Perjuangan warga Ds. Sumberagung, Kec. Pesanggrahan, Kab. Banyuwangi, Jawa Timur dalam menyuarakan protes pertambangan emas tujuh bukit belum selesai. Krisis sosial-ekologis dan sejumlah persoalan hidup meningkat di Desa Sumberagung dan wilayah sekitar Kecamatan Pesanggrahan.
Salah satu protes pada 3 Juni 2018 yang tergabung dalam komunitas nelayan Dusun Pancer. Aksi tersebut sekaligus memperingati hari lingkungan hidup 5 Juni. Aksi demi aksi digalakan warga desa mengingat kegiatan yang berlangsung di pertambangan memicu ketakutan dan kerusakan.
Pada Agustus 2016 di Desa Sumberagung dan sekitarnya terjadi bencana lumpur yang merusak pertanian warga dan menimbulkan kerusakan–kerusakan lainnya. Di kawasan pesisir Pantai Pulau Merah (Desa Sumberagung) dan sekitarnya dalam kondisi yang menghawatirkan. Dalam kerusakan itu juga ditemukan fakta bahwa beberapa jenis hewan laut dan kerang mulai menghilang di pesisir pantai Desa Sumberagung dan sekitarnya.
Dikutip dari ngopibareng.id protes dan aksi demo seringkali dilakukan. Seperti saat ini, warga Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggrahan, Bukit Tumpang Pitu, mendatangi kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya di Jalan Kendal, Kecamatan Pacarkeling, pada Kamis 20 Februari 2020. Mereka nekat naik sepeda sepanjang 300 kilometer dari Banyuwangi menuju Kantor Gubernur Jawa Timur di Jalan Pahlawan, Surabaya. Aksi tersebut dimaksudkan sebagai protes dan desakan kepada Khofifah Indar Parawansa selaku Gubernur Jawa Timur untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) Perseroan Terbatas (PT) Bumi Suksesindo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI) yang dinilai telah merusak lingkungan.
Beberapa aksi tersebut terjadi dikarenakan gentingnya permasalahan yang terjadi di Desa Sumberagung. Dengan melihat banyak sekali permasalahan yang begitu kompleks, baik di ranah sosial maupun ekologis, setidaknya peran pemerintah dalam hal ini perlu dipertanyakan.
Bagi warga Desa Sumberagung, keberadaan Gunung Tumpang Pitu dan gunung-gunung sekitarnya memiliki peran penting.
Pertama,adalah tetenger bagi nelayan saat melaut, setiap pagi. Ketika mereka berada di laut lepas, titik yang mereka cari untuk menentukan arah adalah pulau Nusa Barong di sebelah barat, Gunung Agung di sebelah timur dan Gunung Tumpang Pitu di tengah-tengahnya. Maka jika Gunung Tumpang Pitu dan gunung-gunung lainnya menghilang, bisa dipastikan mereka akan kehilangan salah satu tetenger daratan yang menjadi acuan arah.
Kedua, adalah benteng alami bagi perkampungan komunitas nelayan yang tinggal di pesisir Teluk Pancer dari ancaman angin tenggara yang terkenal ganas pada musim-musim tertentu. Selain itu ia juga berfungsi sebagai benteng utama terhadap bahaya ancaman gelombang badai tsunami. Sebagaimana pernah dicatat, pada tahun 1994, gelombang tsunami menyapu kawasan pesisir Pancer dan merenggut nyawa sedikitnya 200 orang. Bagi warga, saat ini keberadaan Gunung Tumpang Pitu dan gunung-gunung sekitarnya, dikatakan mampu meminimalisasi jumlah angka korban. Sehingga bisa dipastikan jika gunung-gunung tersebut menghilang, maka potensi ancaman jumlah korban yang lebih banyak akan terjadi pada masa mendatang.
Ketiga,selain berfungsi sebagai pusat mata air yang mampu mencukupi kebutuhan pertanian dan konsumsi rumah tangga, di sanalah sebagian besar penduduk, khususnya kaum perempuan, mencari beberapa tanaman obat-obatan secara turun temurun.
Kebutuhan primer masyarakat bukanlah aspek yang boleh dikesampingkan. Mengingat bahwa lahan pertambangan tersebut merupakan tempat pokok kehidupan masyarakat, hal ini bukanlah wajah ramah yang lahir di balik kemanusiaan yang sering digembor-gemborkan. Peran dari berbagai kalangan khususnya masyarakat yang terpelajar menjadi sangat dibutuhkan, mengingat bahwa permasalahan ini melibatkan korporasi. Dalam permasalahan ini terdapat beberapa aspek yang dapat diambil sebagai sebuah acuan.
Bahwa exsploitasi lahan atas nama pemberdayaan dan pendayagunaan harus menelisik segala aspek yang menjadi titik temu antara kebermanfaatan dan kerusakan. Selain itu permasalahan sosial ekologi bukan disebabkan oleh wacana pemberdayaan yang justru menjadi tameng atas eksploitasi yang akan dilangsungkan. Juga pemanfaatan lahan untuk pengerukan emas memiliki potensi yang dahsyat bagi kelangsungan hutan dan berbagai macam hewan dan mahluk hidup lainnya. Sehingga menggali kekayaan yang tak terpuaskan dari manusia menjadikan permasalahan yang serius yang memicu permasalahan dikemudian hari.
Sebgaimana diketahui, PT BSI mengantongi ijin IUP operasi produksi di Gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya, di Desa Sumberagung, berdasarkan keputusan bupati Banyuwangi No.188/547/KEP/429.011/2012 tanggal 9 juli 2012. Izin tersebut seluas 4.998,45 Ha, dan berlaku hingga 25 januari 2030.
Izin produksi tersebut harus menjadi acuan untuk kebermanfatan dan pendayagunaan secara masif. Protes yang berlangsung secara terus-menerus merupakan kritik atas pemberian izin terhadap pelaksanaan produksi. Tak dipungkiri peran pemerintah dalam hal ini cukup jelas.
Sebagaimana diketahui PT Merdeka Copper Gold Tbk, selain dimiliki oleh Grup Saratoga, Provident, Garibaldi Thohir dan Pemkab Banyuwangi, juga terdapat Sakti Wahyu Trenggono (Wakil Menteri Pertahanan) sebagai pemilik saham. Tuntutan yang berlangsung mencoba menjadi penghalau dari dampak yang kian padat. Yang menjadi sorotan adalah kepemilikan ini berada di bawah orang-orang pemegang modal yang besar. Dikarenakan sistem yang berlangsung kepemilikan menjadi ukuran atas pergerakan ekonomi yang berlangsung.
Dalam perkembangannya dimungkinkan menjadi sarana aksi-aksi yang terus berkelanjutan dan perluasan industri pertambangan yang dilakukan oleh grup PT Merdeka Copper Gold Tbk tersebut terus menuai protes dari warga.
Penulis: M. Ferdian
Redaktur: Rifqi I. F.