan sesama rekan­nya. Dalam hati, “Salahkah aku men­cip­takan spe­sies ini?”

Penulis: Syafi­ul Ardi
Edi­tor: Nifa K. F. 

Mem­perbe­sar kemu­ngk­i­nan pada ruang-ruang ketidakmungkinan.