Judul buku: Rengkek-Rengkek (Senarai Catatan dan Kisah (per)jalan(an) di Kota Trenggalek
Penulis: Misbahus Surur, Nurani Soyomukti, Bonari Nabonenar, Ngainum Naim, Priyo Suroso, Gilang Tri Subekti, Mochamad Faizun, Siti Nurul Hidayah, Nur Fitriani, Nining Agustina, Wahyuti, Sri Mulyani, Mumpuni Dhenok Astuti, Farid Bhaktiar, Santi Novelass, Sugianto, Muhammad Agus Widianto, Ayyu Munawwarul Fikriyah, Sri Lestari.
Penerbit: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Trenggalek Kerjasama dengan Quantum
Litera center dan Tuhalas Biblioteca Trenggalek, Jawa Timur
Tahun terbit: Cetakan pertama, 2015
Tebal buku: 164 halaman
Resensor: Nur Fitriyani
Apa kesan pertama jika Anda mendengar kata “Rengkek-Rengkek”? Terjal, curam, jurang, penuh bahaya, dan tantangan. Anggapan awal yang terlintas dalam benak ketika mendengar kata itu. Seolah kata “Rengkek-Rengkek” mengindikasikan konotasi berat. Bukan hanya berat membayangkan namun juga berat dalam melakoninya. Menyiapkan kekuatan yang ekstra untuk dapat menaklukan sepenggal ruas jalan Kampak-Munjungan itu.
Ada sebuah catatan perjalanan yang menyisakan ingatan akan sebuah “Jalan”. Hidup manusia tidak pernah lepas dari kata perjalanan. Baik perjalanan dalam menempuh pendidikan, mencari pekerjaan, menuju rumah, atau hanya ingin singgah dalam memenuhi hasrat kepuasan. Yang pasti jalan akan selalu menyisakan jejak bagi kaki manusia dan ingatan akan menjadi jejak yang membayangi selama nafas masih menghembus.
Aku ingat sebuah kata, “Jika aku mengunjungi negara berkembang. Perasaanku seperti kembali ke kampung halaman sendiri” (Gabriel Garcia Marquez pada bukunya berjudul Antara Karibik dan Moskow) yang merupakan perjalanan jurnalistiknya antara tahun 1955–1959. Agaknya kota yang tersemat di atas menjadi sebuah bunga pengantar bagaimana para penulis di dalam buku ini mengajak pembaca untuk mencium serbuk cerita, dan merasakan setiap catatan waktu ketika menginjakkan kaki dan mengukirnya menjadi sebuah rentetan kisah.
Senarai catatan kisah yang diungkapkan di setiap pandangan hati manusia, ketika menginjakkan kakinya di Trenggalek datang dari masyarakat asli maupun yang hanya sekadar mampir dan bersinggungan dengan Trenggalek. Kesan pertama yang terekam adalah “Rusaknya jalan-jalan di Trenggalek seirama dengan tumbangnya dahan-dahan hijau, yang kemudian menguning dan terhempas ke tanah oleh angin.”
Suguhan bumbu-bumbu cerita begitu membuat pembaca menjadi ingin mengenal dan mengukir setapak di Trenggalek. Menuntun pembaca bagaimana para penulis mencurahkan komplain besar kepada pemerintah daerah. Mengapa jalanan dibiarkan dan seolah permisif terhadap bencana kecelakaan. Di sisi lain, penulis memberikan bumbu-bumbu lain yang menggambarkan oase Trenggalek dari sisi kemanusiaan.
Ketika kita berbicara sebuah tulisan yang subjektif, yang ada hanyalah sebuah wacana pengalaman yang bersumber dari penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perabaan. Sehingga menghasilkan sebuah rentetan untaian-untaian kata dalam ke-subejektifannya. memberikan nafas dalam kata-kata untuk memberikan nuansa hidup pada jalan yang tak pernah sepi. Jalan yang menjadi jantung pusat perhubungan antara dua kecamatan itu. Berharap lontaran pemerintah yang berjanji pada rakyat membayar janji-janjinya.
Keberagaman jalan mengikuti arah ke mana seorang akan mencapai sesuatu. Dan dalam setiap individu yang hidup menyimpan perjalanannya yang tidak akan pernah sama satu dengan lain: Dengan segala keunikannya. Jalan menjadi bagian dari orang-orang yang melaluinya. Seseorang yang melewati jalan pegunungan akan menjadikan pohon, atau tanda-tanda alam sebagai pengertian bahwa perjalanan sudah sejauh mana dan ke arah mana. Memanfaatkan alam sebagai suatu tanda dalam menelusuri langkah, menilik bumi Tuhan yang lain.
Sejauh cerita dari buku ini menggambarkan jalan-jalan yang rusak parah. Salah satu tempat yang menjadi cerita adalah jalan Kecamatan Munjungan. Kecamatan ini seolah menjadi kecamatan yang paling diingat di dalam benak manusia yang singgah di Trenggalek. Bukan karena keelokan lautnya, masyarakatnya yang ramah saja, tetapi medan tempur untuk sampai ke Munjungan. Medan yang menanjak, terjal, berlubang, berkelok seolah menaruh kesan tersendiri bagi pengendara yang melintasi. Tak luput pula umpatan yang menjadi iringan ketika kekesalan melintasi jalan ini. Bisa dikatakan ini wajah Munjungan pada waktu 15 Januari 2011. Sebagaimana digambarkan oleh Toni Saputra (penulis asal Trenggalek) menceritakan dalam bukunya yang berjudul “Jalanan di Kotaku Berlubang”. Bagaimana judul ini menjadi perbincangan hangat yang diperkirakan akan terus berkembang terbukti sekarang permasalahan jalan seolah tidak pernah ada habisnya.
Multatuli pernah memberikan kondisi jalan yang seperti itu dalam Max Havelar. Kala itu, Douwes Dekker (Multatuli) sedang menumpang sebuah kereta kuda. Dan sepertinya perjalanan itu sempat melintasi perbukitan. Jadilah beberapa fragmen dalam buku itu pernah sedikit menggambarkan kondisi jalan di masa lalu. Misalnya, saat kereta yang ditumpangi Multatuli itu melalui jalan perbukitan dan sedikit pegunungan yang mungkin dikitari Jurang, Multatuli memekik, “Tuhan, jalannya… hilang! Kita akan jatuh ke jurang!”
Setiap yang melintas menginginkan perubahan, sebagimana tuntutan warga Munjungan yang selalu menjadi buah bibir pada setiap orang yang mendengar. 2 April 2012 warga Munjungan demo penuntutan jalan di Pendhapa dan Alun-Alun Kota Trenggalek. Mereka menemui bupati, menuntut kampanyenya yang berjanji akan memperbaiki jalan Kampak-Munjungan. Namun, hasilnya sia-sia mereka tidak bertemu dengan bupati.
Perubahan dalam suatu keadaan wilayah yang memprihatinkan untuk setara dengan yang ada di kota selalu didambakan. Tangan terbuka untuk menuju perubahan agar sama dengan kota metropolitan. Mendambakan keramaian yang menyuguhkan kepuasan untuk memperoleh apa yang diinginkan. Sehingga perubahan jalan yang lebih baik dikehendaki banyak orang.
Namun, di balik tangan terbuka dengan keramaian yang disuguhkan nanti, akan timbul kepunahan yang ada di desa-desa. Tergambar pada sebuah ruas jalan di suatu wilayah untuk dibangun agar akses dan denyut ekonomi menjadi lancar.
“.…lagi-lagi saya ketinggalan karena terlalu menikmati perjalanan. Bersama Mas Surur, kami pun dipandu melalui handphone untuk menuju pantai. Kami telusuri jalan Panggul yang sedang dibangun sebagai jalan nasional lintas selatan. Debu-debu kuning mengepul saat roda menapak di daratan. Saya jadi mengira-ngira sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, saat jalur lintas selatan ini selesai dibangun. Tentu daerah Panggul ini menjadi lintasan antar kota dan provinsi. Semak belukar yang masih sering kami jumpai di sisi jalan, mungkin tergantikan oleh bangunan-bangunan ruko atau sebangsanya. Pembangunan daerah Panggul akan maju dan akan berdampak pada pembukaan lahan yang merusak lingkungan. Dan masihkah pantai yang berawan itu tetap bertahan pada keperawanannya.” (halaman 62)
Terkadang jika ada suatu tuntutan perubahan, harus siap menghadapi risiko adanya pembukaan lahan. Apa yang dulunya masih asri, akan terjadi pembukaan lahan untuk bisa mendatangkan para wisatawan. Tuntutan perubahan yang bertujuan untuk menjadi mudah dalam segala kehidupan membentuk garis lurus akan meningkatnya perubahan drastis mengubah desa menjadi kota. Memang itu dambaan setiap individu, namun haruskah menjadi hilang keasrian desa?
Aku menjadi teringat pesan dari Muhammad Agus Widianto, “Ukuran dan jarak boleh sama, tapi cara pandang akan terus berubah.” Menjadi sebuah intermezo dalam suatu perubahan yang drastis tapi tak berfikir bagaimana efek ke depan. Tuntutan akan menjadi catatan penuh setiap berkembangnya peradaban dan tuntutan zaman. Jika kepuasan tuntutan akan perubahan tidak diimbangi dengan mempertahankan keasrian yang ada di dalam tanah yang melahirkan. Siap-siap tangan-tangan pemodal menjadi pemenuh dalam jantung desa. []
penyuka sastra, traveling, berkhayal, penggemar puisi Aan Mansur (Tidak Ada New York Hari Ini).