Lahir di Negara Pandam Gadang, Gunung Omeh, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, 2 Juni 1897 ia dikenal dengan nama Tan Malaka atau yang bernama asli Ibrahim gelar Datuk Sutan Malaka. Ia merupakan salah satu tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang sering kali dikaitkan dengan partai komunis Indonesia (PKI). Ayah dan ibunya bernama HM. Rasad, seorang karyawan pertanian, dan Rangkayo Sinah, putri orang yang disegani di desa.
Tan Malaka kecil tumbuh dengan mempelajari ilmu agama dan pencak silat. Ia mengenyam pendidikan di Kweekschool Bukit Tinggi. Pada 1913 setelah ia lulus memutuskan untuk meninggalkan kota dan negaranya umtuk meneruskan pendidikannya ke Belanda, tepatnya di Rijks Kweekschool Haarlem. Saat berkuliah di Belanda ia mulai tertarik untuk mempelajari paham sosialiame dan komunisme. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuannya mengenai revolusi yang didapatkan dari membaca sebuah buku berjudul de Fransche Revolutie. Sejak saat itulah ia mulai memperkaya bacaan karya karya dari Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vlademir Lenin. Friedrich Nietzsche pun tak luput dari bahan bacaanya. Tan Malaka merupakan seseorang yang cerdas, terlihat saat ia masih kecil yang diakui oleh guru–guru di sekolahnya.
Pada tahun 1920-an adalah awal kiprahnya dalam dunia pergerakan. Ia bergabung bersama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang menjadi cikal bakal terbentuknya Partai Komunis Indonesia. Tan Malaka pernah tercatat memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) dan bahkan menjabat sebagai wakil komintern untuk wilayah Asia Tenggara. Ia juga merupakan pendiri partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) partai ini didirikan pada 7 November 1948 sempat dibekukan pada September 1965, namun satu tahun kemudian partai ini direhabilitasi oleh pemerintah. Namun akhirnya ia dikeluarkan dari PKI karena kegagalan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda pada tahun 1926–1927.
Hal hal yang berbau komunis inilah yang merusak kebesaran namanya sebagai salah satu penggerak atau pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia ikut terjun dalam perlawanan dengan Belanda. Bahkan pada tahun 1925 ia menggagas ide tentang “Republik Indonesia” dalam buku berjudul Naar de Republiek Indonesia. Buku inilah yang menjadi inspirasi para tokoh-tokoh bangsa. Ia memang tak setenar Bung Karno ataupun Bung Hatta, namun pemikiranya menjadi rujukan para tokoh tersebut. 14 tahun setelah meninggalnya Tan Malaka baru ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional oleh Bung Karno pada 23 Maret 1963.
Ia merupakan pahlawan yang pernah terlupakan oleh bangsanya sendiri. Bahkan sengaja untuk dihilangkan. Hal ini dikarenakan kegiatannya yang sering berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia yang diidentikan dengan hal-hal yang kejam dan musuh bangsa. Ia berjuang dengan begitu gigih untuk memperjuangkan bangsanya dari jajahan kolonialisme Belanda. Dari mulai menulis buku, membentuk kesatuan masa, berbicara dalam kongres internasional, berperang di medan tempur melawan Belanda secara langsung. Sampai ia harus keluar masuk penjara berkali–kali, diburu oleh para interpol bahkan dikejar-kejar polisi internasional. Memang perjuangannya begitu menakjubkan, namun sayangnya hal ini tak ada artinya bagi para pemimpin bangsa waktu itu. Ia justru tak dianggap sebagai salah satu penggerak. Ia dianggap sebagai pengkhianat negara, bahkan dihadiahi timah panas hukuman mati oleh tentara Republik Indonesia di Kediri 1949.
Tan Malaka haruslah diakui telah memberikan kontribusi dalam perjalanan panjang proses kemerdekaan Indonesia, bahkan dapat disejajarkan dengan para “Founding Fathers” kemerdekaan Indonesia. Bahkan berdasarkan rekam jejak sejarah perlawanan rakyat Indonesia terhadap kolonialisme, peran Tan Malaka telah tampak jauh sebelum tokoh tokoh tersebut banyak berbicara.
Tan Malaka sering dikatakan sebagai seorang komunis, namun kenyataanya ia merupakan salah satu tokoh yang dikategorikan sebagai musuh PKI oleh D.N. Aidit. Tan dianggap sebagai penghianat oleh PKI karena merupakan salah satu tokoh pendiri Partai Murba yang menjadi musuh Partai komunis Indonesia (PKI).
Tan Malaka merupakan seorang nasionalis dilihat dari terlibatnya ia dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Mungkin ia memang mempelajari paham marxisme, namun tidak ada salahnya jika mempelajarinya sebagai alat dan bukan sebagai tujuannya. Sejak muda dan saat belajar di Belanda pun Tan mempelajari paham-paham yang demikian itu, bahkan ia membaca karya-karya dari Karl Marx yang menjadi cikal paham marxisme. Ia juga merupakan sosok yang politis, ini terlihat dari kiprahnya dalam dunia perpolitikan Indonesia. Partai yang ia dirikan pun juga pernah masuk ke dalam panggung pemilihan umum yakni Partai Murba. Namun selanjutnya Partai Murba dilebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia. Namanya pun juga tercatat dalam narasi gerakan anti-kolonialisme Asia.
Tak dapat dipungkiri bahwa memang nama Tan Malaka seringkali diidentikkan dengan Partai Komunis Indonesia namun kita sebagai pemuda pun juga tak boleh melupakan andilnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tan Malaka bukanlah seorang komunis yang dogmatis. Ia merupakan seorang yang memiliki pikiran terbuka terhadap berbagai corak pemikiran dan gerakan rakyat, asalkan berjuang demi kemerdekaan, memihak rakyat jelata yang tertindas. Inilah keyakinan yang Tan Malaka bawa hingga ia ditembak mati oleh bangsanya sendiri.
Penulis: Nurul Karimatul Fitria
Redaktur: Rifqi I.F.