Judul : IDEOLOGAME, Pengaruh Video Game Atas Budaya
Pengarang : Aziz Dharma, dkk
Penerbit : EKSPRESI buku (LPM EKSPRESI)
Tahun : 2017
Cetakan : Pertama, Februari 2017
Jumlah halaman : 190 halaman
Buku ini bersampul hijau lumut dengan judul “IDEOLOGAME, Pengaruh Video Game Atas Budaya” menarik untuk dibaca dengan gambar depan pemain game berkepala monitor. Buku ini memuat kumpulan tulisan yang digarap apik oleh teman-teman Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) EKSPRESI Universitas Negeri Yogyakarta. Hampir semua tulisan ini begitu memukau dalam membahas video game dari berbagai sudut pandang.
Tema video game ini tentunya sudah melalui jalan panjang sebelum menjadi tema besar. Mungkin juga tema ini telah saling perang dan saling jegal hingga akhirnya dia memilih bertahan untuk menang. Kompetisi begitulah kiranya yang dialami banyak tema seperti bahasan video game sendiri yang memang sarat kompetisi. Inilah mengapa banyak video game baru yang kemudian bermunculan semakin banyak dan lebih banyak.
Tulisan-tulisan dalam buku ini banyak yang saling terkait satu sama lain. Sehingga tidak bisa dipilih satu atau dua yang paling menarik. Semua tulisan ini sangat menarik dan menyebabkan candu untuk saling diikuti satu persatu. Jika kita mau merunut benang merah dalam buku ini tentu semuanya akan menjadi untaian tulisan panjang yang unik dan kaya pengetahuan. Semua yang berkaitan dengan video game benar-benar dikupas habis bahkan tidak ada celah sedikitpun untuk mengintip dan mencari kelemahannya. Beberapa hal yang menarik dari buku ini akan saya bahas seiring ketertarikan saya sebagai pembaca.
Hal menarik pertama disampaikan Winna Wijayanti dalam halaman sepuluh dimana video game mampu mereproduksi ideologi sebagaimana diungkapkan Louis Althusser. Bahwa video game tidak serta merta tumbuh tanpa disertai ideologi yang dibawa oleh pembuat video game. Demikian berarti dalam suatu video game membawa misi untuk menuntun pemain menuju ideologi pembuat game. Secara sadar ataupun tidak saat memainkan video game pemain akan mengikuti perintah dalam game. Hal ini berarti pemain akan tumpah merasuk dalam game dan dirinya mengikuti ideologi, mazhab yang dibawa video game. Maka, selamat datang pemain dalam dunia maya dimana segala sesuatu dapat dilakukan sekalipun tubuh tidak kemana-mana.
Video game seperti candu, yang mana dia bisa seperti tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari. Orang yang sedang ingin mengisi waktu luang, menunggu sesuatu, atau memang gemar bermain game akan merelakan waktunya. Tentu pernyataan ini tidak bisa diberlakukan pada mereka yang sama sekali tidak gemar main video game. Dalam tulisan Rimbawana disampaikan bagaimana hasrat akan bermain video game harus dipenuhi. Rimbawana bercerita bagaimana teman-teman semasa sekolahnya bahkan rela meninggalkan jam sekolah demi bermain game. Pada halaman tiga puluh delapan Ubaidillah menuliskan bahwa pemain video game bisa bertemu dengan sesuatu yang selama ini hilang dari dirinya. Kondisi ini menurut istilah Lacanian dinamakan sublim, seseorang yang telah sublim merasa telah menemukan dunianya sendiri tanpa bisa dimengerti oleh orang lain.
Inilah keunikan video game yang mampu menghipnotis pemainnya untuk masuk dunianya bahkan melakukan apa saja agar bisa bermain. Rimbawana menyampaikan bagaimana hasrat berapi-api untuk bermain ini sebenarnya tidak bisa ditafsirkan. Tidak bisa dijelaskan mengapa hasrat bermain ini begitu menggebu-gebu dan tanpa pikir panjang pemain akan selalu kecanduan memainkan permainannya. Banyak yang sebenarnya menafsirkan hasrat bermain ini, namun tafsirannya tidak selalu tepat. Sebab kebanyakan pemain video game memiliki alasan-alasan yang berbeda mengapa mereka memilih menjadi pemain.
Bahkan pada titik tertentu video game ini menjadi semacam dunia lain dimana si pemain bila melarikan diri dari dunia nyata. Seseorang yang jengah dengan kehidupan nyata bisa jadi memilih game untuk mendapatkan sesuatu yang sering disebutkan Lacan sebagai persatuan primordial. Persatuan primordial dalam video game ini dimanifestasikan dalam dunia yang membuat pemain nyaman sehingga enggan beranjak. Mereka (para pemain) menemukan apa yang selama ini hilang pada masa kanak-kanak mereka dimana mereka bisa menyatu dengan ibu yang terhalangi oleh sosok ayah. Dalam dunia video game mereka menemukan kenyamanan ini dan kemudian membawa mereka pada kondisi hiperrealitas.
Menurut Jean Baudrillard kondisi yang tidak nyata namun dapat berimbas kepada kenyataan disebut hiperrealitas.Hiperrealitas ini seperti sudah menjadi bagian dari pemain video game. Mereka yang bermain seolah acuh tak acuh dengan lingkungan karena sudah mendapatkan dunia yang diinginkan. Terkadang dalam kehidupan nyata memang ada beberapa hal yang tidak bisa dilakukan seseorang. Seseorang akan membutuhkan sesuatu untuk mengalirkan hasrat mereka tadi. Sehingga mereka kemudian mencari medium yang mampu menerima hasrat, dan video game adalah salah satunya. Seperti yang ditulis Rimbawana dalam halaman duapuluh dua bahwa seorang yang gemuk, payah dan tidak mampu berolahraga dapat bermain olahraga apapun dalam video game. Jika seseorang sudah mendapatkan kenyamanan dalam dunia virtual ini maka dirinya akan mengalami hiperrealitas. Hiperrealitas ini mampu menjauhkan seseorang dari dunia nyata, dirinya bahkan enggan melihat dunia yang sebenarnya. Di sini pemain berada dalam kondisi dimana sesuatu telah menghegemoni pikirannya yaitu video game.
Selanjutnya hal lain yang lagi-lagi menarik dan tidak pernah habis disinggung ialah bahasan tentang perempuan. Kita tentu menyadari bahwa perempuan selalu menjadi objek lemah dan mendapatkan stereotip dimasyarakat. Winna sempat membahas bagaimana banyak game menampilkan perempuan dalam gamenya sebagai sensual yang mampu menarik pemain terutama laki-laki. Perempuan ditampilkan seksi dan tampak menggoda untuk meningkatkan rating komersialisasi video game. Gambaran pelecehan perempuan dalam video game ini belum mendapatkan advokasi khusus sehingga makin banyak saja yang digunakan dalam game. Terlebih lagi perempuan tidak menyadari bahwa dirinya menjadi korban dalam video game. Kalaupun mereka menyadari perempuan tidak punya cukup amunisi untuk membela diri.
Khusnul Khitam dalam ulasannya juga memaparkan bahwa perempuan selalu menjadi objek eksploitasi dalam video game. Perempuan menjadi komoditi yang diperjual belikan dalam banyak video game. Alih-alih video game menjadi game yang cenderung menampilkan banyak konten pornografi. Perempuan menjadi alat pemuas yang dalam tahap selanjutnya pemain akan mengalami kesenangan semu atau bisa disebut hiperrealitas seperti di atas. Tentu hal ini sangat disayangkan sebab perempuan harus menjadi korban yang (lagi-lagi) dikorbankan. Khusnul menyayangkan sebab dalam banyak game tentu tahu tidak sedikit konten yang cenderung melecehkan perempuan. Perempuan direndahkan sebab memang mereka dianggap pantas untuk diperlakukan demikian. Video game yang demikian tentu tidak memperhatikan bagaimana perasaan si perempuan melihat pelecehan, sekalipun hanya dalam game. Ini sangat merendahkan derajat perempuan sehingga mereka dipandang tidak berharga.
Pandangan ini bahkan berdampak pada subordinasi perempuan, ada anggapan bahwa video game hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Seperti dijelaskan Khusnul pada halaman lima puluh sembilan, bahwa sosok Chandry mendapat banyak tudingan dari teman ibunya hanya karena Chandry bermain video game. Menurut kebanyakan orang perempuan dipandang tidak pantas memainkan video game. Di sini terlihat bahwa selain melecehkan perempuan dengan konten pornografinya, video game terbukti membuat polaritas. Padahal bermain game adalah urusan masing-masing individu dan merupakan hal sepele namun bisa berakibat fatal pada perempuan.
Hal menarik juga disampaikan Prima Abadi Sulistyo dia memaparkan bahwa video game terus berkembang. Berjudul Beda Generasi Beda Permainan Prima menjelaskan bahwa Generasi Milenial tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan atas bergesernya permainan tradisional menjadi video game. Sebagaimana tertulis dalam halaman tujuh puluh lima, Strauss dan Howe melalui teorinya membagi generasi menjadi enam garis besar. Namun yang masih hidup tinggal empat generasi yaitu Generasi Baby Boomers (1943–1960), Generasi X (1961–1980), Generasi Y (1980–2000), dan Generasi Z (2000-Sekarang). Sementara itu Generasi Y lebih sering disebut Generasi Milenial sejak awal hidupnya telah mengenal teknologi dan era digital.
Generasi Milenial biasanya dijadikan dalang karena lunturnya kebudayaan atau permainan tradisional. Namun Prima menjelaskan bahwa generasi ini memang sudah mengecap teknologi sehingga kemajuan teknologi tidak bisa dihindari. Perubahan ini juga sebenarnya bentuk revolusi permainan menjadi bentuk virtual. Generasi sebelumnya selalu menuntut generasi milenial untuk tetap mempertahankan permainan tradisional—yang sebenarnya percaya atau tidak ini bisa disatukan. Pertentang generasi memang sudah lama muncul, dimana Generasi X menuntut Generasi Milenial untuk tetap mempertahankan permainan tradisional. Sementara pukulan globalisasi dan budaya barat tidak bisa dielakkan.
Lebih lanjut dalam halaman delapan puluh Prima menjelaskan bahwa Generasi Milenial merupakan penghubung kebudayaan. Kalau mau melakukan perubahan sebenarnya Generasi Milenial ini sangat berpotensi untuk menyatukan dua kebudayaan ini. Hal ini bukanlah perkara sulit bagi Milenial, sebab kolaborasi ini telah ada dalam pengetahuan mereka. Sehingga dua bentuk permainan yang beda zaman dapat dimainkan dan dipadukan dengan harmonis. Misalnya jika ingin membuat rekayasa budaya Generasi Milenial bisa membuat aneka video game dengan backsound lagu-lagu tradisional. Jika sudah begini maka pertentangan generasi lama kelamaan akan luntur dan tergantikan oleh budaya baru akulturasi keduanya.
Buku ini memaparkan banyak hal yang memang jarang kita sadari terkait video game. Bahkan ulasannya dalam beberapa tulisan cenderung baru dan didukung data-data. Ini merupakan pengetahuan penting agar kita bisa melihat video game dari berbagai sisi. Bahkan asumsi kita selama ini tentang video game akan berubah digantikan fakta-fakta baru yang disuguhkan. Namun bukanlah karya manusia jika tidak punya kelemahan. Terkadang terdapat beberapa ulasan yang mirip antara tulisan satu dengan lainnya meskipun sebenarnya goal yang diciptakan berbeda. Literatur yang disajikan juga banyak yang sama, sehingga saya sendiri terkadang bingung. Itulah mengapa saya bilang bahwa buku ini juga unik sebab banyak tulisan yang sebenarnya saling terkait satu sama lain. Sekadar ide tentu akan sangat menarik jika dibuat epistemologi video game mulai zaman tradisional sekali sampai postmodern. []
Manusia dan kerak-kerak bumi, sama bergeraknya. Hanya, manusia itu lebih absurd
Saya tertarik dengan buku ini. Kira-kira dimana saya bisa mendapatkan/membelinya? Trims
Buku ini bisa kamu dapatkan di Mojokstore.com atau kontak langsung dengan empunya LPM Ekspresi UNY
+62 857‑2858-9496 ini dia kontak pemimpin perusahaan mereka. Silahkan hubungi.
Im impressed, I need to say. Actually not often do I encounter a blog thats both educative and entertaining, and let me tell you, you have hit the nail on the head. Your idea is outstanding; the difficulty is something that not enough individuals are talking intelligently about. I am very glad that I stumbled across this in my search for something relating to this.
Rexuiz FPS Game
Thanks for your apreciate. Im verry happy that my review can help someone.
[…] Game sudah sangat familiar bagi pemuda sekarang. Permainan yang memanfaatkan media elektronik ini seakan menjadi candu bagi orang yang memainkannya. Ketika seseorang suka dan memainkan permainan ini, dia akan meluangkan banyak waktunya guna bermain game. Rimbawana, dalam tulisannya menyampaikan bagaimana hasrat akan bermain video game harus dipenuhi. Dia mengambil contoh teman sekolahnya yang rela meninggalkan pelajaran sekolah demi bermain game (baca resensi idiologame, pengaruh video game atas budaya). […]