Sore hari seorang teman mengirim pesan whatsapp untuk mengisi diskusi malam. Ini sangat mendadak dan cukup membuatku gagap kebingungan perihal tema apa yang akan aku sampaikan. Aku membalas balik suruhan pesan tadi dengan pertanyaan “apa yang harus saya sampaikan?”. Teman membalas ringan, “hari ini hari buku”. Balasan yang hampir-hampir bukan memberikan optional. Namun, aku menganggapnya sebagai tawaran untuk aku pilih.
Tentang hari buku pikiranku tertuju pada satu kata kunci lain, perpustakaan. Hari Buku Nasional pada 17 Mei merupakan bentuk peringatan dan penghargaan atas berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) 37 tahun silam –17 Mei 1980– di Jakarta. Penentuan hari buku nasional sendiri sebagai upaya untuk menumbuhkan dan meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia.
Menukil ranking The World’s Most Literate Nations (WMLN) pada 2016, kebiasaan membaca masyarakat Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara. Padahal, jika dibandingkan dengan peringkat ketersediaan perpustakaan, Indonesia menempati urutan ke 36 yang artinya jumlah perpustakaan di Indonesia tergolong mumpuni.
Perpustakaan sendiri awalnya diciptakan untuk merawat ingatan manusia yang terbatas. Dahulu perpustakaan tidak se-modern sekarang yang dimaksudkan sebagai tempat yang luas, terdapat ac, rak-rak berjajar berisi buku. Seperti ungkapan Elizabeth D. Inandiak, penulis buku Centhini Kekasih yang Tersembunyi, “Kita adalah perpustakaan”, karena, “perpustakaan pertama berawal dari akal manusia.”
Perustakaan pertama berasal dari ingatan-ingatan masa lalu yang tersimpan pada akal. Elizabeth mengingatkan kita akan kejituan akal manusia dalam merekam cerita-cerita sebagai saksi sejarah. Ingatan itu berdiaspora kepada yang lain lewat tradisi oral. Itulah mengapa hikayat, folklor, cerita rakyat tercipta dari ingatan-ingatan masa lalu lalu disampaikan secara lisan.
Kemudian manusia merawat ingatan itu pada perpustakaan batu. Perpustakaan batu berupa candi-candi, arca yang kini memanggil-manggil kita untuk menafsirkan ingatan masa lalu kemudian menuliskannya. Hingga kemudian perpustakaan berkembang seperti yang jamak kita temui sekarang.
Segala macam buku dan arsip kini dipusatkan pada perpustakaan. Di berbagai kampus atau lembaga pendidikan lain, segala literatur bisa diakses dalam perpustakaan. Sayangnya, untuk masuk ke dalamnya ada aturan-aturan yang harus dituruti. Kampusku misal, untuk masuk perpustakaan tidak boleh memakai kaos oblong dan sandal jepit serta harus menunjukkan kartu member.
Aturan itu kemudian diperketat lagi dengan denda dan batas peminjaman terbatas yang bisa diperpanjang. Jika terlambat memperpanjang, peminjam harus membayar denda. Pernah terjadi di kampus saya beberapa kali, peminjam tanpa tahu-menahu mempunyai tanggungan pinjam buku yang tercatat dalam database miliknya. Peminjam mengingat-ingat dan merasa tidak meminjam buku tersebut. Peminjam berdebat panjang dengan pihak perpustakaan meskipun hasil akhir sudah diketahui, peminjam harus mengganti buku tersebut. Entah ini human error atau kesalahan sistem perpustakaan, yang pasti keribetan perpustakaan membawa dampaknya.
Juga, perpustakaan kini menjadi tempat eksklusif, terbatas untuk yang rapi dan anggota. Perpustakaan-perpustakaan lembaga pendidikan atau perpustakaan daerah (perpusda) hanya orang tertentu yang bisa mengakses peminjaman. Saya misal yang bukan asli orang Tulungagung tidak bisa membuat kartu member untuk melakukan peminjaman.
Ppengeksklusifan juga terjadi di perpustakaan kampus. Mereka yang diberi akses pinjam terbatas mahasiswa aktif saja. Perpustakaan kampus tidak melayani masyarakat umum untuk pinjam buku. Padahal pengadaan perpustakaan tersebut menggunakan dana distribusi Negara yang sebagian adalah pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Wajar kemudian banyak masyarakat kita yang tidak banyak membaca karena mereka tidak memiliki akses mudah dan murah terhadap buku. Kan tidak banyak masyarakat yang mau membeli buku, lebih baik uang mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena buku bagi masyarakat Indonesia masih menjadi barang tersier.
Aturan-aturan yang sebenarnya disusun untuk memudahkan justru menimbulkan paradok. Perpustakaan yang dibentuk untuk memberikan akses membaca bagi banyak orang justru hanya bisa diakses oleh orang eksklusif saja. Sehingga muncul kesimpulan bahwa perpustakaan belum bisa mengambil perannya untuk mengembangkan minat baca masyarakat kita yang masih minim. “Inikah perpustakaan dalam ranah pendidikan kita sebagai drama‘jendela pengetahuan, namun kita menemukan monolog pembekuan”, kata Elizabeth.
Elizabeth mengingatkan kita untuk tidak memenjarakan buku di dalam perpustakaan. “Kini kita menghadapi rezim perpustakaan kaca yang membekukan buku-buku.” Di gedung rektorat IAIN Tulungagung lantai satu kita bisa menemukan banyak buku bersolek dan berdiam diri di dalam lemari kaca. Buku karya dosen-dosen kampus dipajang sebagai monumen. Buku-buku tersebut tidak dibaca dan dielus sama sekali, nasibnya membuat kita terenyuh. Dari dalam tembok kaca, buku hanya bisa melambai dengan pintanya “Baca aku! Elus aku!”.
Kita pun mesti sadar, perpustakaan kaca menjadi ancaman itu sendiri. perpustkaaan kaca menyimpan ingatan-ingatan tertulis itu menjadi batu tidak bernyawa. Perpustakaan menjadi penjara bagi buku-buku. Di Aula Perpustakaan Universitas Islam Indonesia, ada sebuah museum kecil, di sana ada kotak putih besar telah memenjarakan buku Hatta, Pengantar Ke Djalan Ilmu dan Pengetahuan. Seperti itukah perpustakaan kita menjadi penjara buku-buku?
Di tengah statistik muram rendahnya tingkat baca masyarakat kita, perpustakaan harus ada untuk mengambil tanggungjawab meningkatkan minat baca. Perpustakaan harus lebih familiar dan dekat dengan masyarakat. Perpustakaan jangan menjadi tempat yang eksklusif dan mempertahankan kebekuannya. Pemerintah juga harus mendorong pembangunan perpustakaan mumpuni di tiap desa. Begitu. []
banyak mengambil data dari http://www.kalanari.org/2014/03/elizabeth-perpustakaan-dan-ingatan-kita.html