Orang Jawa yang hidup di zaman Orde Baru atau sebelumnya pasti tidak asing dengan drama Jawa yang satu ini, namanya ketoprak. Kesenian yang berasal dari Jawa Tengah ini menjadi bagian yang menghibur masyarakat Tulungagung. Ketoprak pertama kali datang ke Tulungagung pada tahun 1924, kala itu pentas di pasar malam (Anwar, 2017:331). Paguyuban Siswo Budoyo yang ada di Kauman Tulungagung menjadi puncak sejarah ketenaran kesenian ini di era tahun 70–80an.
Paguyuban ini akhirnya tenggelam di makan zaman dan bekasnya masih kita temukan pada pelaku keseniannya yang berganti profesi, bukan lagi menggelutinya. Ketoprak lama tidak muncul lagi sebagai hiburan masyarakat Tulungagung. Tetapi yang membuat heran, pagelaran kesenian ini dipertunjukan kembali pada tanggal 21 Oktober 2017 di Balai Budaya Tulungagung yang diperankan oleh pelajar. Kondisi yang menarik melihat ketoprak sudah lama tidak menghiasi panggung hiburan tradisional, tiba-tiba dibangkitkan dari tidurnya.
Pagelaran kali ini membawakan lakon Gayatri Rajapatni sebagai tokoh sentral penerus gagasan Kertanegara “Cakrawala Mandala Nusantara” dan menjembatani ajaran Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Lakon ini terilhami dari hasil Riset dari IAIN Tulungagung yang bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Tulungagung.
Dalam buku Melacak Jejak Spiritual Bhinneka Tunggal Ika dan Visi Penyatuan Nusantara, Tulungagung memiliki cerita kuno tentang sejarah kebhinnekaan dan Penyatuan Nusantara (Maftukin,20117:154). Lebih jauh lagi, candi Gayatri yang berada di Boyolangu menjadi saksi sejarah dan tugu batas ghaib yang menandai penyatuan Jawa dan Nusantara. Jadi, eyang Gayatri memiliki ikatan primordial dengan Tulungagung, sehingga sudah sepantasnya diabadikan dalam sebuah lakon yang menandakan ikon jati diri Tulungagung.
Lakon ketoprak di Tulungagung mengisyaratkan kearifan legenda lokal seperti lakon Kembang Sore atau Babat Tulungagung, Lembu Peteng dan sejarah Tulungagung lainnya. Setiap pagelaran ketoprak pasti membutuhkan lakon, sama seperti ludruk dan pewayangan karena roh pagelaran sebenarnya ada di situ. Lakon merupakan bagian yang penting dalam wayang, tetapi dalam sandiwara dagelan, kisahnya sendiri tidak penting: kelakarnyalah yang penting (Geertz, 2014:420).
Hal inilah yang membuat batas perbedaan paling signifikan antara pewayangan dan drama rakyat. Ketoprak mirip dengan itu, hanya saja pakaian yang digunakan berlatarbelakang Hindhu-Jawa, walaupun kisah-kisahnya sebagian menggunakan lakon kerajaan Mataram Islam. Tetapi, dibalik perbedaan itu pesan yang tersirat dalam ketoprak tidak akan pernah hilang.
Ketoprak membawa pesan perlawanan atas perlakuan diskriminasi. Kemapanan yang dirawat kaum elite disasar tanpa membeda-bedakan golongan, bahkan kalangan santri berkelas pun tidak luput dari sasaran olokan pemain saat pagelaran. Pesan-pesan itu terselip dalam rangkaian panjang pagelaran tersebut.
Drama rakyat seperti ketoprak dan ludruk sering kali mengolok nilai-nilai yang diagungkan oleh kalangan elite, termasuk oleh kaum santri kelas menengah yang relatif makmur (Ricklefs, 2013:80). Ini sangat mudah terjadi, mengingat pemain dan penontonya kebanyakan berasal dari kalangan bawah. Selain itu, pesan sejarah dan ajaran hikmah kehidupan secara umum tergambar, umumnya mengingatkan penonton dan khususnya pemain ketoprak.
Pemain ketoprak menyebut dirinya parogo dan seluruhnya mengikuti skenario yang dijalankan sutradara. Pakaian dan bahasa yang digunakan disesuaikan dengan peran dalam lakon yang dibintangi. Ada parogo yang berperan sebagai Ratu Gayatri, Gajah Mada, dan para pemeran pendukung lainnya.
Pemain yang tampil dipoles oleh seorang perias bernama paes. Dalam perannya, ada yang menyelipkan guyonan yang sebenarnya bukan merupakan alur cerita. Bahasa mengikuti skenario cerita biasanya pakai bahasa kawi, karena para pemain berhubungan dengan latarbelakang kerajaan. Seperti contoh kata embat watang sak inggile turonggo yang berarti membawa tombak di atas kuda.
Apesnya dirasakan parogo yang berperan prajurit, tak jarang harus berguling-guling untuk menghibur penonton dan membuat lakon semakin nyata. Bila dihitung-hitung, bayaran setiap pemain tidak sebanding dengan derasnya keringat mereka. Tetapi dengan berbekal makanan para parogo sudah senang sekali dan tidak begitu mempermasalahkannya. Memberi makan kepada parogo disebut ngrasun. Hasil bayarannya, terkadang harus dipotong pembelian keperluan pendukung pagelaran.
Kesenian ini seperti dalam lakonnya, ornamen-ornamen pendukung panggung seperti kelir (kain hitam sebagai layar), taman, keraton, alas tidak bisa dilupakan. Selain itu kesenian ini membutuhkan karawitan dan sinden yang mengiringi setiap jeda penampilan pemainnya. Kesuksesan pagelaran kesenian ini disambut tepuk tangan penonton yang memadati lokasi di mana ketoprak dihelat.
Antusias penonton zaman kejayaannya tidak tanggung-tanggung, berbagai lapisan umur mulai dari anak-anak, remaja, bapak-bapak, ibu-ibu semuanya berduyun-duyun menyaksikan pagelaran ini. Semarak itu luntur saat pagelaran ketoprak monoton dan tidak ada modifikasi. Kondisi ini membuat ketua rombongan putar pikiran. Ditambah hadirnya televisi dan media lainnya, membuat hiburan ini tersisihkan. Wajar saja, sebelum adanya televisi kesenian rakyat ini begitu eksis dalam panggung hiburan masyarakat Jawa.
Hingga akhirnya ada inovasi untuk menggandeng stasiun televisi menampilkan kesenian ini. Pengenalan lewat media ini dapat menarik minat masyarakat mengetahui ketoprak. Pagelaran yang sesuai alur zaman menjadi sorotan publik karena mampu memikat hati penontonnya.
Kemunculan kembali ketoprak dalam jagad kesenian di Tulungagung membuat denyut nadi kehidupan pegiat kesenian ini lebih berwarna. Apalagi saat para pemain kesenian ini ialah anak penerus bangsa yang masih punya jangka waktu panjang untuk melestarikannya. Sangat diharapkan, kebangkitan ketoprak di Tulungagung membawa angin segar dalam mewarnai dinamika kemajuan seni yang menghibur. Terlebih lakon seperti Gayatri Rajapatni menampilkan Tulungagung sebagai wilayah yang unik dan penuh sisi spiritual. []
*Penulis adalah Peneliti Muda Institute for Javanese Islam Research