“Dengan buku manusia bisa menjadi manusiawi. Biarkan masyarakat membaca buku dengan mudah dan murah. Salam literasi!”
Di awal tahun pelajaran baru selalu ada tradisi buku baru. Buku-buku pelajaran baru harus ditebus sekian rupiah untuk pegangan mengarungi beratnya thalabul ‘ilmi di bangku sekolahan. Buku yang banyak dan tebal cukup berat buat kantong dan bobot. Terkadang, buku baru juga mengharuskan beli tas baru. Tas yang lama sudah rusak untuk membawa banyak buku setahun lalu.
Dalam setahun uang Mamak-Bapak harus diluang 500 ribu untuk menebus buku. Cita-cita Mamak-Bapak sangat mulia, buku itu biar bisa bantu aku anaknya menjadi rajin belajar dan pintar.
Mamak-Bapak orangtua yang tidak intimidatif maupun koordinatif. “Nak, belajar!”, “Nak, membaca!”, “Nak mengerjakan PR!”, “Itu buku dibaca. Beli mahal-mahal”. Tidak pernah Mamak-Bapak mengabsenku dengan perintah seperti tadi. Aku amat bersyukur punya orangtua mereka.
Kalau aku pengen belajar ya belajar, kalau ingin membaca ya membaca. Seringkali sadar membaca ya sewaktu mau ujian atau ulangan (harian). Nge-trend-nya waktu itu SKS soalnya, Sistem Kebut Semalam. Sistem belajar yang ampuh mengantarkanku lolos sekolah. Setidaknya sistem belajar tersebut bagus tinimbang sistem belajar sekarang yang menekankan belajar saat ujian. Alamak.
“Aku kecil” yang lain umum dijumpai pada pelajar-pelajar saat dulu dan kini (mungkin nanti, juga sampai nanti). Sehingga muncul pertanyaan reflektif, Apakah siswa hanya diwajibkan untuk membeli buku?, Mana tanggungjawab sekolah/guru untuk memberikan penyadaran betapa penting membaca?
Berdasarkan rilis United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) tahun 2011, dari 1000 anak Indonesia hanya satu anak yang mampu menyelesaikan satu judul buku per tahun. UNESCO juga melaporkan kemampuan baca anak Indonesia cuma 0,001 %. Berbeda dengan kemampuan baca anak-anak Eropa yang rata-rata menghabiskan 25 judul buku per tahun atau di Jepang yang sama-sama sebagai negara Asia mempunyai kemampuan rata-rata satu anak mampu menyelesaikan 15 Judul buku pertahun.
Ada yang salah dengan cara penanaman semangat membaca utamanya di lembaga sekolah. Membaca ditanamkan penting untuk mengerjakan tugas. Justru intisari membaca sebagai kegiatan yang menyenangkan kurang dikonsep oleh pengajar. Kesan bahwa membaca/belajar untuk mencapai kelulusan menganga jelas.
Idealnya, lembaga sekolah bisa menjadi tempat strategis menanamkan kesadaran pentingnya membaca. Seorang teman yang menjadi guru honorer di Sekolah Dasar (SD) tertentu menuturkan adanya perpustakaan sekolah tidak dimaksimalkan. Ruang perpustakaan kata dia hanya digunakan untuk tempat bermain catur atau dakon. Buku-buku perpustakaan digunakan hanya di akhir semester. Itupun karena bahan ajar seperti Lembar Kerja Siswa (LKS) sudah khatam sebelum akhir tahun pelajaran.
Buku Mahal
Hari pertama masuk sekolah mata pelajaran tertentu, guru tetap mengajar di kelas. Dia sambil berdiri dan aku menyimak tenang di bangku pojok belakang. Saat itu kami belum pegang buku mata pelajaran. Dia guru yang acuh. Dia mewajibkan tiap siswanya untuk punya buku pelajaran. Terserah dengan cara meminjam, membeli atau bagaimana.
Guru menyinggung soal bagaimana kebijakan sekolah perihal tender buku. Saat itu sudah ada program pemerintah Buku Sekolah Elektronik (BSE). Jika sekolah bersepakat menggunakan BSE siswa hanya dibebani sekitar 15 ribu (kalau tidak keliru) untuk menebus. Pembandingnya adalah buku dengan Penerbit major. Tiap buku dibanderol lebih dari 50 ribu. Kurang ajarnya, sekolah memilih buku dari Penerbit major. Kita murid yang tidak dilibatkan memilih “asal beli” saja. “Kalau membeli itu lebih bagus, guru bisa dapat ceperan dari penerbit”, selorohnya.
(Sudah biasa anak kecil tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Sudah biasa orang dewasa sok-sok-an bisa memilih yang terbaik untuk anak kecil)
Di tahun 215 beberapa penerbit mengumumkan kenaikan harga buku-bukunya. Kenaikan itu berkisar antara 10–20%. Banyak konsumen/pembaca buku mengeluh karena harga buku makin tinggi dan tak terjangkau. Di tengah kelesuan ekonomi akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi, penjualan buku mengalami penurunan. Hingga kuarter ketiga tahun 2015, penjualan buku turun hingga 40%.
Penerbit-penerbit kecil yang tidak memiliki percetakan sendiri, setiap kali mencetak wajib membayar pajak. Kalkulasinya, harga pokok produksi mereka juga naik 10% karena percetakan pun harus melaporkan pajaknya. Setelah buku selesai dicetak, buku didistribusikan ke toko buku. Ada dua pihak lain yang terlibat dalam rantai industri buku, yakni distributor dan toko buku. Pembagian pendapatan dalam rantai tersebut rata-rata adalah 17% distributor, 35% toko buku, 38% untuk penerbit dan 10% untuk penulis. Setelah itu masing-masing pihak juga dikenakan pajak penghasilan.
Namun, per September 2015, secara sepihak, pembagian pendapatannya menjadi 39% toko buku, 17% distributor, 10% penulis dan 34% penerbit. Terjadi pengurangan 4% milik penerbit yang dialokasikan ke toko. Jika penerbit hanya mendapatkan 34% dari harga setelah dipotong pajak, dengan harga pokok produksi 25%, maka penerbit hanya mendapat 9% atau Rp9.000,- per buku. Jika oplah minimal 3000 buku, maka modal yang dibutuhkan adalah 75 juta. Maka untuk mencapai Break Event Point (BEP), penerbit harus dapat menjual minimal 2250 buku atau 75% dari oplah. Dengan kondisi sekarang, rata-rata buku per judul terjual 250 buku/bulan, berarti aliran kas untuk BEP adalah 9 bulan. Dengan enteng kemudian, penerbit diberi solusi oleh mereka untuk menaikkan harga buku 20% agar mendapatkan pendapatan seperti semula. Namun kenaikan harga 20% akan memberatkan konsumen buku.
17 Mei 2017 di Halaman Tengah Kompleks Istana Kepresidenan, secara langsung Jokowi memanfaatkan momen hari buku nasional untuk mengkampanyekan Gerakan Nasional Gemar Membaca. Kebijakan yang ditopang oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy meminta masyarakat untuk mempercepat program literasi dengan membaca buku.
Persoalan baca buku adalah akses terhadap ilmu pengetahuan. Rendahnya minat baca masyarakat karena sistem yang menopangnya bermasalah. Mulai dari sistem pengadaan buku di lembaga pendidikan yang ditender, sistem pendidikan di Indonesia yang tidak menciptakan kutu buku, hingga akal-akalan proses cetak buku yang profit oriented. Kalau pemerintah serius mengkampanyekan Gerakan Nasional Gemar Membaca subsidi harga buku, selesaikan masalah perbukuan. Satu lagi yang dari dulu molor, selesaikan Rancangan Undang-undang Perbukuan.
(Pak) Jokowi, itu tadi perintah, bukan pesan yang cukup di read lalu disepelekan. []