Seo­lah malu-malu, cahaya sandikala mulai nam­pak  menyem­bulkan diri pada sela-sela bilik bam­bu yang sedik­it usang. Cahaya terse­but secara samar mem­ben­tuk siluet tubuh seo­rang gadis yang ten­gah  duduk dan men­ce­pol kasar ram­but pan­jangnya yang terg­erai bebas. Ia ter­li­hat ten­gah menat­ap lekat dua buah mori batik yang ter­ben­tang lurus di hada­pan­nya. Kiranya, motif apa lagi yang harus ia buat untuk menghias mori yang masih kosong itu? Namanya Aruni, gadis man­is den­gan kulit kun­ing langsat dan ram­but hitam kecoke­la­tan yang men­jalin kisah kasih bersama seperangkat cant­i­ng dan lilin batik kesayangannya.

Sek­i­tar 25 tahun yang lalu, tem­pat­nya duduk sekarang ini meru­pakan tem­pat favorit dari ayah­nya keti­ka mem­bu­at batik. Tapi, 25 tahun bukan­lah wak­tu yang singkat. Kain saja bisa han­cur dimakan usia, apala­gi umur manu­sia. Ya, begi­t­u­lah adanya. Saat Aruni mulai meng­in­jak umur belasan tahun, ayah­nya per­gi untuk sela­manya. Lalu den­gan keter­pak­saan yang ada, ia akhirnya mulai mer­a­jut kem­bali kisah kasih yang ter­ja­di antara men­di­ang ayah­nya den­gan seperangkat alat batik di hada­pan­nya sekarang.

Huh, sudah belasan kali ayah men­ga­jarkan aku terkait motif apa saja yang bisa ku lukiskan pada mori kosong ini. Tapi, men­ga­pa makin hari makin mem­bu­atku bin­gung!” Gerutun­ya mere­mas kesal kain mori di hadapannya.

Keluhan itu mem­bu­at Laks­mi selaku orang yang sudah mengab­dikan dirinya pada kelu­ar­ga Aruni sejak Aruni masih bayi datang meng­ham­pirinya den­gan berlari tergopoh-gopoh.

Ada apa to, Nduk? Kok Mbok den­gar dari dapur kamu men­gomel gemas sendiri­an.” Tanya Laks­mi yang sudah berdiri di samp­ing Aruni.

Ih, ini loh, Mbok. Runi kesal, kena­pa dari sekian banyak motif yang Runi buat selalu memi­li­ki ben­tuk kawung dan parang rusak. Runi ingin buat batik den­gan motif lain, Mbok!” Rengeknya men­gadu kesal pada Laksmi.

Ya, kegiatan­nya kini selain mem­bu­at desain baju juga meneruskan usa­ha batik yang telah diban­gun ayah­nya sejak beli­au masih muda. Ter­hi­tung kecil memang, tapi apalah daya, pesanan batik tulis selalu melimpah ruah. Dan Aruni menyikapinya den­gan penuh rasa syukur. Namun, di sisi lain, kini tem­pat usa­hanya mulai keku­ran­gan peker­ja dan mau tidak mau ia harus turut andil dalam pros­es pembuatannya.

Seir­ing den­gan cahayanya yang mulai memu­dar, ter­den­gar suara yang sudah tak asing lagi di telin­ga Aruni. Itu pasti Widi, teman masa kecil­nya yang kini sudah pin­dah ke desa seberang. Menden­gar suara itu, Laks­mi segera berlari kecil menu­ju pagar, tapi sebelum ia sam­pai, langkah­nya sudah dihen­tikan oleh Aruni.

Sudah, Mbok, biar Runi saja yang mem­bukakan pagar.” Ucap­nya berlari menyusul Laks­mi ke arah pagar.

Laks­mi men­gang­guk, ia segera kem­bali ke hala­man belakang untuk meneruskan peker­jaan­nya. Sete­lah pagar dibu­ka, ter­li­hat sosok laki-laki bertubuh jangkung den­gan sebuah kan­tong makanan di tan­gan kirinya.

Meli­hat Widi yang ten­gah berdiri kaku,  mem­bu­at Aruni den­gan terge­sa mem­per­si­lakan­nya masuk.

Ada apa, Wid? Tum­ben sore-sore ham­pir maghrib berkun­jung ke sini.” Tanyanya ser­aya men­dudukkan diri di kur­si kecil den­gan kain mori berlukis seba­gai pemandangannya.

Bukanya men­jawab, ia malah men­dadak diam seribu bahasa. Dalam benaknya, Widi sedik­it kaget meli­hat penampi­lan Aruni yang sekarang. Pada­hal jika diin­gat, ia dulu meru­pakan gadis cilik den­gan kulit sawo matang yang memi­li­ki peran­gai sedik­it tomboi dan hobi bermain layang-layang bersamanya. Tapi, lihat­lah kini, ia malah tum­buh dewasa men­ja­di sosok gadis den­gan penampi­lan yang tak sama dari ingatan masa kecilnya.

Heh, Wid! Kamu itu loh ku tanya kok malah ben­gong!” Sen­tak Aruni yang mem­bu­at Widi berjingkat dari duduknya.

Ah iya, Run, iya. Ini loh, apa itu, dis­u­ruh Ibu buat ngan­terin ini.” Jawab­nya ter­ga­gap-gagap ser­aya meny­er­ahkan kan­tong makanan yang dibawanya.

Men­da­p­ati hal terse­but, Aruni bert­e­ri­ak senang. Apala­gi kalau bukan bolu kukus dari ibun­ya Widi. Tak lupa, ia turut mem­berikan suatu bingk­isan yang diam­bil­nya dari dalam rumah seba­gai tan­da ter­i­ma kasih kepa­da ibun­ya Widi. Aruni men­gatakan jika bingk­isan itu berisi kain batik den­gan motif batik buke­tan yang dida­p­at­nya keti­ka berkun­jung ke Peka­lon­gan beber­a­pa ming­gu yang lalu.

Widi pun juga ter­li­hat mene­r­i­manya den­gan senang hati kare­na ia tahu jika ibun­ya itu san­gat menyukai yang namanya kain batik. Sete­lah meny­im­pan­nya, Widi mulai mem­bu­ka obrolan kecil den­gan Aruni.

Eh, Run!” Pang­gilnya menga­mati Aruni yang ten­gah fokus ngeren­greng.

Ngeren­greng sendiri meru­pakan pros­es menorehkan lilin dari cant­i­ng di atas kain mori mengiku­ti pola yang tergam­bar di atasnya.

Ya, Wid, kena­pa?” Tanyanya sem­bari meni­up pelan cant­i­ng di tangannya. 

Ter­li­hat Widi sedang berusa­ha men­go­lah kali­mat­nya agar tidak ter­lalu meny­ing­gung perasaan teman kecil­nya itu.

Kena­pa kamu nggak beral­ih ke jenis batik masa kini saja, Run? Lagi pula kan usa­ha batik kelu­arga­mu ini sudah cukup maju dan terke­nal. Ku rasa, tak masalah jika pros­es pem­bu­atan­nya digan­ti ke jenis batik cap atau batik kon­tem­por­er.” Ungkap­nya sete­lah sepersekian detik duduk diam menyusun kalimat.

Aruni diam seje­nak. Memang benar pada masa sekarang ini sudah ter­da­p­at banyak jenis batik den­gan pros­es pem­bu­atan yang tidak seri­bet batik tulis. Lagi pula lim­bah dari pros­es pem­bu­atan batik san­gat berba­haya bagi lingkun­gan jika tak dio­lah den­gan baik.

Ku rasa nggak, Wid. Memang benar jika batik zaman sekarang sudah lebih prak­tis tan­pa adanya lilin dan cant­i­ng seper­ti ini. Tapi, menu­rutku hanya pada batik tulis saja aku dap­at men­e­mukan esteti­ka rasa yang sem­pur­na.” Tuturnya yang masih meni­upi lilin pada ujung canting.

Widi men­gan­guk, “ya, aku pun paham betul mak­sud dari uca­pan­mu itu, Run. Tapi, jika piki­ran­m­mu terus seper­ti ini, seo­lah masih ter­paku dalam piki­ran lama. Apa kamu nggak takut kalau usa­ha batik kelu­ar­ga mu ini akan men­gala­mi ketertinggalan?”

Seo­lah sedang mencer­na kata demi kata yang diu­cap­kan Widi, Aruni pun bersungut kesal.

Mak­sud­mu, aku masih ter­je­bak dalam piki­ran yang kolot? Begi­tu?” Sungut­nya melem­par gulun­gan mori kecil ke arah Widi.

Menden­gar sung­utan Aruni mem­bu­at Widi terte­gun, ia ter­li­hat den­gan susah payah menelan kem­bali sali­va yang sebelum­nya berteng­ger rapi dalam rong­ga mulutnya.

Ah, tidak. Bu-bukan begi­tu mak­sud­ku!” Elaknya sedik­it terbata.

Men­da­p­ati Widi yang ten­gah gela­ga­pan, son­tak mem­bu­at Aruni yang sedang ngeren­greng itu pun menyem­burkan tawanya secara tiba-tiba. Ada apa den­gan teman kecil­nya itu? Apakah ia berpikir jika Aruni ten­gah kesal padanya? Dan untuk men­e­tralkan kem­bali suasana yang ada, Aruni pun menam­bahkan asum­sinya pada per­tanyaan Widi.

Sudah lah, Wid. Tak apa. Toh memang pemiki­ran satu indi­vidu den­gan indi­vidu lain memang tak sama. Kalau pun dalam pan­dan­gan­mu batik tulis den­gan motif kawung, parang rusak, mega men­dung, dan lain seba­gainya ini sudah kurang dim­i­nati oleh masyarakat luas juga tak apa.”

Loh, bukan­nya memang benar begi­tu, Run? Bahkan sekarang keti­ka ada yang ten­gah men­ge­nakan batik malah dikatakan ingin meng­hadiri kon­dan­gan. Emangnya batik selalu iden­tik den­gan acara seper­ti itu? Kan tidak juga, to.” Papar Widi mengin­gat keja­di­an­nya beber­a­pa hari yang lalu.

Jika menelisik lebih jauh, mungkin men­ge­nakan batik memang ter­li­hat ter­lalu for­mal untuk kegiatan-kegiatan ter­ten­tu. Tapi, apa yang dikatakan Widi ada benarnya juga, orang yang men­ge­nakan batik belum ten­tu akan per­gi ke acara pernika­han. Mungkin saja itu ben­tuk dalam mer­awat keber­adaan batik yang mulai dit­ing­galkan oleh anak muda.

Benar juga, Wid. Pada­hal batik sendiri meru­pakan warisan budaya tak ben­da milik Indone­sia. Tapi, malah banyak kaum muda seper­ti kita yang tak mau men­ja­ga kelestar­i­an­nya.” Jelas­nya men­gal­ihkan pan­dan­gan ke arah Widi.

Pada mulanya batik telah diakui seba­gai warisan budaya tak ben­da milik Indone­sia oleh UNESCO pada 2 Okto­ber 2009. Hal itu dikare­nakan batik memi­li­ki sim­bol dan mak­na filosofi kehidu­pan masyarakat Indone­sia. Dan kare­na itu juga seti­ap tang­gal terse­but diperingati seba­gai Hari Batik Nasional.

Nah, betul tuh, Run. Pas denger kabar kalau negara sebe­lah ingin men­gakui­sisi kepemi­likan batik baru tuh nge­layan­gin protes sana sini.” Sahut Widi men­gang­guk setuju.

Ter­li­hat Aruni tersenyum ke arah Widi sebelum melan­jutkan uca­pan­nya, “sekarang kamu paham kan, Wid, kena­pa kok aku masih setia pada cant­i­ng, lilin dan pros­es pan­jang pem­bu­atan batik ini?”

Iya, Run. Mungkin di sisi lain kamu memang ingin men­ja­ga budaya awal dari batik itu sendiri. Hehe, maaf ya tadi udah nanya yang nggak-nggak.”  Ucap­nya sebelum berpami­tan untuk pulang.

Iya, Widi­i­i­i­i­i­ii. Ndak apa-apa.” Jawab Aruni diirin­gi den­gan keke­han kecilnya.

Kemu­di­an obrolan terse­but ter­pak­sa diakhiri kare­na azan maghrib yang sudah berku­man­dang di selu­ruh pen­ju­ru desa. Sebelum kem­bali pulang, Widi mem­berikan pesan agar Aruni terus mengem­bangkan usa­ha batik tulis­nya itu. Atau jika memu­ngkinkan, ia berharap agar Aruni mulai men­ge­nalkan batik ke gen­erasi zaman sekarang dan men­gubah stereotip masyarakat luas,  bah­wa batik tidak melu­lu berkai­tan den­gan acara pernika­han dan lain seba­gainya, melainkan dike­nal seba­gai suatu warisan budaya tak ben­da yang seharus­nya dija­ga keber­adaan­nya agar tetap lestari dan makin mendunia.

Penulis: Lulu
Edi­tor: Vidya