Ideologi-ideologi yang menempatkan posisi laki-laki pada kelas-kelas superior dan menempatkannya pada posisi prioritas merupakan pemaknaan dari patriarkhi. Penempatan posisi ini jelas menyebabkan paradigma bahwa laki-laki selalu berada pada lingkaran superioritas. Sehingga membiarkan masyarakat begitu saja memaknai bahwa posisi perempuan adalah tersubordinasi.
Masyarakat telah teralienasi dengan budaya yang dibangun oleh sistem patriarkhi. Relasi ideologi yang dibangun oleh sistem patriarkhi inilah yang akan menghasilkan pemikiran mengenai kecantikan, seksi, reproduksi, dan lain-lain. Tubuh difondasionalisasi karena teridiologisasi. Kompleksifikasi pada patriarkhi merupakan kekejaman yang melahirkan keterbatasan perempuan tiada habisnya.
Kekejian budaya patriarkhi juga diulas pada antologi cerpen Kompas tahun 2014 dengan tajuk utama Sepi Pun Menari di Tepi Hari. Tajuk yang diambil dari salah satu tulisan yang dinobatkan menjadi cerpen terbaik pada antologi tahun ini.
Antologi cerpen yang disuguhkan Kompas bagaimana tiap penulis memaknai cerita patriarkhi dengan bumbu-bumbu sehingga menghasilkan hidangan lezat untuk dibaca. Diantara enam belas cerpen yang dihidangkan, hanya dua cerpen menurut saya menarik untuk diulas.
Pertama, cerpen yang ditulis Jujur Pranoto Dua Wanita Cantik. Mengisahkan tentang kehidupan dua perempuan yang berbeda masa, namun memiliki konflik yang sama.
Permulaan kisah, saat Meta berusia enam belas tahun, ibunya (Yustina, dengan sapaan Yustin) menemukan lipstik di laci meja milik Meta. Mestinya ini menjadi hal biasa, apalagi meja itu milik seorang gadis yang mulai beranjak dewasa. Namun ada sesuatu yang mengusik perasaan Yustin.
Lipstik itu menuai kembali kegelisahan Yustin. Merampas ingatan dari masa lalunya yang lama membenam dan tak pernah muncul, yakni pernah menjadi Istri simpanan dari laki-laki kaya pada masa gadisnya. (Tidak disebutkan dengan jelas identitas laki-laki yang sempat menjadikannya istri simpanan) Hanya melalui suara, laki-laki dengan penuh kuasa memberikan penilaian sekaligus sebuah perintah.
“Wanita secantik kamu tak perlu bekerja. Tinggallah di rumah yang kau boleh pilih sendiri yang kau suka. Bepergianlah kemana pun ingin kau tuju, dengan mobil yang boleh kau pilih sesukamu pula. Berbelanjalah apa pun yang ingin kau miliki, dan gunakanlah kartu debet atas namamu yang tak perlu kau pikirkan pengisian dananya. Yang penting kau senantiasa ada di rumah untuk menyambutku setiap aku datang ke rumahmu.”(hal. 27)
Sangat kental patriarkhi dalam suara tersebut. Saat Yustin dipuji dan dibanggakan kecantikannya oleh perintah dan larangan (kuasa) laki-laki. Kau perempuan “… yang penting kau senantiasa di rumah untuk menyambut setiap aku datang ke rumahmu” dan “Cuma ada satu syarat yang harus kau taati: Jangan ganggu istri dan anak-anakku.”
Suara jejak laki-laki kedua kembali dihadirkan oleh penulis melalui percakapan antara anak gadis Yustin dengan laki-laki yang sama sekali identitasnya tidak disebutkan (pula) oleh penulis.
”Meta??? Kamu di mana sih dari tadi aku nelpon nggak diangkat-angkat? Tadi hampir sejam aku tunggu di lobby kamunya nggak dating-datang. Sekarang aku sudah di kamar. Kamar 501. Kalau nanti kamu datang aku pas keluar, minta aja kunci ke resepsionis. Entar aku bilang ke resepsionis kalau kamu dating. Oke, ya?”
Melalui percakapan Meta dengan laki-laki di atas memang tidak didengar oleh sang ibunda, Yustin. Akan tetapi jawaban dari Meta yang dapat ditangkap oleh pendengaran sang ibu. “Sebentar, om…!”, kembali membuatnya curiga.
Perempuan dikisahkan hdup di bawah kehidupan patriarki. Kedua perempuan ini menjadi pelaku utama dalam budaya patriarki yang disimbolkan melalui suara-suara (kuasa) laki-laki. Meskipun pada kenyataannya mereka hidup pada masa yang berbeda, mereka sama-sama menjadi objek dalam tatanan budaya patriarkhal. Kecantikan yang disandang oleh kedua perempuan tersebut seolah menjadi tulah.
Seolah kedua perempuan ini memiliki ‘batas’ untuk melakukan sesuatu. Tidak ada ruang gerak untuk sekedar menikmati kehidupan dan haknya sebagai seorang perempuan. Jiwa, raga, dan perilaku perempuan, utamanya Yustin, adalah otoritas bagi laki-laki, milik laki-laki-laki, dan jejak laki-laki.
Kontruksi gender sudah menyebar luas dan melekat erat pada tatanan masyarakat. Apa yang boleh dan tidak dilakukan oleh perempuan tertuang dalam perintah dan larangan yang dibuat oleh laki-laki. Akibatnya, mau tidak mau perempuan harus menuruti apa yang dikatakan oleh laki-laki.
Lain kisah pada cerpen yang ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim yang berjudul Jaring Laba-Laba. Peristiwa bermula pada saat kedua pasangan yang bertemu untuk menempuh program magister di Negara tetangga. Dari pertemuan itu, kemudian mereka (Dina dan Bram) memutuskan untuk hidup bersama, menikah. Dari hasil pernikahan Dina dan Bram, mereka memiliki satu anak laki-laki.
Setelah tamat dari kuliahnya, Dina dan Bram pulang dan bekerja di Indonesia. Bram meminta Dina berhenti bekerja untuk mengurus anak dan dirinya. Dunia Dina hanya seputar anak dan suaminya, tidak lagi bisa melihat dunia luar seperti sediakala. Dari situlah persoalan muncul. Dina mengeluh pada suaminya, “Saya seperti nyamuk yang dilahap oleh laba-laba dan laba-laba itu adalah kau dan anakmu.”
Seiring berjalannya waktu, kejiwaan Dina mulai mengalami gangguan. Bram meratap, “Saya tidak tahu mengapa kau depresi! Apakah saya suami yang tidak baik? Saya tidak berselingkuh dengan siapa pun, sebisa-bisanya, saya ingin menjadi suami dan bapak yang baik. … “
Seolah standar depresi perempuan yang terbebani dengan pekerjaan-pekerjaan domestik pada kehidupan rumah tangga hanya sebatas perselingkuhan. Padahal jauh lebih banyak dibandingkan itu, seperti KDRT, depresi pasca melahirkan, tertekan pada pekerjaan, dan lain sebagainya. Disaat seperti ini yang perempuan butuhkan bukan mengadu pada psikolog atau dibawa ke rumah sakit jiwa. Akan tetapi eksistensi diri di ruang publik.
Bram (suaminya) mengusahakan penyembuhan Dina dengan cara membawanya ke psikiater. “… Karena semua orang bilang, kamu sedang depresi, maka dari itu aku tidak bekerja hari ini, tapi mengantarkan kamu ke psikolog, ceritakanlah apa yang menjadi permasalahanmu.” Dina menolak, menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sampai pada akhirnya Dina dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Akan tetapi itu tidak membuat Dina sembuh dari kesedihan dan kemarahannya.
Persoalan feminisme dan kontruksi gender sangat gamblang disuarakan melalui pekerjaan domestik yang semuanya dilakukan oleh perempuan. Dina menganggap tidak hanya Bram dan anaknya yang menindasnya, akan tetapi ibunya juga ikut menjadi sekutu mereka berdua untuk menggiring Dina menuju sarang laba-laba. Akhir cerita ditutup dengan Dina yang dijemput oleh suami dan anaknya. Kemudian, Dina berlari ke sembarang arah, merasa dikejar oleh jaring laba-laba.
Kedua cerpen diatas merupakan sample kehidupan yang penuh kepalsuan relasi laki-laki dan perempuan. Mereka memberikan kebebasan kepada perempuan yang berujung kebutuhan seks belaka. Seolah kecantikan perempuan diciptakan untuk memenuhi gairah laki-laki. Perempuan menjadi kelas kedua, subordinasi dalam segala aspek. Khususnya dalam instansi rumah tangga. Kita lihat disekitar kita, tidak sedikit kepalsuan-kepalsuan itu disuarakan dalam kehidupan rumah tangga. Dengan berbagai alasan, perempuan memilih mempertahankan rumah tangganya meskipun tidak mendapat kenyamanan sedikitpun pada kehidupannya.
Menurut Abraham Maslow dalam teori kepribadian humanistic meyakini manusia adalah hal yang-megada-dalam dunia (being in the word) dan menyadari penuh akan keberadaannya. Pada cerpen yang ditulis oleh Ratna, kebutuhan akan eksistensi diri perempuan (Dina) tidak terpenuhi. Sedangkan setiap orang memiliki kebutuhan atas eksistensi dirinya. Karena dia tidak mampu menunjukkan keakuannya diruang publik, maka sebagian orang menganggap perempuan tersebut mengalami stres, depresi, dan dianggap tidak waras.
Yang Dina dan perempuan lain butuhkan adalah penerimaan atas ideologi dirinya, bukan obat ataupun suntikan kimia lainnya. Perempuan membutuhkan peneriamaan tanpa batas dan ruang untuk menunjukan keakuannya. Karena bagi perempuan, secuil tilas patriarkhi yang berkubang pada kehidupan dan ingatan perempuan adalah sebuah penindasan. []