Beasiswa Training Penggerak Perdamaian dan Keberagaman Berbasis Komunitas membuat saya harus terjun dan hidup bersama mereka yang agama atau keyakinannya berbeda dengan saya. Acara yang diadakan oleh Komunitas Gusdurian Jombang menggandeng Persekutuan Gereja Kristen (PGI) dan acara ini berlangsung kurang lebih empat hari. Bertempat di Klenteng Hong San Kiong Gudo-Jombang. Acara ini untuk mendekatkan sesama umat beragama yang sejak kemarin-kemarin tidak berhubungan dengan baik. Ya begitulah setidaknya kalian tahu cikal bakal acara diadakan.
Kita tahu, Gus Dur atau yang bernama lengkap K.H Abdurrahman Wahid memang bapak atau tokoh pluralis di Indonesia. Sebagai wujud penghargaan dan ikut mengamini pemikiran beliau maka, kegiatan ini perlu dilakukan. Supaya apa? Supaya kita tidak bertengkar seperti kanak-kanak berebut eksistensi atas nama agama.
Saya rasa kita perlu menengok lebih jauh ke belakang bahwa kita sebagai bangsa Indonesia telah mengakar dari nenek moyang memang hidup dalam keberagaman. Keberagaman ini terjadi hampir dalam segala hal, misalnya mulai dari warna kulit, bahasa, makanan, adat, kesenian, bahkan sampai bau mulutpun – beda, nah apalagi agama dan kepercayaan toh?? Syudah jelas pasti perbedaannya. Yah kira-kira mereka yang suka nyinyir karena memaksakan persatuan dalam segala hal saya kira mulai hilang akal sehatnya. Hla gimana ndak? Sejak dalam kandungan saja saya dan ketiga saudara saya sudah beda. Padahal kita lahir dari mulut rahim yang sama tapi saat keluar ya tetap saja beda, haish„,takdir. Nah kalau tahu begitu lantas kenapa mereka masih nyinyir? Anggap saja mereka itu golongan kurang piknik. Ehemmm
Oya kita harus balik pada cerita tadi, hemmm ngomong soal piknik saya dan teman-teman berkesempatan piknik lintas iman. Yang seperti apa? Ya begitulah kita berkeliling mengunjungi beberapa rumah ibadah dari berbagai agama yang mana lumayan ngehits seantero Jombang. Tempat pertama yang kita kunjungi ialah makam bapak pluralis kita yaitu Gus Dur. Makam Gus Dur terletak di kompleks pemakaman pondok pesantren Tebu Ireng, hmmm sebagaimana leluhur beliau juga beristirahat disana. Karena kita terdiri dari hmmm tentu saja beragam gaya berpakaian, rambut, bahkan warna kulit yang berbeda, maka kedatangan kita menyita perhatian banyak orang di sekitar makam. Ziarah yang kita lakukan pun terbilang nasionalis karena ditutup dengan doa dan tentu saja iring-iringan lagu Indonesia Raya beserta Padamu Negeri. Hmmmm very Nice!!
Kemudian mobil kita bergerak menuju Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno-Jombang. Menurut cerita pastur yang menyambut kita, gereja ini merupakan gereja tertua di Jawa Timur dan menjadi cikal bakal GKJW lainnya di Jawa Timur. Di luar dugaan saya tentang stigma gereja yang sedari masih bau kencur dijejalkan keluarga, ternyata para pastur dan pengurus gereja tidak kalah ramah. Mereka menyambut kedatangan saya dan teman-teman dengan suka cita bahkan – menyiapkan makan siang untuk rombongan saya.
Deg-degan tentu saja menggerogoti hati saya yang sejak dalam pikiran menganggap makanan gereja pasti tidak halal. Eh tunggu dulu, pastur yang memersilahkan kami masuk aula makan mengatakan bahwa makanan ini dijamin halal 100%. Wedee…mereka sangat mengerti akan kekhawatiran pola pikir saya yang aduhai konservatif minta ampun. Yah – sejak lahir saya dicekoki pikiran konservatif yang bisa jadi menuju intoleran nomor wahid. Dengan sambutan hangat ini maka, otak konservatif saya luruh pelan-pelan. Apalagi nafsu swafoto saya muncul begitu melihat rumah ibadah yang warbiasah menakjubkan dan tentu saja instagramable. Hmmm…maklum saya pertama kali ini masuk gereja. Kekekeke.
Melanjutkan perjalanan spiritual lintas iman ini kemudian rombongan menuju salah satu rumah ibadah umat Hindu. Benar, kita menuju pura yang konon katanya juga terbesar seantero Jombang ini. Tepatnya di Ngepeh sebuah daerah pinggiran sungai yang nyaman untuk beribadah. Pura ini tidak begitu besar jika dibandingkan pura di kota besar lainnya, hanya saja umat Hindu sudah memaksimalkan usahanya untuk membangunnya. Pura ini bernama Pura Amrta Buana, dimana mereka memiliki sekitar enam puluh delapan kepala keluarga sebagai pengikutnya.
Adalah Sukirno merupakan Pedande yang menjadi panutan bagi umat agama Hindu di Ngepeh. Beliau menjelaskan bagaimana jatuh bangun umat Hindu yang nyaris punah. Dulunya sekitar dua ratusan kepala keluarga masih tercatat sebagai umat Hindu, namun belakangan berkurang drastis. Lebih lanjut beliau menuturkan sulitnya mendapatkan pengakuan atas keberadaan agama Hindu terutama dalam dunia pendidikan. Sulitnya mencari guru agama Hindu menyebabkan beliau harus merelakan banyak waktu untuk keluar masuk sekolah dan mengajarkan agama Hindu. Namun beliau juga sangat bersyukur karena masyarakata Ngepeh tidak eksklusif sehingga legowo menerima keberadaan umat beda agama. Perjalanan spiritual lintas iman ini diakhiri dengan swafoto dan tentu saja memakan suguhan dari empunya rumah.
Demi mendalami atau bisa jadi meningkatkan toleransi kepada umat agama lain pula saya dan teman-teman akan life in di rumah-rumah sekitar Klenteng Gudo. Jadi begini aturan mainnya, saya yang di KTP muslim akan tinggal di rumah Pastur Gereja Bethani tepatnya di belakang Klenteng. Kemudian teman saya yang non muslim akan tinggal di rumah warga muslim di sekitar klenteng. Ehemm„,akan menarik. Life in semalam ini akan dimanfaatkan untuk berbagi cerita kepada dan dari mereka yang berbeda keyakinan. Lama-lama saya nyaman ngobrol dengan mereka.
Bekal identifikasi diri dari sikap intoleran membuat saya mantap dan yakin bahwa mereka itu ya manusia biasa, bahkan makanannya pun sama-sama NASI. Bahkan mereka yang non muslim itu sangat toleran dengan kita, buktinya saya yang shalat saja kadang masih nunggak diingatkan untuk menyegerakan. Kadang saya malu, sebagai penyandang muslim ternyata saya masih krisis identitas untuk taat melakoni itu. Eh kok jadi curhat. Nyatanya setelah tinggal selama beberapa hari saya kemudian akrab dan bahkan saling berdiskusi tentang teologi. Mereka sama sekali tidak ada niatan buruk untuk memecah belah Islam, malah sebaliknya kita yang nampaknya makin intoleran terhadap mereka. Padahal, mereka terbuka menerima kehadiran kita sebagai teman mereka dan setahu saya tidak ada hukum yang berbunyi jika masuk rumah ibadah agama lain kita menjadi kafir.
Intinya begini, bahwa saya tidak menyangka orang-orang baik semacam itu harus kita labeli dengan diksi “Kafir”. Mereka itu bahkan was-was jika ingin membantu umat muslim yang sedang mengalami kesusahan, sebab selalu ada embel-embel kristenisasi lah, Hinduisasi, atau sasi sasi yang lain. Embel-embel inilah dampak buruk dari suudzon masyarakat muslim yang saya pikir berlebihan. Padahal mereka ikhlas membantu kita, hmm pola pikir kurang benar ini meratakan persatuan dan berujung perpecahan bangsa. Ehem, masih ingat kan diksi kafir yang menyakitkan itu? Saya saja ogah jika telat shalat satu kali waktu lantas dilabeli kafir, apalagi mereka yang sembahyangnya lebih taat dari saya?
Jadi, mbokya dipikir kalau mau menuduh orang kafir, Tuhan saja toleran kok masa situ enggak? Kalau sudah begini apa sebaiknya diksi Kafir dihapus saja?? []
Manusia dan kerak-kerak bumi, sama bergeraknya. Hanya, manusia itu lebih absurd