Tentu diksi Bunga dan Tembok tidaklah asing didengar telinga kita. Ini merupakan salah satu dari sekian karya puisi Widji Tukul yang fenomenal. Selama ini kita tahu bahwa karya Bunga dan Tembok ini dibacakan dalam pagelaran musikalisasi puisi dan bahkan dilagukan. Lagu Bunga dan Tembok inipun telah dinyanyikan oleh Fajar Merah, sosok anak bungsu Widji Tukul. Lagu ini bahkan mendapat sambutan baik dan menjadi lagu wajib yang dinyanyikan pergerakan mahasiswa. Meskipun sudah tergerus waktu seakan Bunga dan Tembok ini tetap relevan menceritakan kekejian tirani. Meskipun banyak dari karya Widji Tukul mendokumentasikan bias-bias dalam birokrasi dalam kerakyatan.
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!
Belum lama ini telah rilis film pendek yang ditulis oleh Eden Junjung. Film bertajuk Widji Tukul ini mengambil judul Bunga dan Tembok. Durasi film ini tidak terlalu lama hanya sekitar limabelas menitan, namun sangat menyentuh hati. Film ini mendapat sambutan baik dari berbagai kalangan termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Bahkan film pendek ini sudah dibedah dan didiskusikan di beberapa kota termasuk Yogyakarta.
Pada menit pertama dalam film ini dimunculkan nuansa malam hari dengan latar warna film hitam putih, khas film produksi tahun delapan puluhan. Di depan rumah seekor anjing tengah menggonggong, penanda ada sesuatu yang mengusik ketenangannya. Kita digiring menuju pintu sebuah rumah tua khas sekali dengan rumah adat Jawa, berbentuk Joglo dengan pelataran luas. Rumah ini sama sekali tidak mewah, dindingnya dari anyaman bambu dan lantainya masih tanah. Tidak ada bunga, pepohonan atau sesuatupun yang menghiasinya.
Nuansa dingin dalam film ini genap membawa nyali kita tiba-tiba menciut karena pintu rumah terbuka tiba-tiba. Tidak ada seorangpun yang membukakan pintu, kemudian kita dibawa menelusuri sebuah suara besar dan tua. Masuk ke sebuah ruangan dimana tergeletak manusia yang tertutupi kain jarik batik. Di samping tubuh itu terdapat sesajen, bunga-bunga tujuh rupa dan kemenyan yang aromanya menyebar di seluruh ruang. Sosok manusia yang tertutup kain jarik itu bangun dan berucap, “Ora enek yu, neng langit ora enek neng bumi yo ora enek. (Tidak ada bu, dilangit tidak ada dibumi juga tidak ada; Red).” Ucap seorang lelaki tua berambut putih dan panjang.
Dialah Siti Dyah Sujirah atau yang akrab disapa Sipon duduk di samping lelaki itu. Dan seorang anak laki-laki berada tepat di samping Sipon yang tidak lain adalah Fajar Merah. Raut muka sedih tidak mampu Sipon sembunyikan setelah mendengar ucapan lelaki tua itu. Bahwa ia belum bisa menemukan suaminya, Widji Tukul. Usai lelaki itu pergi, Fajar dan Sipon duduk tepat di depan pintu rumah sembari melihat jalan. Mereka berharap ada sosok kurus dengan rambut ikal yang datang dengan raut sumringah. Namun yang ditunggu tidak kunjung muncul, sehingga mereka urung dan kembali menutup pintu.
Petugas kelurahan bertanya pada Sipon, buat apa Sipon ingin membuat surat kematian suaminya. Kekalutan dan kesedihan mendalam membuat Sipon meminta surat tersebut sebab baginya sudah tidak ada harapan bertemu Widji Tukul. Seakan sudah tidak dapat dirinya menunggu kepulangan suaminya yang hilang tidak tentu rimbanya. Dengan surat kematian ditangan Sipon mengayuh sepeda dengan Fajar Merah duduk di belakang. Masih dengan emosinya Sipon rubuhkan sepeda tuanya dan menangis, Fajar lari dan menangis turut merasakan kesedihan ibunya.
Potret dalam film ini sangat menyampaikan perasaan Sipon, sebagai sosok istri yang menantikan suaminya pulang. Duka mendalam digambarkan raut muka sang aktris dan pemeran Fajar Merah. Film ini merupakan dokumentasi kehidupan Sipon selepas hilangnya Widji Tukul. Tidak terkira bisa digambarkan bagaimana perasaan ibu dan anak itu kehilangan tumpuan semangatnya. Bahkan carut marut hatinya saat meminta surat kematian untuk suami yang dirinyapun tidak tahu masih hidup atau tidak.
Sipon istri Widji Tukul pegiat seni, aktivis rakyat dan suara otentik rakyat harus menerima kenyataan bahwa Widji Tukul hilang. Lagi-lagi untuk sebuah kebebasan harus dikorbankan banyak hal termasuk membayar dengan kehilangan. Tidak Cuma itu luka-luka tetap bersemayam dalam diri Sipon juga anak-anaknya. Film Bunga dan Tembok menggambarkan sisi lain potret perasaan luka dan kehilangan dalam diri keluarga. []
Manusia dan kerak-kerak bumi, sama bergeraknya. Hanya, manusia itu lebih absurd
Sipon bro, bukan Nipon