Judul : Perempuan Pala
Penerbit : Buku Mojok
Penulis : Azhari Aiyubi
Kota Terbit : D.I Yogyakarta, 2015
Jumlah Halaman : xvii + 132 halaman
Dimensi : 13 x 19 cm
ISBN : 978–602-1318–12‑6
“Untuk menutupi jasad yang dibenamkan itu, aku dan kawan-kawan menanam apa saja. Yang paling mudah adalah gerumbul pisang. Ya, sebelum kupenuhkan dengan batang pala.” (Perempuan Pala, h. 55)
Perempuan pala merupakan kumpulan kisah yang dirangkai menjadi sebuah buku perjalanan sejarah Kota Aceh pada masa penjajahan. Kisah ini berlatar abad ke-19 di mana Aceh sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Buku ini berisi kumpulan cerita pendek yang memiliki kisahnya masing-masing. Diceritakan dengan penuh emosi diluar nalar. Emosi yang membuat pembacanya hanyut dalam kisah mistis dan janggal.
Namun, dibalik keabnormalan kisah yang ada tersimpam realita yang patut diperhatikan para pembaca. Kisah mengenai perjuangan, penderitaan, nestapa, politik, hingga kekuasaan yang mengekang manusianya. Buku ini juga mengisahkan tentang pertempuran kepercayaan, jati diri, hingga ideologi.
Tak hanya melawan penjajah namun juga melawan warga negaranya sendiri, Aceh, dan bahkan Indonesia. Buku ini sendiri memberikan pandangan lain tentang cara penulisan sebuah kisah sejarah yang kelam dengan gaya yang nyaman untuk dibaca. Dengan tetap memberikan emosi di dalamnya.
Dibuka dengan pengantar oleh Prof. Jamas T. Siagel seorang antropolog dan guru besar di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat. Pengantarnya mengisahkan tentang perjalanan Kota Aceh berdasarkan sejarah dan realitanya. Bagaimana perjuangan mereka melawan penindasan yang terjadi.
Selain itu, dalam pengantarnya prof. Jamas juga mengungkapkan sudut pandangnya terhadap Azhari dan karya-karyanya. Bagaimana cara Azhari menceritakan dan menemukan tokoh-tokoh yang ada di dalam buku. Ia juga mengungkapkan soal isu yang diangkat dalam buku tersebut dan tanggapannya.
Kemudian berlanjut pada bagian pertama pada buku ini. Mengisahkan masa-masa setelah peristiwa kudeta Jenderal Soeharto. Bagaimana keadaan masyarakat kala itu, terutama para kuli yang dihadapkan dengan sulitnya mencari kerja. Belum lagi ancaman dari pemerintah juga dari kelompok pemberontak yang siap menerkam mereka kapanpun.
Bagian kedua buku ini, menceritakan soal Air Raya. Kisah yang tersohor dari Azhari, di mana kisah ini menceritakan soal bencana tsunami yang menerjang Aceh kala itu. Perihal perahu yang akan tumbuh setiap air raya tiba dan membawa sang empunya menyusul perahu Nuh.
Dikisahkan bahwa sang ayah telah pergi bersama perahu Nuh ketika air raya tiba. Meninggalkan perahu yang belum usai di tatah. Sang ibu yang kehujanan karena atap yang lalai di tambal, berakhir dengan impian sang putra untuk menyusul sang ayah dan membawanya pulang.
Bagain lain menceritakan mengenai nasib para lelaki yang harus rela diangkut bala tentara menuju antah berantah. Kembali hanya meninggalkan nama dan tak jarang janda dengan jabang bayinya.
Dalam kisah ini tak ada warga yang berani keluar kala petang menjelang. Para tentara akan muncul dan mengetuk rumah-rumah orang terpilih, menggiring yang punya rumah masuk ke dalam barisan bersama decit ban truk-truk mereka.
Bagian lain dari buku ini juga menceritakan hikayat asam manis, masakan kesukaan bapak yang hanya dimakan sekali saja. Kisah Nek Sani yang menginginkan kuah asam pedas barang seteguk sebelum kematian menjemput orang yang dianggap memberontak.
Selain itu menceritakan tentang kondisi masyarakat kala perang. Hujan Pertama, menjadi bagian ke empat buku ini. dikisahkan tentang warga yang mengharap hujan pertama segera turun, sebagai tanda hari tenang tanpa dentuman senjata dan sorak sorai para pembelot akan tiba.
Hari tanpa ada orang mati kena peluru. Hari tanpa suara deru mesin-mesin tentara yang lalu lalang. Serta hari tanpa ada ketakutan keluarganya mati di pinggir-pinggir jalan, gorong-gorong, atau bahkan tanah ladang. Bagaian selanjutnya menceritakan bentuk pembungkaman penguasa. Kisah Si Tukang Syair yang menyinggung pemilu kala itu.
“Mulut itu dikatupkan dengan paksa untuk mengulum api.”
“Kata Ayah, orang-orang partai telah mengambil paksa pita suara Si Tukang Syair.” (Perempuan Pala. h. 40)
Hal lain yang tak kalah menyesakkan yakni, kisah keluarga yang habis dibantai karena dianggap kiri oleh masyarakatnya sendiri. Impian penghargaan terakhir dengan Kenduri seorang kakak, ibu, dan anak kepada keluarganya. Namun, sang suami justru terbunuh karena dianggap membunuh saudaranya sendiri.
Juga kisah perempuan pala, gadis yang harus merawat buah pala peninggalan keluarga. Bersama kisah tragis pembantaian karena dianggap penghianat bangsa. juga menjadi kisah menarik yang ada dalam buku ini.
Cerita yang ada dalam buku ini berkisar pada pembantaian, penyiksaan, penculikan, hingga penghilangan paksa yang kerap dilakukan selama operasi militer di Aceh kala itu. Kisah tentang konflik kepentingan, politik dan golongan benar-benar membuat Aceh dalam keadaan tidak kondusif.
“Kami tak lagi mencari Bapak. Seperti kata kakek, barangkali saja Bapak telah dipancung dan dihanyutkan di sungai lain.” Mendengar hal itu aku menangis tersedu-sedu. Aku rindu Bapak.”
“Tangkap hidup-hidup. Melawan, tembak. Aku tak ingin sekali ini gagal.“
“Ada napas yang jatuh bagai hujan” (Perempuan Pala, h. 112–113)
Secara singkat buku ini menceritakan kisah-kisah para pelaku sejarah dengan sederhana. Bagaimana masyarakat dalam kesehariannya, penuh ketakutan akan kematian, kelaparan, dan nasib baik. Namun, juga tentang perjuangan melawan ketidak adilan.
Di sisi lain ketakutan melanda, namun di sisi yang lain kemuakan akan ketidak adilan membuat mereka melawan. Para manusia-manusia yang bergulat dengan diri dan hati nurani bahkan kekuasaan kompeni. Ketidak mauan untuk tunduk bahkan pada kuasa negara.
Penulis: Nurul
Redaktur: Bayu