Pupuk sudah beranak pinak. Pupuk muncul di head­line Kom­pas hari ini (Kamis, 16 Feb­ru­ari 2017) dalam tajuk Pupuk Kem­bali Per­saudaraan. Tidak dalam semarak BIMAS mengkam­pa­nyekan Rev­o­lusi Hijau di tahun 80-an. Pupuk kali ini dikam­pa­nyekan oleh media-media untuk pilka­da yang aman dan tol­er­an. Walah, pupuk masuk dalam gelang­gang pilka­da seba­gai pesan per­dama­ian. Dalam pilka­da yang meny­atukan sebangsa-setanah air, untuk libur.

Barangkali hanya petani yang tidak rehat dalam libur nasion­al pilka­da. Banyak dari mere­ka asik mem­buang-buang pupuk untuk menyuburkan tana­man. Tana­man petani men­ja­di hijau. Tapi pupuk yang menye­bar dalam masyarakat jan­gan sam­pai menghi­jaukan masyarakat men­ja­di bagian dari salah dua par­tai yang men­gusung Ahay (bukan nama sebenarnya).

Pupuk dimenger­ti seba­gai mate­r­i­al yang dita­m­bahkan pada media tanam atau tana­man untuk men­cukupi kebu­tuhan hara yang diper­lukan tana­man, sehing­ga mam­pu berpro­duk­si den­gan baik. (Wikipedia Bahasa Indone­sia) Namun keti­ka bersand­ing den­gan me‑, pupuk men­ja­di kata ker­ja, memupuk. ‘Memupuk’ berpasan­gan den­gan ‘per­saudaraan’ dimenger­ti seba­gai ker­ja menam­bahkan mate­r­i­al (tol­er­an­si) pada per­saudaraan untuk men­cukupi kebu­tuhan ‘hara’ yang diper­lukan sehing­ga per­saudaraan men­ja­di lebih baik.

Pupuk menelisip jauh dalam alam sadar wartawan, penulis, guru, murid, dan semua orang. Bahkan tukang becak yang hari ini tertawa den­gan tahu isi berje­jal dimu­lut­nya, men­ge­nal akrab pupuk yang tidak hanya iden­tik den­gan petani. Terkadang tukang becak juga memupuk hatinya untuk tabah saat order-an lagi sepi.

Pupuk adalah candu

Dongeng dim­u­lai keti­ka orde baru mem­bawa ramuan ajaib oleh-oleh ple­sir­an­nya dari luar negeri. Diper­caya, ramuan terse­but akan mam­pu meningkatkan pro­duk­si padi secara sig­nifikan. Ter­buk­ti, hasil kuan­ti­tatif rev­o­lusi hijau bek­er­ja seper­ti sihir, meli­pat­gan­dakan hasil per­tan­ian padi di Jawa tahun 1960-an. Pun­caknya, pada 1984/85 Indone­sia men­ja­di negara mandiri yang tidak lagi bergan­tung pada impor.

Sayangnya, ramuan ajaib baru bisa bek­er­ja den­gan cam­pu­ran pupuk dan air yang melimpah, ser­ta pestisi­da untuk melin­dun­gi seran­gan hama pemu­ja ramuan ajaib. Joeni Har­tan­to mengutip Pin­cus dalam Tin­jauan Kri­tis Dr. Man­sour Fak­ih men­gatakan, “Aki­bat­nya per­tan­ian pedesaan dipak­sa bergan­tung pada pupuk kimia dan racun pestisi­da. Di Jawa mis­al­nya, sela­ma awal Rev­o­lusi Hijau, sela­ma 7 rahun rata rata per­hek­tar peng­gu­naan pupuk kimia naik 50% seti­ap tahunnya.”

Petani pada awal­nya meng­gu­nakan pupuk kan­dang beru­pa kotoran ker­bau ser­ta daun orok-orok, di sawah-sawah mere­ka.  Rev­o­lusi Hijau kemu­di­an mem­bu­at pemer­in­tah Orde Baru meng­galakkan peng­gu­naan pupuk buatan pabrik untuk mem­per­cepat pen­ingkatan pro­duk­si padi.

Ramuan ajaib seper­ti  PB maupun Peli­ta meru­pakan bib­it yang respon­sif ter­hadap pupuk buatan. Per­cobaan pemupukan uji respon­sif vari­etas PB 5 dan PB 8 dilakukan den­gan empat per­lakuan. Per­ta­ma, tana­man padi tan­pa dipupuk mam­pu men­hasilkan padi 46,37 kwin­tal per hek­tar; ked­ua tana­man dipupuk den­gan pupuk urea dua kwin­tal per hek­tar meng­hasilkan padi 69,25 kwin­tal per hek­tar; keti­ga tana­man padi dipupuk den­gan tiga kwin­tal pupuk urea per hek­tar meng­hasilkan padi 72,25 per hek­tar; dan yang keem­pat tana­man padi dipupuk den­gan meng­gu­nakan pupuk urea dua kwin­tal di cam­pur den­gan satu kwin­tal TS meng­hasilkan 66,37 kwin­tal padi per hek­tar. (Mud­ji Hartono dkk mengutip Har­i­an Mertju Suar, edisi Sab­tu Wage 27 Maret 1971) Hasil terse­but cukup men­guatkan pemer­in­tah memilih(kan) urea seba­gai ‘obat kuat’ tana­man petani.

Gam­bar 3 menun­jukkan pemaka­ian pupuk di per­tan­ian Indone­sia yang san­gat ting­gi diband­ingkan den­gan di negara-negara Asia lain­nya itu. Dalam 10 hing­ga 20 tahun, laju per­tum­buhan­nya rata-rata per tahun meningkat dari sek­i­tar 1,7% dalam dekade 60an ke 16% sela­ma peri­ode 1970an-1980an, yang mem­bu­at pemaka­ian pupuk mod­ern ini per hek­tar juga men­gala­mi suatu pen­ingkatan dari sek­i­tar 1,3% ke 13,6% rata-rata per tahun sela­ma peri­ode yang sama.

Peng­gu­naan pupuk (jenis organik) secara komer­sial telah berkem­bang dan meningkat hing­ga 20 kali lipat diband­ingkan 50 tahun yang lalu den­gan jum­lah kon­sum­si saat ini men­ca­pai 100 juta ton nitro­gen anor­ganik per tahun. Tan­pa pupuk anor­ganik, diperki­rakan seper­ti­ga bahan pan­gan saat ini tidak dap­at berpro­duk­si. Peng­gu­naan pupuk fos­fat juga meningkat dari 9 juta ton (1960) men­ja­di 40 juta ton (2000). (Wikipedia Bahasa Indone­sia)  

Pada 1997/98 ter­ja­di kri­sis ekono­mi yang berim­bas pada penu­runan pem­be­lian pupuk kare­na menu­run­nya sub­si­di pupuk dari pemer­in­tah. Diku­ran­gi atau diha­puskan­nya sub­si­di pupuk ten­tu berdampak lang­sung pada kenaikan biaya pro­duk­si padi. Aki­bat­nya petani harus mengkalku­lasi ulang biaya pro­duk­si berco­cok tanam.

Tabel 4 menya­jikan infor­masi men­ge­nai biaya relatif dari pemaka­ian pupuk (pabrik dan non-pabrik) diband­ingkan den­gan biaya-biaya dari pemaka­ian pestisi­da dan bib­it dalam penana­man padi di Indone­sia untuk satu peri­ode. Biaya untuk pem­be­lian pupuk sek­i­tar 6% lebih dari nilai pro­duk­si. Diantara jenis-jenis pupuk buatan pabrik yang digu­nakan, biaya pal­ing ting­gi adalah dari pupuk urea yang caku­pan­nya ham­pir 4% dari nilai produksi.

Stu­di kasus oleh Sulistyawaty di tahun 2006 dalam Tulus Tam­bunan Rev­o­lusi Hijau dan Perkem­ban­gan Sek­tor Per­tan­ian di Indone­sia, kebu­tuhan pupuk urea untuk tanah selu­as 1.200 meter perse­gi men­ca­pai 50 kg. Bila berun­tung, petani bisa men­da­p­atkan pupuk urea bersub­si­di sehar­ga Rp 52.500 untuk 50 kg. Selain urea, pen­gelu­aran petani masih dita­m­bah den­gan sejum­lah kom­po­nen jasa, seper­ti ongkos trak­tor, mem­ba­yar tena­ga buruh tanam, dan biaya jasa lain. Belum lagi biaya untuk sewa tanah atau penyusu­tan lahan. Untuk biaya pro­duk­si, petani harus mero­goh hing­ga Rp 400.000. Har­ga yang diper­oleh sek­i­tar 2,75 kuin­tal beras, untuk jenis pane­nan ter­go­long baik. Bila petani men­go­lah sendiri pas­capro­duk­si selu­ruh­nya, beras ini setara den­gan Rp 962.500. Dalam jang­ka wak­tu 4 bulan petani hanya men­da­p­at keun­tun­gan bersih Rp. 562.500. Seo­rang bapak berpro­fe­si petani akan men­geluh pada istrinya di ten­gah malam, “uang segi­tu buat beli jajan anak kita saja kurang.”

Rasa can­du petani menyeru­ak jadi rindu keti­ka pupuk tiba-tiba lang­ka di pasaran. Kelangkaan terse­but dise­babkan oleh banyak hal, ser­ing kali kare­na ada pihak-pihak ter­ten­tu yang sen­ga­ja mena­han atau menumpuk stok den­gan tujuan untuk men­cari keun­tun­gan finan­sial kare­na kelangkaan itu den­gan sendirinya menaikkan har­ga pupuk di pasar, dan ser­ing juga kare­na pasokan dari pabrik-pabrik tersendat kare­na masalah pro­duk­si. Petani kem­bali men­ja­di sub­jek yang pal­ing dirugikan.

Yang pal­ing pent­ing, solusi pemer­in­tah menaikkan pro­duk­si pane­nan mem­bawa petani begi­tu bergan­tung pada pupuk. Pada­hal, pemupukan dalam jang­ka beber­a­pa tahun menye­babkan tanah men­ja­di ‘impoten’ (jika tidak dipupuk tanah tidak men­dukung pro­duk­si yang sta­bil), seran­gan kanker (akan kering/tandus) dan gang­guan kehami­lan (kehi­lan­gan hara milik tanah).

Wikipedia men­gan­ton­gi begi­tu banyak  dampak buruk dari pupuk beru­pa polusi air, sin­drom bayi biru, kon­t­a­m­i­nasi zat pen­go­tor, keter­gan­tun­gan ter­hadap zat anor­ganik, hilangnya unsur mikro, pemupukan berlebih, kon­sum­si ener­gi ting­gi, kon­tribusi ter­hadap peruba­han iklim, dampak ter­hadap miko­riza, eutrofikasi, pen­ingkatan keasaman tanah, pence­maran udara.

Petani masa bodoh den­gan dampak. Para petani Cuma mengiku­ti saja titah rajanya dulu. Mere­ka hanya mengkalku­lasi biaya pro­duk­si dan bera­pa hasil keun­tun­gan yang bisa dikan­ton­gi. Petani tidak pun­ya pil­i­han selain meng­gu­nakan pupuk pabrik guna memas­tikan hasil panen kon­sis­ten. Dari para orok petani (dim­u­lai dari Rev­o­lusi Hijau) cara bertani seakan sudah mapan seper­ti itu. Asal pane­nan tetap lan­car, besok bisa makan, petani senang.

Dalam hin­gar-bin­gar ‘pupuk’ saat pilka­da, ada ceri­ta petani di desa-desa bin­gung mem­be­li pupuk. Ada petani yang ‘meng­gadaikan’ SPP seko­lah anaknya untuk mem­be­li pupuk. Ada petani yang meng­gadaikan BPKB motornya untuk dap­at mem­be­li pupuk. Ada petani yang men­gu­ran­gi uang belan­janya untuk mem­be­li pupuk. Ada juga tengku­lak yang menim­bun pupuk untuk menaikkan har­ga. Pupuk pun­ya ceri­ta untuk raky­at kecil, bah­wa tan­pa pupuk mere­ka tahu pane­nan­nya akan surut sep­a­ruh dari seharus­nya. Pupuk dulu, kini (dan nan­ti) tetap men­ja­di candu.

Sah-sah saja media dan masyarakat (ter­ma­suk Jokowi) menggem­bor-gem­borkan ‘pupuk’ untuk mem­i­ni­mal­isir per­pec­a­han di momen pilka­da. Tapi, jan­gan lagi gem­bor-gem­borkan pupuk jilid II seba­gai solusi yang akhirnya men­ja­di can­du petani (lagi). Par­a­dig­ma pemer­in­tah yang selalu mengkap­i­tal­isasi seti­ap apapun yang men­ja­di komod­i­tas mem­bu­at sesak hidup dan hati petani. []

Sia­papun yang men­ja­di peme­nang pilka­da, semoga bukan kare­na ada pupuk-pupuk yang masuk kan­tong-kan­tong pemil­ih. Cip­takan­lah pilka­da yang men­didik, jujur dan adil untuk Indone­sia jaya.

Pu(k)puk terkadang juga per­lu untuk mem­bu­at­mu lebih tabah, Mblo.