Judul: Ideologi Saya adalah Pramis — Sosok, Pikiran, dan Tindakan Pramoedya Ananta Toer
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: Octopus
Cetakan: I, 2016
Tebal: 328 Hlm.
ISBN: 978–602-72743–1‑0
Pramoedya Ananta Toer, seorang legenda sastra Indonesia, ia seorang tokoh pejuang ketidakadilan yang sering dijadikan simbol perlawanan bagi para penggemar bahkan para pemuda Indonesia. Siapa yang tak mengenalnya, Pram sapa akrabnya, karya-karyanya begitu mengagumkan bahkan dikenal hingga ke dunia internasional. Kiprahnya di dunia kesusastraan Indonesia begitu melegenda. Apalagi karena peristiwa di mana ia diasingkan karena karya-karyanya yang kontroversial. Bahkan penjara tak jadi penghalang untuk karya-karyanya atau yang sering ia sebut sebagai anak biologisnya lahir. Setiap karyanya tetap menjadi legenda hingga kini, bukunya masih terus dibaca dan dibicarakan orang. Tak hanya karyanya, namun pemikiran dan semua hal tentangnya seakan tak lekang dimakan zaman mulai dituliskan dan dibaca. Sampai akhirnya tahun 2016 muncullah buku tentang Pram yang ditulis oleh Muhidin M. Dahlan, ia seorang penulis yang mewarisi semangat Pram. Buku ini diambil dari kata-kata Pram sendiri saat ia ditanya mengenai ideologinya yakni “Ideologi Saya adalah Pramis”.
Buku ini merupakan hasil kumpulan esai-esai sang pengarang, yakni Muhidin M. Dahlan. Lahir dan tumbuh di Donggala, Sulawesi Tengah, 12 Mei 1976. Pada fase perjalanan hidupnya selanjutnya ia memutuskan “Hijrah” ke Yogyakarta dengan alasan meneruskan sekolah. Di kota tersebut, ia berkhidmat kepada dunia baca tulis dan total menjalaninya. Muhidin M. Dahlan bisa disebut Pram garis keras. Ia baru mengenalnya lewat Bumi Manusia pada tahun 2000 penulis ini kemudian langsung ketagihan dengan karya-karya Pram. Pram jugalah yang membuatnya menyukai sastra. Buku ini terdiri dari delapan bagian yang masing-masing bagian memiliki kisahnya. Pada bagian pertama buku ini kita akan diajak untuk mengenal “Siapakah Pram?” yang disuguhkan dengan begitu sederhana seakan menulis surat pribadi untuk seorang sahabat “Mas Pram, Siapakah sebenarnya kamu?” Selanjutnya kita akan dibawa mengenal “Agama Pramoedya Ananta Toer: Ateis, Teis, atau Pramis” yang membuat orang penasaran dengannya.
Setelah kita diajak mengenal siapa Pram pada bagian pertama buku ini maka selanjutnya pada bagian kedua buku ini yang berjudul “Pram Bekerja” kita akan diajak untuk melihat bagaiaman proses Pram dalam menuliskan karya-karyanya. Bagaiamana Pram dalam melahirkan karyanya yang tak demi uang ataupun iseng-iseng semata. Ada empat jalan yang ia lakukan dalam menulis yaitu menulis adalah ideologis atau tugas nasional, riset, disiplin, dan ketrampilan berbahasa. Jalan ini tak hanya bagi Pram namun juga para pribadi-pribadi yang menjatuhkan pilihannya pada dunia kesusastraan. “Menulis sebagai jalan ideologis yang dilakukan dengan jalan riset dan disikapi dengan serius setiap harinya dengan laku disiplin. Dan melalui kendaraan bahasa yang dikuasai dengan baik akan lahir karya sastra yang tak mudah doyong oleh helaan ruang dan waktu” menjadi salah satu kutipan pengarang dalam buku ini.
Pengembaraan anak–anak rohani Pram merupakan sub judul kedua dari bagian ini. Bagi Pram karya-karyanya merupakan anak–anak rohaninya. Anak–anaknya ini dilahirkan dalam perpustakaan yang sebenarnya adalah tempat-tempat yang bersejarah baginya, seperti rumah secara harfiah namun juga reruntuhan perang dan comberan penjara. Kehidupan Pram yang banyak dipengaruhi oleh nenek dan ibunya sedikit banyak mempengaruhi tulisan–tulisannya. “Pram, Srikandi, dan Seks” para srikandi dalam tulisannya seakan menjadi kekuatan anonim dengan kekuatan individunya mencoba melawan zaman namun akhirnmya kalah dalam pertarungan sejarah. Seks dalam karya Pram diletakkan dan disimpan rapat-rapat. Kita hanya akan menemukan kehendak kebebasan dan perjuangan sebaris srikandi dan bukan seks yang vulgar dalam karya Pram.
Pada “Perpustakaan Gajah Dituduh Nyolong” di bagian ini diketahui bahwa dalam menulis Pram melakukan riset. Bahkan ia pernah meminjam buku sebanyak satu becak penuh untuk kepentingan risetnya. Buku-buku ini tak hanya ia baca, namun ternyata juga ia salin kembali, bahkan seringkali tetangganya, ia minta untuk membantu menyalin buku. Selain membaca, menyalin, dan menulis Pram juga dikenal sebagai pengkliping yang tekun. Pengarang menjulukinya sebagai “Si Pendekar Gunting dari Bojong”. Klipingan ini selain dicita–citakan menjadi ensiklopedi namun juga sebagai sumber utama tulisan-tulisannya. “Hampir semua karya saya berasal dari klipingan koran,” kata Pram. Olahraga dan senyum menjadi salah satu senjata Pram untuk tetap produktif. Alasanya cukup sederhana kata Pram “Jiwa menjadi damai karena semua ketegangan lenyap. Jiwa menjadi jernih. Dan olahraga membikin orang menjadi optimis. Jiwanya tidak digelapi oleh pesimisme.”
Selanjutnya bagian ketiga buku ini kita akan dibawa untuk mengenal “Pemikiran Pram”. Dalam bagian ini penulis mengungkapakan bagaimana harapan Pram terhadap angkatan muda. Pram tak sedang berangan-angan. Sebab sejarah membuktikan bahwa hampir semua babakan perubahan sejarah yang terjadi di negara ini diinisiasi oleh angkatan muda walaupun di kemudian hari kita ketahui sejarah itu (selalu) dibajak dan dikemplang oleh pihak-pihak di luar mereka, salah satu ungkapan penulis pada bagian ini. “Jangan lupakan anak muda. Mereka sedang melahirkan sejarah!” kata Pram. Selanjutnya pada bagian keempat buku ini adalah “Pram dan Politik”. Pada bagian ini esai-esai sang pengarang mengisahkan bagaimana karya-karya Pram seringkali dikaitkan dengan sikap politiknya. Bagaimana Pram menolak Hadiah Sastra Yamin, Gemuruh Kontroversi Magsaysay dan bagaimana karya-karyanya menjadi ancaman bagi para pembacanya.
Selanjutnya bagian kelima buku ini berkisah bagaimana “Pram dan Para Sahabatnya”. Pecah kongsi timah guru-murid terjadi antara H.B. Jassin dan Pram, tak ada kabar yang meyakinkan bagaimana keduanya dapat terlibat dalam dunia yang jauh dari dunia kesusastraan. Kongsi usaha timah ini mengindikasikan bagaimana sehatnya hubungan Pram dan H.B. Jassin di awal-awalnya. Namun, akibat sebuah peristiwa yang tak Pram duga-duga membuatnya kecewa, dan seperti yang kita ketahui pada akhirnya keduanya berada di dua kutub yang berlawanan. Persahabatan antara Hasjim Rahman, Joesoef Isak, dan Pramoedya Ananta Toer telah melahirkan Hasta Mitra yang menjadi mesin Pram. Namun, ketika peristiwa itu datang yakni pembajakan karya-karyanya, ia memutuskan untuk hengkang dari Hasta Mitra dan mendirikan Lentera Dipantara yang dikelola oleh keluarganya sendiri.
Bagian keenam merupakan bagian terpanjang yang mengisi buku ini, bagian ini memuat tafsiran penulis dari 20 lebih karya Pram. Yang terpanjang dari bagian ini adalah kisah “Aku dan Mangir” di mana Muhidin mengisahkanya lengkap dengan tapak tilas Pram ke beberapa tempat yang dijajaki tokoh-tokoh Mangir, sekaligus membaca penggalan kisahnya. Selanjutnya pada bagian ketujuh buku ini, mengisahkan bagaimana tafsiran Prof. Koh Young Hun yang dalam bukunya berjudul “Pramoedya Menggugat – Jejak Sejarah Indonesia” membagi Indonesia dalam empat tonggak berdasakan karya-karya Pram. Keempat tonggak itu adalah: masa kerajaan Hindu Budha (Tetralogi Nusantara), masa Islam (Gadis Pantai), masa kolonial (Bumi Manusia), dan yang terakhir masa republika (Di Tepi Kali Bekasi). Selain itu pada bagian ini terdapat kisah mengenai “Ong” yang banyak membuat ilustrasi sampul untuk buku-buku Pram terbitan Hasta Mitra tahun 2000-an. Bagaimana malu dan kecewanya ia ketika membuat ilustrasi sampul dari salah satu buku Pram. Juga bagaimana ia menafsirkan “Bumi Manusia”.
Bagian kedelapan buku ini berisi bagaimana wawancara penulis dengan beberapa orang terdekat mulai dari istri, anak-anaknya, sampai sahabat terdekatnya. Dalam wawancara dengan istri Pram, kita akan mengetahi hal-hal kecil yang selama ini mungkin tidak kita ketahui dari diri Pram. Seperti Pram tidak pernah mengurusi dapur, menjadi menantu kesayangan hingga pesan terakhir Pram. Selain itu juga ada kisah dari anak-anak Pram, Astuti dan Yudistira yang melihat sosok ayahnya adalah sosok yang kaku dan selalu mendorong anak-anaknya untuk menulis catatan harian. Terungkap pula bagaiman ia tak pernah membelikan mainan untuk anak-anaknya, ia hanya akan membelikan buku sebagai mainan. Selanjutanya mengenai kisah sahabatnya yakni Mujib Harmani, dimana Pram pernah menghayal bagaiman menjadi Presiden. Percakapannya dengan Pram pun juga mengungkap bagaimana Pram sangat menjunjung tinggi hukum walaupun ia pernah dipenjara di Pulau Buru tanpa proses peradilan yang jelas.
Pada bagian akhir buku ini pengarang memberikan epilog yang berjudul “Keberangkatan Setelah Pasar Malam Usai”, penulis pun juga memberikan kisah 66 jam sebelum Pram meninggal dunia. Pada bagian ini pengarang menuliskan semua hal yang ia alami dan rasakan dengan sedetail mungkin, mulai dari 27 April 2006 hingga 30 April 2006.
Sebuah buku hasil dari kumpulan esai tentang sosok, pemikiran, dan tindakan Pram buku ini sangat menarik dan bagus untuk dibaca. Buku ini akan memberikan kita gambaran baru mengenai kisah-kisah Pram dan karyanya. Meskipun buku ini terlihat tebal namun buku ini cukup mudah untuk dibaca pasalnya buku ini terdiri dari beberapa bagian dan bab yang akan mengajak pembaca menyelami tiap-tiap babnya yang tentu saja berbeda-beda. Selain itu cara pengungakapan ataupun penggunaan bahasanya cukup sederhana membuat pembacanya betah berlama-lama membaca buku ini. Namun, ada beberapa hal yang sedikit mengganjal yakni ada beberapa bahasa atau kalimat yang sudah tidak sesuai dengan ejaan yang berlaku saat ini, ini sedikit menggangu pembaca. Juga mengenai bagaimana kisah akhir dari karya-karyanya dan penerbitnya, masihkah berlanjut ataukah mati ditelan zaman. Ini yang tidak ditemukan dalam buku ini dan akan menjadi tanda tanya besar bagi pembaca.
Penulis: Nurul Karimatul F.
Redaktur: Rifqi Ihza F.