Buku Kala Beraga­ma Tak Lagi Merde­ka karya Fawaizul Umam

Komu­nis dimusuhi kare­na diki­ra athe­is. Orang athe­is dimusuhi kare­na kon­sep ketuhanan­nya berbe­da. Orang sudah bertuhan pun tetap dimusuhi kare­na tuhan­nya dan tem­pat ibadah­nya tidak sama. Yang tuhan­nya sudah sama juga dimusuhi kare­na ali­ran dan nabinya beda. Tuhan, ali­ran, dan nabi sudah sama, masih dimusuhi kare­na tidak puasa. Tuhan, ali­ran, nabi dan sama-sama puasa tetap dimusuhi kare­na bersim­pati pada pemi­lik warung yang dagan­gan­nya disi­ta kare­na buka saat puasa. Mari kita seder­hanakan saja. Intinya di dunia ini hanya boleh ada Anda, kan?

_Dandhy Laksono_

Buku Kala Beraga­ma Tak Lagi Merde­ka; Majelis Ula­ma Indone­sia dalam Prak­sis Kebe­basan Beraga­ma bermu­la dari sebuah dis­er­tasi yang dia­jukan oleh Fawaizul Umam (FU) untuk men­ca­pai gelar dok­tor sekali­gus menun­taskan Stra­ta 3 di IAIN (kini UIN) Sunan Ampel. Buku yang mem­ba­has posisi MUI dalam prak­tik kebe­basan beraga­ma di Indone­sia saat masih berwu­jud dis­er­tasi berjudul Pola Pemiki­ran Majelis Ula­ma Indone­sia Jawa Timur ten­tang Prak­sis Kebe­basan Beraga­ma. Selan­jut­nya, diubah oleh DIKTIS kementer­ian Aga­ma RI, men­ja­di Merde­ka dalam Beraga­ma Pola Pemiki­ran Majelis Ula­ma Indone­sia Jawa Timur ten­tang Prak­sis Kebe­basan Beraga­ma. Akhirnya, agar ter­li­hat lebih renyah oleh pem­ba­ca di ubah lagi men­ja­di Kala Beraga­ma Tak Lagi Merde­ka: Majelis Ula­ma Indone­sia dalam Prak­sis Kebe­basan Beraga­ma. (hal. Xvii)

Negara Indone­sia meny­atakan dirinya seba­gai bangsa berke­tuhanan. Buk­tinya, Pan­casi­la seba­gai salah satu fun­damen Negara memu­at sila per­ta­ma beru­pa “Ketuhanan yang Maha Esa”. Jam­i­nan kebe­basan beraga­ma di Indone­sia ter­tu­ai pada UUD 1945 Pasal 28E ayat (1):

Seti­ap orang bebas memeluk aga­ma dan berib­a­dat menu­rut aga­manya, memil­ih pen­didikan dan pen­ga­jaran, memil­ih peker­jaan, memil­ih kewar­gane­garaan, memil­ih tem­pat ting­gal di wilayah negara dan mening­galkan­nya, ser­ta berhak kembali.”

Pasal 28E ayat (2)  UUD 1945 juga meny­atakan bah­wa seti­ap orang berhak atas kebe­basan meyaki­ni keper­cayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bah­wa hak untuk beraga­ma meru­pakan hak asasi manu­sia. Pada pasal 29 ayat (2) Negara men­jamin kemerdekaan tiap-tiap pen­duduk untuk memeluk aga­manya mas­ing-mas­ing dan untuk berib­a­dat menu­rut aga­manya dan keper­cayaan­nya itu.[1]

Adanya lan­dasan Kon­sti­tusi UUD 1945 dan pan­casi­la terny­a­ta tidak ser­ta mer­ta mem­bu­at negara kon­sis­ten men­jamin kebe­basan beraga­ma bagi war­ganya. Kare­na, dalam keadaan bersamaan pemer­in­tah juga mener­bitkan surat edaran Menteri Dalam Negeri (MENDAGRI) Nomor 477/74054/BA.01.2/4683 tang­gal 18 Novem­ber 1978 yang secara tidak lang­sung telah menced­erai kon­sti­tusi yang ada di atas­nya, UUD dan 1945 Pasal 29 juga Pasal 28E. Di surat edaran ini  dije­laskan bah­wasan­nya pemer­in­tah hanya men­gakui lima aga­ma “res­mi” kecuali khonghu­cu. Surat edaran ini telah mem­bat­asi masyarakat memeluk aga­ma di luar “aga­ma res­mi” dan nya­ta-nya­ta telah menced­erai hak untuk bebas memil­ih aga­ma sesuai keyakinannya.

Keten­tera­man para pen­ganut ali­ran keper­cayaan atau di luar “aga­ma res­mi” juga semakin terusik menyusul ter­bit­nya TAP MPR Nomor II/MPR/1998 ten­tang Garis-garis Besar Halu­an Negara (GBHN) pada bagian pen­je­lasan (butir 6), “Pen­ganut keper­cayaan ter­hadap TYME dib­i­na dan diarahkan untuk men­dukung ter­peli­ha­ranya suasana keruku­nan hidup bermasyarakat….”

Memi­lah aga­ma men­ja­di “res­mi” dan “tak res­mi” ser­aya hanya mem­beri pen­gakuan ter­hadap aga­ma “res­mi” tak lebih dan tak kurang meru­pakan cara instru­men­tal Negara dalam meng­in­ter­ven­si kehidu­pan beraga­ma war­ganya yang notabene area pri­vate.“(hlm. 102) FU men­je­laskan tiga aki­bat dari itu, per­ta­ma, men­guatkan masi­fikasi aga­ma dalam kerang­ka peny­er­aga­man sehing­ga seti­ap ben­tuk reli­giosi­tas yang diang­gap menye­bal dari “aga­ma rsmi” mau tidak mau harus “ditert­ibkan”. Ked­ua, men­em­patkan aga­ma-aga­ma “res­mi” seba­gai sub­or­di­nat, men­ja­di kepan­jan­gan tan­gan bela­ka dari Negara yang pada saat berbaren­gan menyuburkan radikalisme atas nama keaga­maan ver­si “res­mi”. Keti­ga, men­dorong kolo­nial­isasi aga­ma-aga­ma may­ori­tas ter­hadap aga­ma-aga­ma local yang notabene minori­tas. (hlm. 102)

Terkait den­gan kebe­basan beraga­ma, harus dipa­ha­mi per­an Negara cukup men­jamin dan mem­fasil­i­tasi war­ganya. Man­fred Nowak dan Tan­ja Vospernik diku­tip Fawaizul Umam, “Reg­u­lasi per­lin­dun­gan kebe­basan beraga­ma harus diha­jatkan dalam kerang­ka  melin­dun­gi kese­la­matan masyarakat (pub­lic safe­ty), ketert­iban masyarakat (pub­lic order), kese­hatan masyarakat (pub­lic health), eti­ka dan moral masyarakat (morals pub­lic), dan melin­dun­gi hak dan kebe­basan fun­da­men­tal orang lain (Ithe fun­da­men­tal rights and free­dom of oth­ers).” (hlm. 103)

Pen­guatan MUI

MUI adalah salah satu wadah untuk menghim­pun para pemimpin dan para cen­deki­awan untuk meny­atukan ger­ak langkah umat Islam di Indone­sia mewu­jud­kan cita-cita bersama. MUI dite­ta­pakan pada Sab­tu, 26 Juli 1975, den­gan piagam yang ditan­datan­gani oleh 53 ula­ma dari selu­ruh Indone­sia. Kelahi­ran MUI ini juga dilatar­be­lakan­gi unsur poli­tis rez­im orde baru. Salah satu tujuan­nya agar pemer­in­tah dap­at men­gen­da­likan organ­isasi-organ­isasi kemasyarakatan (ormas) islam. M Syafi’i Anwar men­gatakan berdirinya MUI harus dil­i­hat dalam kon­teks his­toris dan poli­tis.[2]

Secara his­toris, MUI didirikan kare­na ada hubun­gan antara kebi­jakan pemer­in­tah orba yang meli­hat masa-masa sebelum­nya penuh den­gan gejo­lak poli­tik. “Wak­tu itu, strate­gi pemer­in­tah orba selalu ditu­jukan untuk menga­mankan dan melan­car­kan pem­ban­gu­nan khusus­nya aga­ma, aspi­rasi pemer­in­tah den­gan masyarakat­nya, teruta­ma umat islam bisa ter­jem­bat­ani. Secara poli­tik, wak­tu itu pemer­in­tah orba menginginkan secure ter­hadap pen­guatan ger­akan “ekstrem kanan” atau mem­in­jam isti­lah Robert Gordis laz­im dise­but the revival of reli­gions.”(hlm. 90) Dihara­p­kan MUI bisa mengam­bil per­an di situ. Rez­im selalu tahu bah­wa ula­ma selalu pun­ya kedekatan intens den­gan raky­at.[3]

Mar­tin Van Bru­i­nessen  juga per­nah men­gatakan “Pada awal­nya pem­ben­tukan MUI dalam beber­a­pa hal dap­at dipa­ha­mi seba­gai lem­ba­ga kuasi pemer­in­tah.” Dibuk­tikan dari struk­tur MUI, kita akan men­e­mukan beber­a­pa unsur pemer­in­tah, dalam hal ini Kementer­ian Aga­ma yang men­ja­di bagian di dalam­nya. Man­tan Menag Munawir Syadzal per­nah men­je­laskan bah­wa fungsi uta­ma MUI adalah untuk men­je­laskan kebi­jakan pemer­in­tah dalam bahasa yang dap­at dipa­ha­mi umat.

Keti­ka per­an dan otori­tas Negara turun menyusul kera­ma­ian refor­masi pas­ca 1998 dan Negara semakin menun­jukkan inkon­sis­ten­si-nya, pen­garuh Majelis Ula­ma Indone­sia (MUI) jus­tru semakin men­guat. Masyarakat juga ter­pen­garuh den­gan otori­tas MUI. “Kare­na dalam fenom­e­na-fenom­e­na pas­ca 1998 fat­wa MUI lebih diden­garkan, apala­gi keti­ka menyangkut isu kebe­basan beraga­ma.” (hal. 161) Tokoh yang per­nah men­ja­di ket­ua MUI sendiri, KH. Ali Yafie, per­nah men­gatakan bah­wa fat­wa itu bersi­fat tidak mengikat.[4] Jan­gan sam­pai fat­wa yang dikelu­arkan MUI dijadikan kebe­naran satu-sat­un­ya, kare­na MUI bukan­lah polisi akidah.

Reflek­si

Fat­wa sesat menim­bulkan kekerasan

Seringkali MUI dijadikan lem­ba­ga otori­tatif yang berhak men­dak­wa sesat aga­ma di luar “aga­ma res­mi”. Ter­buk­ti pada 2009 di Desa ring­in­pitu Kedung­waru Tulun­ga­gung muncul kon­tro­ver­si aga­ma Bahai. Pada­hal aga­ma ini sudah di peluk war­ga setem­pat sejak 1960-an, den­gan segera MUI setem­pat menud­ingnya sesat kare­na hanya melakukan sha­lat sehari sekali.

Sikap MUI jelas jika dia men­gaku Islam kemu­di­an melakukan prak­tik ibadah kelu­ar dari yang diten­tukan Islam, maka itu ali­ran sesat,” kata Ket­ua Dewan Fat­wa MUI Ma’ruf Amin keti­ka dikon­fir­masi Oke­zone. Dia men­je­laskan MUI telah mene­tap­kan 10 kri­te­ria yang menye­but satu kelom­pok diang­gap sesat, di antaranya meny­im­pang dalam salat lima wak­tu, tidak men­gakui Muham­mad SAW seba­gai nabi, dan peny­im­pan­gan ibadah puasa.[5]

Kasus inipun akhirnya dibawa hing­ga ke Kejak­saan Negeri Tulun­ga­gung dan dilakukan pemerik­saan hing­ga tiga jam. Kasus lain adalah perusakan ban­gu­nan Masjid Bait­ul Salam milik Jamaah Ahmadiyah di Desa Gem­polan, Keca­matan Pakel, Kabu­pat­en Tulun­ga­gung, Jawa Timur. Stig­ma “Sesat” yang dis­e­matkan pada Jamaah Ahmadiyah memicu war­ga setem­pat melakukan tun­tu­tan per­obo­han rumah ibadah Jamaah Ahmadiyah. Sem­pat dilakukan medi­asi antara war­ga dan Jamaah Ahmadiyah namun gagal dan beru­jung aksi perusakan ter­hadap masjid Jamaah Ahmadiyah.

Masyarakat dan pemer­in­tah semakin lama semakin tun­duk den­gan fat­wa yang dis­ahkan oleh MUI. Sedan­gkan sebuah fat­wa akan men­ja­di wacana yang cepat terse­bar di kalan­gan masyarakat Indone­sia, khusus­nya masyarakat yang beraga­ma islam. Jan­gan sam­pai sebuah fat­wa itu di sen­tral­isasi, kare­na den­gan begi­tu ia berpoten­si untuk tidak memu­ngkinkan kri­tikan. Sebuah fat­wa harus selalu mem­bu­ka pelu­ang buat dis­course, untuk mengka­ji ulang “kepan­tasan” fat­wa-fat­wa yang sudah ada.

Pada dasarnya, seti­ap aga­ma sama-sama memi­li­ki lan­dasan suci yang men­dorong seti­ap pemeluknya mengepre­sikan­nya secara mandiri dan sama sekali tidak menghen­da­ki kon­flik. Den­gan adanya acuan yang seper­ti itu secara teol­o­gis, semestinya seti­ap umat beraga­ma dap­at hidup berdampin­gan dan ber­jalan secara har­mo­nis tan­pa prasang­ka untuk melemahkan dari aga­ma satu ke aga­ma yang lain. Meskipun dalam prak­tik keaga­maan­nya berbe­da dalam pelak­sanaan keprib­a­datan­nya, itu dikare­nakan perbe­daan dalam penaf­sir­an­nya. Kebe­naran memang lak­sana cer­min yang diberikan kepa­da manu­sia dan kini telah pec­ah berkeping. Manu­sia memu­ngut keping-kepingnya dan mas­ing-mas­ing meli­hat pan­tu­lan di dalam kepin­gan­nya mas­ing-mas­ing dan menyang­ka telah meli­hat kebe­naran. Sung­guh repot, jika ada yang meng­gu­nakan pec­a­han kaca itu untuk menusuk orang lain yang memegan­gi pec­a­han lain hanya kare­na pan­tu­lan kebe­naran di pec­a­han mas­ing-mas­ing berbeda.

FU mem­berikan sifat-sifat yang jelas dalam bukun­ya untuk melakukan stu­di kasus prak­sis kebe­basan beraga­ma di Jawa Timur. Sifat-sifat yang diberikan oleh FU ini yaitu eklusi­fisme, inklusi­fisme dan plu­ral­isme. Eksklusi­fisme di sini berar­ti sifat yang cen­derung aga­ma atau keyak­i­nan yang di anut pal­ing benar dan yang lain diang­gap salah sehing­ga harus diin­safkan den­gan mengem­ba­likan mere­ka ke aga­ma yang di anggap benar, Inklusi­fisme ialah sifat yang cen­derung lebih ter­bu­ka dalam mema­ha­mi war­na aga­ma bahkan ali­ran yang ada di Indone­sia, namun sifat inklusi­fisme ini tetap men­gang­gap aga­ma yang dim­i­li­ki atau di anut teta­plah lebih sem­pur­na dari yang lain­nya tetapi tidak menut­up kemu­ngk­i­nan aga­ma yang lain­nya juga benar bagi mereka.

Sifat plu­ral­isme berkeyak­i­nan jalan menu­ju kebe­naran itu begi­tu banyak sekali. Mere­ka (plu­ralis) akan men­gang­gap mere­ka sama di mata tuhan­nya, jadi tidak per­lu adanya sal­ing klaim lebih benar antar sesama. Hara­pan­nya MUI mem­bawa umat­nya menu­ju sifat plu­ral­isme. Namun sebuah hara­pan tak sesuai den­gan sebuah keny­ataan, kare­na FU dalam stu­di kasus­nya men­da­p­at kes­im­pu­lan MUI cen­derung eksklusif dan dalam batas-batas ter­ten­tu menampilkan kecen­derun­gan inklusif. Semen­tara, kecen­derun­gan plu­ral­is­tik relatif tidak ditemukan. []

 

Judul buku  :     KALA BERAGAMA TAK LAGI MERDEKA; Majelis ula­ma Indone­sia dalam Prak­sis Kebe­basan Beragama

Penulis       :     Fawaizul Umam

Pener­bit     :      PRENADAMEDIA GROUP, Jakartaa

Cetakan     :      1, April 2015

Tebal         :      15 x 23 cm, xxvi + 312 hlm

 

[1] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6556/ham-dan-kebebasan-beragama-di-indonesia

[2] http://islamlib.com/lembaga/mui/m‑syafii-anwar-mui-perlu-mereformasi-diri/ 6 Sep­tem­ber 2016 pkl 23:05

[3] ibid

[4] ibid

[5] http://news.okezone.com/read/2009/10/26/340/269141/mui-salat-sekali-sehari-baha-i-sesat

san­tai, ten­ang dan tak per­lu seduh sedan ter­hadap real­i­tas semu.
sekarang maha­siswa aktif di juru­san Tasawuf Psikoter­api, sekali­gus crew di LPM Dimensi.

FacebookTwitterGoogle+