“Karena persaan tidak percaya, maka orang suka menyiasat, maka ilmu pengetahuan lahir, Diapun insaf, sekali-sekali manusia itu akan merasa terbelenggu semangatnya dan pikirannya … sebagai tempat perhentian sebelum sampai ke masa yang baru …”
Armijn Pane
Judul : Belenggu
Penulis : Armijn Pane
Penerbit : Dian Rakyat
Cetakan : Kedelapan belas
Tahun Terbit : 2000
Tebal Buku : 150 Halaman
Belenggu oleh Armijn Pane ini termasuk buku dalam angkatan Pujangga Baru, yakni era karya sastra tahun 30-an. Angkatan ini lahir tepat setelah angkatan Balai Pustaka . Ciri karya sastra pada angkatan sebelumnya banyak mengusung tema tentang kawin paksa maupun kasih tak sampai, sedangkan angkatan Pujangga Baru sudah mulai memunculkan kisah-kisah yang berbeda. Salah satu perbedaan yang menonjol dalam kisah ini adalah adanya kemajuan pemikiran tokoh perempuan dalam cerita. Perempuan yang menjadi tokoh utama yakni Tini digambarkan sebagai seorang perempuan modern. Perempuan mandiri yang cerdas dan aktif dalam kegiatan sosial. Terlihat benar sudah adanya sosok emansipasi tokoh yang sama sekali lain dengan karya sastra angkatan sebelumnya.
Karya Belenggu pernah ditawarkan kepada Balai Pustaka, penerbit resmi negara Hindia Belanda pada tahun 1938, namun ditolak. Mereka menganggap karya ini tidak bermoral. Lantas karya ini diterima oleh Pudjangga Baroe (Wikipedia BI). Adapun karakteristik agkatan sastra Poedjangga Baru diantaranya yaitu, tema yang diangkat lebih beragam daripada angkatan Balai Pustaka. Bentuknya lebih luas karena sudah tidak terikat dengan Nota Rinkes (semua karya sastra harus netral terhadap agama, politik dan bersifat mendidik). Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang berkembang di masyarakat. Di sisi lain, karya sastra yang dihasilkan bersifat romantisme (Sulistyorini dan Lestari, 2012: 37–38).
Belenggu yang ditampilkan pengarang muncul dan ditumpahkan kepada tiga tokoh cinta segitiga dalam cerita. Salah satu konflik yang memancing adanya belenggu adalah adanya cinta segitiga antara Kartono yang sering dipanggil Tono, Martini dipanggil Tini dan Rohayah yang juga dikenal dengan nama samaran Eni dan Siti Hajati.
Pernikahan Tono dan Tini tidaklah didasarkan oleh cinta yang murni dan sehat. Keduanya memiliki alasan tersirat hingga memutuskan untuk menjalin hubungan pernikahan. Karena alasan yang tidak rasional, maka orang ketiga muncul sebagai penengah yang memicu perpisahan sejoli Tono Tini.
Tono adalah seorang dokter. Ia mempunyai pemikiran bahwa sebagai seorang dokter, maka sepadannya memiliki pasangan yang ideal seperti halnya Martini setelah menempuh sekolah kedokteran di Surabaya. Dengan dasar demikianlah ia menikahi Tini. Sedangkan Tini adalah perempuan yang mempunyai masa kelam dengan kekasihnya yakni Hartono. Karena kesalahpahaman sepihak, Tini menganggap Hartono yang pernah memutuskan hubungannya telah meninggal dunia. Karena merasa cantik dan banyak lelaki yang mendekatinya maka Tini memilih Tono sebagai pasangan hidup sekaligus pelarian cintanya.
Di antara kehidupan pernikahan Tini dan Tono yang semakin renggang muncullah tokoh Yah yang mengisis kesepian Tono. Yah adalah pasien Tono yang kemudian mengaku sebagai teman kecil Tono di waktu sekolah rakyat saat masih di Bandung. Yah adalah seorang janda yang memutuskan untuk menjadi perempuan penghibur sekaligus penyanyi lagu keroncong yang kebetulan sangat diminati oleh Tono. Di kehidupan sehari-harinya Yah sering mengganti-ganti namanya sebagai nama samaran. Dalam dunia keroncong ia dikenal dengan Siti Hajati yang ternyata penyanyi yang diidolakan Kartono.
Yah adalah sosok pasien yang baik, menurut apa yang dikatakan dokternya. Di samping itu, Yah seorang yang ramah, lemah lembut dan pandai bergaul. Ini terjadi karena dulu Yah pernah mencintai Tono ketika masih sekolah Rakyat maka Yah menggoda Tono. Tono menganggap Yah adalah perempuan yang mampu mengimbanginya dengan segenap pengertiannya. Tidak seperti Tini yang sering sibuk dengan kegiatannya di luar rumah dan tidak memiliki waktu banyak untuknya.
Pada Akhirnya cinta segitiga yang terjalin di antara ketiganya tidak berjalan sehat dan berpisah satu sama lain. Suatu ketika Tini mengetahui perselingkuhan Tono. Pandai pepatah berkata di manapun bangkai dikubur pasti baunya akan tercium. Tini menemui Yah, mencari tahu perempuan seperti apa yang mencampuri kehidupan rumah tangganya. Di sela perbincangannya, dengan tegas menanggapi:
Katakan saja terus terang: kalau aku tidak hina (sebentar kemudian) sudah menjadi hina. Kadang-kadang kita tidak tahu, kita hina, karena sudah menjadi kebutuhan hidup, yang tiada boleh tidak mesti dipuaskan juga, sebagai seorang sudah tagih candu, ingin hati melepaskannya, tiada juga dapat, seolah-olah ada angin puyuh, ada pusaran air menarik mendengarkan… (Belenggu: 134).
Tini mulai memahami bahwa Yah merupakan perempuan yang pandai berfirasat. Yah adalah perempuan yang tepat untuk menjadi pendamping hidup Tono ke depan. Seletah berbincang banyak dengan Yah, Tini merasa Yah adalah sosok perempuan yang lebih baik untuk Tono.
Haru biru yang selama ini dalam hatinya sudah hilang sama sekali. Belenggu yang sebagai mengikat semangatnya sudah terlepas. Di hadapan masa semangatnya dengan terang memanjang jalan yang akan ditempuhnya (Belenggu: 139).
Tini memutuskan untuk berpisah dengan Tono. Tono sebelumnya merasa berat, tetapi akhirnya beranjak menemui Yah. Namun, Yah merasa dirinya tidak pantas bersanding dengan Tono yang merupakan seorang dokter. Yah takut citra dokternya akan hilang jika tetap berhubungan dengan Rohayah yang pernah menjadi perempuan penghibur.
Yapi (dalam Wikipedia BI) berpendapat, judul Belenggu mencerminkan konflik batin yang dihadapi semua tokoh yang terutama, sehingga mereka terbatas dalam perilaku mereka. Yapi menunjuk pada klimaks novel sebagai contoh baik akan keterbatasan itu. Menurut Siregar, hal ini didukung oleh dialog antara Siregar antara Hartono dan Sukartono, di mana mereka beranggapan bahwa manusia selalu dibelenggu oleh kenangannya akan masa lalu.
Menurut Bakri Siregar (dalam Wikipedia BI), seorang kritikus sastra Indonesia sosialis yang aktif dengan Lekra, Armijn dipengaruhi teori Sigmund Freud akan psikoanalisis. Ia menulis bahwa hal ini paling menonjol dalam tokoh Sumartini. Dua karya Armijn yang ditulis sebelumnya, Barang Tiada Berharga (1935) dan Lupa (1936), mempunyai aspek plot yang mirip dengan Belenggu. Barang Tiada Berharga juga mempunyai tokoh dokter dan istrinya, yaitu Pardi dan Haereni, yang digambarkan dengan watak mirip Sukartono dan Sumartini, sementara Lupa memperkenalkan tokoh utama Sukartono. Hal ini terjadi disebabkan pemerintah Hindia Belanda melarang pembahasan politik dalam sastra, Armijn membatasi sindiran pada sistem kolonial dalm novel. []