“Menurut saya orang yang suka membaca iku juga suka menulis, karena menulis itu adalah suatu keniscayaan. Sebodoh-bodohnya orang, kalau dia sudah menulis, itu tidak bisa lagi dikatakan bodoh. Dia itu mempunyai intelektual yang tersembunyi, saya yakin.”
(Edi. S. Pithingan)
Masjid itu tampak tidak begitu ramai ketika waktu sudah menunjukan pukul 13.00 WIB, rutinitas sholat berjama’ah di masjid sudah terlewatkan. Meski begitu, masih terlihat belasan orang di serambi masjid untuk sekedar beristirahat atau sekedar berbincang-bincang santai.
Kami crew DIMëNSI menyempatkan untuk beristirahat sejenak, setelah menempuh perjalanan dari Tulungagung ke Blitar selama kurang lebih satu setengah jam. Masjid syuhada’ Haji, demikian jajaran huruf yang tertera pada salah satu papan pengumuman di teras masjid. Bangunan berukuran kurang lebih 200-an meter persegi tersebut dikenal sebagai salah satu masjid tertua di kota Patria ini. Di halaman masjid ini, tampak terparkir 12 sepeda motor dan 2 mobil di luar pagar halaman.

Lima menit kami beristirahat, seorang laki-laki paruh baya datang menghampiri kami di serambi masjid bagian selatan, dekat tempat wudlu dan kamar mandi. Laki-laki tersebut memakai kaos warna merah bertuliskan ‘Jakarta Tempoe Doeloe’ dipadu dengan celana kain hitam . Senyuman muncul dari bibir laki-laki itu ketika ia menyapa kami. Wajah keramahanpun tersimpul ketika ia mengajak kami berjabat tangan.
Edi S. Pithingan, begitulah laki-laki berusia 57 tahun itu memperkenalkan diri kepada kami, sembari menunjukan beberapa bendel karya tulis yang dicetak sederhana.”Pithingan adalah akronim dari pincang, khiting, dan mbambungan” begitulah uraian dalam salah satu bendel karya yang disodorkan kepada kami. Karya-karya itu hanya dicetak dengan print biasa dan dibendel dengan mika sebagi lapisan cover-nya. Bentuk itu mengingatkan pada makalah yang kami kerjakan di bangku perkuliahan.
Pemulung, begitulah ia menjelaskan kepada kami tentang profesi yang dijalaninya. Pekerjaan itu dipilih bukan karena ia malas, melainkan karena disabilitas yang harus dialami Edi. Edi menceritakan disabilitas yang dia alami berawal dari kecelakaan pada tahun 1997. Kecelakaan itu pula yang menyebabkan ia mengalami gangguan pendengaran. Kamipun akhirnya menuliskan pertanyaan-pertanyaan di atas kertas yang kami bawa di dalam tas, ketika kami memutuskan untuk mewancarainya.
Kebiasaan unik Edi S. Phitingan, begitulah nama pena-nya, membuat kami tertarik untuk melakukan wawancara lebih dalam. Sebagai seorang pemulung dan fisik terbatas, tidak lantas membuat Edi menyerah pada keadaan. Ia aktif membaca, menulis, dan merenung. Sumber bacaan ia peroleh dari Koran atau buku yang dari hasil ia memulung. Kebiasan membaca telah mendorong Edi untuk berkarya dalam bentuk tulisan. Bermodal kertas dan bolpoin yang dikumpulkan ketika ia memulung, Edi mulai menulis apa yang ada dibenaknya. Semua jerih payah Edi hanya ditujukan untuk terus berkarya.
Mendedikasikan Diri untuk Menulis
Selama Edi bergelut dalam dunia literasi, 25 jilid karya berbentuk cerita panjang dengan judul Balada Seorang Pemulung dan Kebon Rojo telah lahir dari proses kreatifnya. Semua karya itu diperlihatkan kepada kami disela-sela wawancara. Ketika kami menyebut Edi sebagai seorang penulis, dengan rendah hati ia menimpali kami, ”Sebenarnya kalau dibilang sebagai penulis, itu terlalu berlebihan, saya bukan penulis. saya hanya mencatat apa yang saya lihat, apa yang saya rasa, apa yang saya dengar walaupun cuma sedikit. Saya tidak mengkhususkan diri sebagai seorang penulis, saya tidak merumuskan tentang itu.”
Mendengar keterangan itu, kamipun melanjutkan untuk bertanya terkait dengan cara menulis yang dilakukan Edi. ”Terkadang, saya coba-coba (menulis, red) saat berada di masjid. Saat ada waktu beberapa menit, (tulisan, red) saya coba kembangkan, saya uyahi (kreasi, red), saya wolak walik grembyang (tulisan diatur dan ditambahi, red), akhirnyakan ndak (tidak, red) terasa jadi cerita pendek, jadi alinea, jadi paragraph, akhirnya jadi cerpen (hasil karya tulis, red),” ujar Edi kepada kami.
Edi juga menjelaskan tentang asal mula ia mulai menulis, ”Saya membuat tulisan, ya mulai (sejak, red) saya tahu bahwa saya diberi kemampuan oleh Allah untuk menulis tentang apa yang saya lihat, apa yang saya rasa itu,” tegas Edi. “Saya enggak pernah belajar menulis, saya menulis secara spontanitas,” lanjut Edi ketika menjelaskan kepada kami soal darimana ia belajar tulis menulis.
Dunia tulis-menulis merupakan suatu aktifitas yang jarang diminati banyak orang. Hal ini dibuktikan dengan masih minimnya karya tulis yang lahir di masyarakat, termasuk di dunia akademik. Untuk menjadi seorang penulis, Edi berpendapat, “Sebagai seorang penulis itu tidak butuh skill, tapi kepekaan kita dalam mengetahui keadaan sekeliling ini. Dan satu lagi, sebenarnya menulis itu tidak membutuhkan kemampuan khusus. Sebenarnya cuma butuh satu keinginan, semangat, niat melakukan. Ternyata yang dibutuhkan hanya itu,” tegasnya. Ungkapan tersebut berbeda dengan pandangan banyak orang tentang syarat menulis harus mempunyai skill dan kemampuan khusus. Artinya, kemampuan menulis dimiliki dan dapat dilakukan oleh setiap orang, begitulah kira-kira maksud yang dijelaskan Edi kepada kami.
Cerita Edi menjadi semakin menarik saat dia menunjukan karya bagian ke-16 dari Balada Seorang Pemulung yang berjudul Si Amir. Edi menceritakan latar belakang dia menulis tema itu, “Ini adalah kisah nyata mas”, ungkapnya dengan mimik wajah mulai berubah. “Saya menulis ini ketika bertemu dengan anak di taman baca Kebon Rojo,” sambil menghela nafas Edi melanjutkan ceritanya. “Saya sangat bangga melihat kemauan anak itu dalam hal belajar membaca, jadi saya tulis saja, tapi dalam cerita ini saya rahasiakan namanya,”cerita Edi kepada kami tentang latar belakang kisah cerita yang ia tulis dalam seri ke-16.
Semangat menulis dan membaca tidak lahir sendiri secara tiba-tiba, seperti halnya Edi. Ia mengungkapkan bahwa sejak kecil dia sudah mulai suka literasi, dimulai dengan kegemaranya membaca buku-buku di taman baca, sampai dengan membaca majalah-majalah yang biasa dibeli keluarganya. ”Keluarga saya dulu kan pegawai negeri, jadi saya bisa beli majalah dan buku-buku. (ter)kadang saya juga sering baca di Manca (Taman Baca, red). Bagi saya membaca dan menulis adalah sebuah rutinitas wajib, dan itu sebuah keniscayaan”, tutur Edi sembari melihat bahan bacaan yang kami bawakan untuknya.
Ketika disela-sela membaca, Edi menceritakan tentang kebiasaanya yang masih berlanjut. “Sekarang saya masih bisa membaca dari koran-koran bekas yang didapat ketika mulung, dan dari buku yang dihadiahkan sesorang kepada saya,” terangnya kepada kami sambil menunjukkan foto-foto orang yang bertemu dengannya.
Itulah sepenggal cerita kami dari seorang pemulung yang mempunyai semangat membaca dan menulis. Segenap keterbatasan diri dan sumber bacaan tidaklah menghalanginya Edi S. Pithingan untuk terus membuat karya. Selain itu, salinan arsip berupa kliping yang ditulis kembali, membuktikan bahwa ia merupakan sosok yang menghargai karya. Ia juga berniat untuk terus melanjutkan klipingnya sampai sepanjang 1 kilometer, hari ini kliping itu sudah terkumpul 200 meter.[]