Pen­garang mungkin akan mati namun karyanya akan dike­nal oleh orang banyak. Penulispun demikian akan selalu pun­ya banyak anak-anak ide­ol­o­gis yang tidak per­nah menyu­dahi kenan­gan atas dirinya. Dirinya bahkan akan hidup lebih lama diband­ingkan tirani pemer­in­ta­han. Barangkali begi­tu pula yang ter­ja­di kepa­da diri Wid­ji Tukul. Namun, kita semua tidak per­nah tahu dimana geran­gan sosok Wid­ji Tukul yang hilang tak ten­tu rim­banya sebu­lan sebelum peri­s­ti­wa 1998.


Ingatan kita ten­tu saja akan kem­bali ter­bu­ka saat menye­butkan tahun 1998, dimana pada tahun ini tirani Soe­har­to mudun tah­ta. Tahun 1998 banyak aktivis, maha­siswa, bahkan war­ga sip­il yang hilang entah kem­ana. Orde baru meru­pakan rez­im yang mem­pun­yai banyak andil dalam pem­bungka­man dan penghi­lan­gan banyak aktivis. Meskipun banyak dari mere­ka yang dap­at pulang kem­bali kerumah namun tidak sedik­it yang hilang.
Wid­ji Tukul salah satu dari mere­ka yang sam­pai sekarang keber­adaan­nya tidak dike­tahui. Sia­pa yang tidak men­ge­nal sosok Wid­ji Tukul? Dia adalah orang yang lan­tang menyuarakan ketertin­dasan. Dia bukan pegawai pemer­in­ta­han, bukan orang berpun­ya, bahkan dirinya tidak tamat seko­lah. Namun suara-sura Wid­ji Tukul mam­pu merep­re­sen­tasikan raky­at yang kala itu men­gala­mi penin­dasan dari rez­im orde baru.
Saya kira trau­ma sejarah telah melanglang bua­na kem­ana-mana sam­pai beber­a­pa gen­erasi saat ini tidak banyak bela­jar sejarah. Sosok Wid­ji Tukul per­nah diduga seba­gai anggota Par­tai Komu­nis Indone­sia (PKI). Yap, sia­pa yang tidak tahu tetek bengek PKI dimana semua war­ga negara Indone­sia saat itu diceko­ki bau-bau anyir berdarah trage­di 1965. Sehing­ga secara pasti ham­pir kese­mua gen­erasi sekarang mem­pun­yai ketaku­tan tersendiri dalam dirinya.
Beber­a­pa hari sebelum saya berkun­jung ke Yogyakar­ta ter­ja­di pem­bubaran diskusi dan pam­er­an seni di Pusat Stu­di Hak Asasi Manu­sia Uni­ver­si­tas Islam Indone­sia (Pusham UII). Tepat­nya Senin 08 Mei 2017 pam­er­an seni yang diprakar­sai Andreas Iswinar­to ditut­up kare­na diang­gap berbau komu­nis. Pada­hal menu­rut Andreas pam­er­an ini meru­pakan tin­dakan lan­jut untuk pen­ge­nalan karya-karya Wid­ji Tukul. Ini meru­pakan ben­tuk apre­si­asi sete­lah film berjudul “Isti­ra­hat­lah Kata-Kata” ten­tang sosok Wid­ji Tukul men­da­p­at respon baik dari masyarakat.
Namun sayangnya pam­er­an ini harus berakhir den­gan adu otot oleh penu­tu­pan pak­sa yang dilakukan ormas Pemu­da Pan­casi­la. Hal pent­ing yang per­lu kita garis bawahi adalah bagaimana gen­erasi sekarang berg­er­ak tan­pa dasar penge­tahuan yang baik. Mere­ka tidak per­nah mem­ba­ca bagaimana sejarah Wid­ji Tukul yang sebe­narnya. Mere­ka hanya per­lu mem­bubarkan diskusi sebab Wid­ji Tukul diang­gap komu­nis. Lagi-lagi angga­pan tan­pa dis­er­tai penge­tahuan yang banyak mem­bawa otot bermain lebih keras dari­pa­da otak. Begi­t­u­lah kelu­cuan yang ter­ja­di saat pem­buabaran diskusi dimana Pemu­da Pan­casi­la jus­tru men­cari-cari Wid­ji Tukul dan-akan ditangkap.

dok. prib­a­di
Hal yang lebih pent­ing dari ser­e­mo­ni­al acara diskusi semacam ini ialah men­ge­nalkan kem­bali sia­pa sosok Wid­ji Tukul. Wid­ji Tukul saya kira pun­ya andil yang cukup besar dalam perg­er­akan baik maha­siswa maupun raky­at. Beli­au adalah tokoh mer­aky­at yang berg­er­ak atas dasar nuraninya demi demokrasi. Sehing­ga tidak sep­a­n­tas­nya menanamkan pola pikir yang buruk den­gan mela­beli buruk seti­ap tokoh pergerakan.
Ten­tu tidak adanya geli­at ormas untuk berdia­log adalah salah satu penye­bab mem­anas­nya oknum-oknum yang kon­tra komu­nis. Mere­ka hanya mau peduli dan paham jika kegiatan berdiskusi, pam­er­an, atau sem­i­nar yang diang­gap berbau komu­nis wajib dibubarkan. Hal ini meru­pakan kemu­nduran berpikir dis­aat pros­es pengem­balian nama baik dari kor­ban-kor­ban yang dulun­ya diang­gap komu­nis. Sehing­ga kem­bali memu­nculkan trau­ma men­dalam ter­hadap kor­ban yang dicap PKI maupun masyarakat secara umum.
Men­ge­nal Lebih Jauh Wid­ji Tukul
Siang itu kira-kira pukul 11.30 saya dan keti­ga teman saya berg­er­ak menu­ju Pusham UII untuk mengiku­ti serangka­ian acara penu­tu­pan pam­er­an. Mes­ki sem­pat baku han­tam den­gan ormas Pemu­da Pan­casi­la, Andreas berhasil mere­but kem­bali karya seninya. Sehing­ga Kamis siang itu masih dilakukan pam­er­an dan diskusi. Yang istime­wa dari acara diskusi ini ialah ada Hafiz, teman sekali­gus adik ide­ol­o­gis Wid­ji Tukul.
Usai acara saya dan teman saya sem­pat berbin­cang-bin­cang den­gan beli­au per­i­hal sosok Wid­ji Tukul. Menu­rut beli­au tidak ada sama sekali jejak yang dap­at dijadikan buk­ti kalau Wid­ji adalah anggota komu­nis. Setahu beli­au Wid­ji Tukul adalah pegiat seni, melalui Sang­gar Suka Ban­jir miliknya Tukul men­ga­jak anak-anak dil­ingkun­gan­nya untuk berke­sen­ian. Dina­mai Sang­gar Suka Ban­jir, sebab seti­ap musim hujan tiba air bisa masuk ke dalam rumah­nya atau sang­gar kesen­ian terse­but. Dulun­ya Wid­ji Tukul sem­pat mengenyam pen­didikan menen­gah per­ta­ma sam­pai tamat, kemu­di­an seko­lah karawi­tan namun tidak sem­pat lulus. Keter­batasan ekono­mi mem­bu­at Tukul harus berhen­ti seko­lah dan lebih memil­ih mem­ban­tu orang­tu­anya untuk mem­bi­ayai pen­didikan adik-adiknya.

dok. prib­a­di
Sejak awal mem­pun­yai bakat kesen­ian tidak menyu­rutkan niat Tukul untuk tetap berke­sen­ian, Tukul mengiku­ti grup kesen­ian umum. Disini­lah Tukul berte­mu den­gan Siti Dyah Suji­rah atau yang akrab dis­apa Nipon. Ker­ap­kali berke­sen­ian bersama akhirnya mem­bawa mere­ka untuk mem­bi­na rumah tang­ga pula. Kemu­di­an dari pernika­han ini Wid­ji Tukul dikaru­ni­ai dua orang anak yaitu Fitri Ngan­ti Wani dan Fajar Merah.
Saat per­ta­ma kali Hafiz men­gun­jun­gi rumah Tukul, dirinya amat terke­jut kare­na kolek­si buku Wid­ji Tukul yang banyak. Bahkan Hafiz merasa tersindir kare­na dirinya yang maha­siswa saja tidak mem­pun­yai kolek­si buku sebanyak ini. Kira-kira ada dua rak buku besar yang mam­pang di rumah Wid­ji Tukul. Hafiz amat san­gat her­an, bagaimana bisa Wid­ji Tukul yang seo­rang buruh mem­pun­yai seman­gat lit­erasi yang ting­gi. Ada banyak kolek­si buku-buku kiri yang ter­pa­jang di rak-rak buku, dari sini­lah Hafiz berpen­da­p­at bah­wa Wid­ji Tukul memang suara oten­tik raky­at kecil. Tidak habis pikir bagaimana seo­rang buruh bisa menyuarakan lan­tang penin­dasan yang diala­mi raky­at kecil.

Ten­tun­ya bukan sebab lain kare­na isi kepala Wid­ji Tukul yang benar-benar sarat raky­at bawah.
Momen­tum sebelum hilangnya Wid­ji Tukul sebe­narnya tidak ter­lalu dis­adari oleh kelu­ar­ganya. Sebab menu­rut Hafiz, Wid­ji Tukul memang orang yang ker­ap melakukan per­jalanan sehing­ga san­gat biasa jika berhari-hari Tukul baru pulang. Geli­at aneh baru kelu­ar­ga rasakan saat Wid­ji Tukul tidak pulang berbu­lan-bulan. Ini aneh sebab sela­ma apapun Tukul per­gi pasti dirinya akan kem­bali, namun kali ini tidak. Penant­ian kelau­r­ga ini­lah yang kemu­di­an dijadikan film pen­dek oleh Eden Jun­jung den­gan judul Bun­ga dan Tem­bok. Film ini mencer­i­takan bagaimana gam­baran kehi­lan­gan­nya kelu­ar­ga Tukul sebab penant­ian yang tidak berujung.
Per­lu dike­tahui bah­wa Wid­ji Tukul hilang kira-kira sebu­lan sebelum rez­im orde baru tum­bang. Sela­ma itu rez­im orde baru sedang menge­jar-nge­jar aktivis yang san­gat vokal menyuarakan demokrasi. Sedang trau­ma­tis orde baru masih men­ja­di momok yang meny­er­amkan untuk mem­ben­tuk stereotip begi­tu pula den­gan label yang ter­lan­jur diter­i­ma oleh Wid­ji Tukul. PKI lagi dan lagi men­jadikan sese­o­rang pan­tas untuk dibunuh, dibas­mi, dihan­curkan ide­ologinya tan­pa tedeng aling-aling. Walau bagaimana­pun saya kira adanya diskusi, pam­er­an seni yang masih mengin­gat Wid­ji Tukul adalah upaya untuk mere­ha­bil­i­tasi nama Tukul sendiri. Saya kira tidak pan­tas kita menuduhkan sesu­atu yang bukan pada tem­pat­nya, apala­gi sosok ini sam­pai sekarang hilang tidak ten­tu rim­banya. Mari kita bertanya pada nurani, apa guna tuduhan-tuduhan men­ji­jikkan itu bila raky­at masih ditin­das? Apa guna sek­ter­ian jika raky­at masih kelaparan? []

Manu­sia dan ker­ak-ker­ak bumi, sama berg­er­aknya. Hanya, manu­sia itu lebih absurd