Judul: Laut Bercerita
Penulis: Leila S. Chudori
Kategori : Novel
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
ISBN: 978–602-424–694‑5
Dimensi: 13,5 x 20cm
Jumlah Halaman: x + 379 hlm
Tahun Terbit: 2017
“Kepada mereka yang dihilangkan dan tetap hidup selamanya.”
Setelah berhasil menggaet penghargaan kusala khatulistiwa untuk novel sejarah pertamanya, Pulang. Leila Salikha Chudori kembali meluncurkan karya realis-sosial keduanya dengan tajuk “Laut Bercerita” pada 2017 dan sukses meraih SEA Write Award, sebuah penghargaan yang dianugerahkan untuk penyair dan penulis Asia Tenggara.
“Matilah engkau mati, kau akan hidup berkali-kali,” sebait puisi yang membuka prolog dan mampu menyulut emosi setiap orang yang membacanya. Berlatar waktu tahun 1990–2000-an, “Laut Bercerita” mengisahkan tentang perjuangan, pengkhianatan, dan serentetan kemasygulan yang berujung pada ketidakjelasan korban tragedi penghilangan paksa saat rezim Orde Baru berkuasa.
Cerita bermula pada tahun 1991 saat Laut dan kelima teman-temannya mencari tempat baru di Seyegan, kawasan terpencil yang terletak di pojok Yogyakarta. Lokasi ini dipilih selain harganya relatif murah, juga berada dalam stereotip ‘rumah hantu’. Ini menjadi keuntungan tersendiri bagi Winatra, organisasi yang diikuti Laut, karena akan jauh dari intain intel.
Biru Laut Wibisono, seorang mahasiswa sastra inggris UGM yang sekaligus aktivis. Mengawali pertemuan dengan teman-temannya dari urusan lembaga pers hingga diskusi buku—seperti karya Ernesto Laclau atau Ben Anderson, bahkan novel Pramoedya Ananta Toer yang saat itu menjadi bahasan terlarang. Kegiatan Laut dan teman-temannya kemudian melebar, yang semula diisi dengan diskusi, selanjutnya mereka turut andil dalam aksi-aksi guna menyuarakan hak rakyat yang tertindas.
Salah satu aksi yang digencarkan Winatra dan Wirasena adalah; aksi tanam jagung Blangguan 1993, yang selanjutnya berbuntut pada penangkapan beberapa aktivis Winatra di terminal Bungurasih. Tiga tahun kemudian, pada 1996 saat terjadi peristiwa kerusuhan 27 Juli, Sekertaris Jenderal Wirasena, Arifin Bramantyo yang notabene adalah penggagas Winatra diburu karena dianggap menjadi dalang kerusuhan. Sebab itu pula Wirasena dan Winatra dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan menjadi buron.
Saat melancarkan aksi di berbagai daerah, setiap gerakan Winatra telah masuk kedalam radar pelacakan pemerintah. Pada beberapa kegiatan mereka selalu kecolongan karena aksinya lebih dulu diketahui oleh pemerintah. Atas dasar itu, anggota Winatra selalu curiga akan adanya agen ganda dalam organisasi mereka yang selalu membocorkan agenda mereka. Agen ganda ini nantinya akan tersingkap dan menjadi plot twist di pertengahan alur cerita.
Secara keseluruhan, buku ini terbagi menjadi dua sudut pandang, bagian pertama berisi cerita dari sudut pandang Laut beserta kawan-kawannya yang dianggap sebagai ancaman oleh rezim yang berkuasa, hingga akhirnya tertangkap. Pada bagian ini juga diwarnai kisah romansa Laut dengan salah seorang seniman Taraka bernama Anjani.
Leila S. Chudori dalam begian kedua mengambil sudut pandang Asmara Jati yang merupakan adik perempuan Laut. Dari sudut Asmara, kita akan dibawa menuju pemahaman setiap keluarga yang kehilangan. Disini diperlihatkan Asmara berjuang bersama aktivis lainnya yang tergabung dalam Komisi Orang Hilang untuk menuntut kejelasan atas korban penghilangan paksa. Alih-alih mendapat titik terang, Asmara dan keluarga yang ditinggalkan hanya tergantung dalam ketidakpastian.
Sekitar 22 orang tercatat dalam kasus penghilangan paksa di Komisi Orang Hilang. Korban yang dihilangkan terdiri dari; Laut, Daniel, Alex, Sunu, Gala, Bram, Kinan, Naratama, Coki, Hamdan, Arga, Hakim, Harun, Widi, Julius, Narendra, Ahmad, Dana dkk. Sembilan diantaranya sudah kembali, 13 lainnya masih tidak tau bagaimana nasibnya.
Jauh sebelum Laut ditangkap, beberapa orang Wirasena lebih dulu disekap dan di interogasi. Laut sendiri dinyatakan hilang saat ulang tahun Asmara, tepatnya 13 Maret 1998. Dan besoknya giliran penjemputan paksa Daniel dan Alex. Tiga minggu setelahnya, pada 23 April, Alex dan Daniel beserta tujuh orang lain dibebaskan, tapi tidak dengan Laut dan 12 lainnya.
Sudut pandang kedua dalam novel ini juga menyajikan cerita tentang mereka yang selamat tengah memberi keterangan guna menggambarkan situasi selama penahanan. Alex Perazon menjadi korban pertama yang memberikan keterangan. Alex memaparkan, ia dan kawan-kawan lainnya tak paham bagaimana mereka (yang menahan) memilih siapa yang dilepas dan siapa yang masih ditahan.
Sebelum dibebaskan, Alex diberi ceramah bahwa; penahanan dirinya dan kawan-kawan dilakukan demi keamanan negara karena ada anggapan indikasi presiden hendak ditumbangkan.
Perasaan hancur keluarga korban tergambar jelas pada bagian kedua novel yang mengambil sudut pandang ‘aku’ dari karakter Anjani. Keluarga seolah diberikan harapan yang mereka buat sendiri.
Pembagian dua sudut pandang yang dilakukan Leila S. Chudori adalah pemilihan yang pas. Sebab pembaca tidak hanya merasakan pengalaman dari mereka yang berjuang. Melainkan juga dari mereka yang ditinggalkan bersama ketidakjelasan. Sehingga perasaan kalut akan sering terjadi selama kalian membaca buku ini, segala emosi akan tumpah ruah pada setiap diksi yang terkandung.
Jika saya boleh mengatakan, buku ini nyaris tak ada kekurangan. Pilihan kata buku ini sederhana dan mudah dimengerti, serta tersusun rapi nan indah. Tetapi pemilihan alur campuran mungkin akan sedikit menyulitkan para pembaca yang tidak terbiasa, karena perlu memperhatikan waktu dari setiap kejadian.
Saat penulisan naskah ini, Leila S. Chudori melakukan riset dari setiap tokoh, tempat, dan latar peristiwa. Sehingga novel ini pun baru selesai setelah lima tahun penggarapan. Pada tahun 2017 setelah novelnya terbit, Laut Bercerita juga diadaptasi menjadi short film yang ekslusif dengan durasi 30 menit untuk mendampingi perilisan novelnya. Novel Laut Bercerita sangat cocok dibaca seluruh elemen masyarakat yang menyukai aksi pembebasan dan memerdekakan diri. Kisah yang dialami oleh tokoh Laut dan rekan-rekannya yang hilang di rezim Orde Baru pun tak akan habis termakan waktu. Sebab realitas-nya pun demikian, hal serupa terjadi di negeri ini, dengan hilangnya beberapa aktivis di masa 1998 dan hingga saat ini juga tak kunjung menemui titik terang.
Penulis: Vidya
Redaktur: Bayu
Jarang tidur, tapi punya banyak mimpi. Let’s make equality bestie💫