Judul: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!
Pengarang: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: ScriPtaManent
ISBN: 979–99461‑1–5
Tebal Halaman : 269 halaman
Dimensi : 12 x 19 cm
Tahun Terbit : 2023 (cetakan ke 23)
“Aku mengimani iblis. Lantaran sekian lama ia dicaci, ia dimaki, dimarginalkan tanpa ada satupun yang mau mendengarnya. Sekali-kali bolehlah aku mendengar suara dari kelompok yang disingkirkan, kelompok yang dimarginalkan itu. Supaya ada keseimbangan informasi.”
Meskipun terlihat aneh bagi pembaca, namun itulah kutipan dialog yang ditulis Muhidin pada awal bukunya. Novel yang pertama kali terbit pada tahun 2023 ini menceritakan tentang perjalanan sosok muslimah dalam memaknai kehidupannya. Tentang kekecewaannya terhadap Organisasi Islam, agama, dan terhadap Tuhannya.
Melalui karya sastra ini, kita sebagai pembaca seolah diajak untuk menilik suatu karya sebagai cerminan dari kehidupan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat melalui rangkaian cerita yang ditulis pengarang dalam setiap detail kalimatnya. Dan dalam hal penceritaannya pun, pengarang seakan menyinggung terkait kondisi sosial masyarakat yang berlatarkan daerah Yogyakarta. Selain itu, ia juga menyorot pergolakan batin yang dialami oleh tokoh utama dalam memaknai jalan kehidupannya.
Perjalan tokoh utama dimulai ketika ia tengah bersemangat untuk hijrah dengan menghadiri pengajian yang dilaksanakan di masjid dekat pondok tempatnya menimba ilmu. Di sini dijelaskan jika Nidah Kirani atau yang acapkali disapa Kiran turut merubah penampilannya dengan mengenakan pakaian syar’i. Ia menghabiskan waktu hanya dengan mengaji dan beribadah kepada Allah. Bahkan dalam proses hijrahnya, ia juga sempat mendatangi Sekretariat Dewan Mahasiswa guna menyampaikan keinginannya untuk membuat forum kajian keislaman. Dan dari forum tersebut mulailah ia berkenalan dan menjalin silaturahmi dengan Dahiri, salah satu anggota forum dan teman sekelasnya.
Nahasnya kedatangan Dahiri justru membuatnya terjerumus ke dalam dogma agama yang menyeleweng. Hal ini bermula ketika ia mendatangi Kiran guna menyoal tentang pemahaman beragama mereka yang keliru. Ia membawa Kiran makin larut dalam dogma yang dianggapnya benar hingga mencapai titik yang di mana Kiran bersedia mengikuti ajaran yang disampaikan oleh Dahiri dan berakhir pada pembaiatan. Kiran resmi menjadi anggota organisasi dengan label Islam.
Organisasi Islam yang dimaksud ialah Daulah Islamiah yang bertujuan untuk mendirikan negara Islam. Dalam konteks realitas sosial, organisasi tersebut seolah menjadi cerminan dari adanya organisasi pemberontakan di Indonesia, yaitu DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang bertujuan sama, yakni menjadikan negara yang berdasar pada agama Islam.
Tidak cukup di situ saja, ajaran yang awalnya Kiran percayai, Kiran anggap benar, bahkan dijadikannya sebagai tumpuan untuk semakin dekat dengan Tuhan malah membawanya menuju kekecewaan. Apa yang telah ia lakukan terasa sia-sia. Organisasi yang ia elu-elukan justru membawanya ke dalam lubang kegelapan. Dan dari sanalah awal mula Kiran menyerukan bahkan menyalahkan Tuhan atas segala usahanya yang gagal.
Kekecewaan tersebut membuat hubungannya dengan Tuhan menjadi renggang. Ia memilih untuk menjauhi Tuhan. Dan upaya penenangan dirinya adalah masuk ke dalam dunia hitam yang mulai menjadikannya sebagai perempuan pecandu kehidupan malam dan obat-obatan terlarang. Lebih dari itu, ia juga mulai menapaki dunia seksual dengan menjamah dan dijamah oleh banyak laki-laki. Dengan menjadi korban pelecehan atau menyerahkan diri demi kepuasan duniawi.
Dalam novel ini, penulis juga menggambarkan bagaimana kondisi psikologis tokoh utama yang mulai hancur. Terlebih lagi setelah mengetahui jika ayahnya tengah terbaring tak berdaya di rumah sakit. Kenyataan tersebut membuat Kiran berkeinginan untuk mengakhiri hidup dengan meneguk 45 butir pil disertai dengan minuman bersoda. Namun, usaha tersebut gagal. Agaknya Tuhan masih berbaik hati hingga tidak mengizinkannya untuk mati.
Kisah Kiran dalam memaknai kehidupannya berakhir pada keputusan untuk melacurkan diri melalui germo, yaitu dosennya sendiri yang menyediakan jasa jual beli seks dengan upah yang besar. Dalam akhir ceritanya pun, Kiran menyebut dirinya sebagai Sang Nabi Kejahatan, Putri Api yang akan membakar topeng-topeng kemunafikan.
Novel karya Muhidin M. Dahlan ini ditutup dengan persembahan yang berisi berbagai respon para pembaca. Menurut saya, novel ini banyak memuat nilai-nilai tentang realitas sosial tokoh utama dengan masyarakat yang juga dijadikan sebagai objek sorotan di dalamnya. Selain itu, novel ini juga mengandung nilai perjuangan Kiran dalam upaya berhijrah hingga tetap menjaga kewarasannya meskipun ia sendiri sudah berada dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
Meskipun dengan judul yang cenderung tabu, menurut saya karya sastra ini menarik untuk dibaca dan dikaji lebih dalam terkait dengan kritik sosial yang coba disampaikan oleh pengarang. Tetapi, sebagai orang awam yang belum cukup pengetahuannya, saya perlu membaca karya ini dua sampai tiga kali guna memahami makna yang dikandungnya. Oleh karena itu, saya menyarankan kepada pembaca lain untuk memahami dengan betul terkait pesan apa yang ingin disampaikan oleh pengarang guna menghindari adanya miskonsepsi.
Penulis : Lulu
Redaktur : Bara
Editor : Tika