Lagu tidak hanya men­ja­di sarana hibu­ran untuk pelepas penat. Terkadang beber­a­pa lagu memang dicip­takan untuk sarana kri­tik. Seper­ti yang telah dilakukan oleh grup band psy­che­del­ic rock asal Ing­gris, Pink­floyd. Pink­floyd ser­ing menyuguhkan lagu sarat lirik filosofis dan ira­ma eksper­i­men­tal dalam album-albumnya.

Album The Wall (1979), tepat­nya pada lagu yang berjudul Anoth­er Brick in the Wall mere­ka men­co­ba melepaskan ide-ide terkait pola pen­didikan kon­ven­sion­al saat itu—atau masih ter­ja­di hing­ga sekarang. Lagu ini menggam­barkan secara sim­bo­lis bagaimana per­an guru dalam pen­didikan, alih-alih mem­be­baskan indi­vidu yang kre­atif mere­ka malah berla­gak selayaknya sipir penjara.

Wrong, Do it again!”
“If you don’t eat yer meat, you can’t have any pud­ding

Dia­log keras seba­gai pen­disi­plinan kepa­da murid digam­barkan secara sim­bo­lis. Jika kamu tidak melakukan “ini” kau tidak bisa melakukan “itu”. Cara pen­didikan semacam ini bersi­fat lin­ear, pada­hal daya kre­atif siswa tidak akan tum­buh den­gan lin­ear­i­tas semacam ini. Men­gandaikan kecer­dasan siswa seba­gai sesu­atu yang dap­at diukur secara pasti akan men­cip­takan banal­i­tas sis­tem pen­didikan. Dimana siswa yang men­gua­sai ilmu per­hi­tun­gan akan diang­gap lebih cer­das dari­pa­da siswa yang meneku­ni kesenian.

Keti­ka siswa diberi ker­tas kosong untuk alat ban­tu menghi­tung dalam ujian matem­ati­ka, siswa yang meng­gu­nakan ker­tas itu untuk menggam­bar adalah con­toh siswa yang bodoh menu­rut sis­tem lin­ear ini. Dan guru akan menyen­tak Wrong, Do it again!” berkali-kali.

All in all it’s just anoth­er brick in the wall.”
“All in all it’s just anoth­er brick in the wall
.”

Sis­tem pen­didikan yang hanya mengkat­e­gorikan siswa seba­gai hitam dan putih, cen­derung akan men­gang­gap siswa yang cer­das adalah siswa yang mudah untuk diatur. Lebih jauh lagi, siswa yang mudah diatur selan­jut­nya akan dis­er­agamkan. Peny­er­aga­man ini berdasar pada piran­ti yang sung­guh rumpang, piran­ti peny­er­aga­man itu tidak mewak­ili selu­ruh nalar kre­atif dari siswa. Pada akhirnya siswa diben­tuk secara struk­tur­al maupun kul­tur­al agar men­ja­di sama selayaknya bata di tem­bok seko­lah. All in all it’s just anoth­er brick in the wall.”

Pen­disi­plinan semacam itu sem­pat dipikirkan begi­tu men­dalam oleh pemikir Pran­cis kon­tem­por­er, Michel Fou­cault. Baginya pen­disi­plinan yang dilakukan oleh insti­tusi  penuh den­gan alasan poli­tis. Alasan itu bergan­deng den­gan kon­sep kuasa. Menu­rut­nya nor­ma untuk men­disi­plinkan sejalan lurus den­gan kuasa bek­er­ja. Jika kekuasaan tert­ing­gi (tidak hanya negara) mem­pun­yai ciri khas ter­ten­tu, dap­at dipastikan nor­ma itu akan ditu­runk­an kepa­da instan­si dibawah­nya. Kita bisa meli­hat aspek kepen­didikan untuk men­ero­pong lebih jauh bagaimana pola relasi kekuasaan diatas­nya. Dila­rang beram­but pan­jang dan mata pela­jaran kewar­gane­garaan yang diwa­jibkan, men­ja­di salah satu con­toh pen­didikan di Indone­sia berciri nasionalistik.

Bukun­ya Dici­pline and Pun­ish, Michel Fou­cault men­gungkap bagaimana indi­vidu diben­tuk sesuai kon­struk kekuasaan. Pada sis­tem kekuasan, indi­vidu tidak hanya dihukum dan didisi­plinkan melainkan lebih jauh untuk diben­tuk men­ja­di indi­vidu yang “ter­didik” den­gan kri­te­ria yang diten­tukan oleh insti­tusi pen­didikan. Kri­te­ria yang telah diten­tukan tidak bersi­fat netral, melainkan berdasar struk­tur kekuasaan.

 Alih-alih seba­gai perangsang kreativ­i­tas siswa, guru jus­tru mem­be­namkan diri pada kon­sep pen­disi­plinan ala lapas. Memang pada dasarnya sis­tem pen­disi­plinan tidak hanya bisa dite­mui di lapas, namun juga pada semua insti­tusi penor­malan dalam hal ini seko­lah. Seko­lah mem­pun­yai per­an yang sama den­gan lapas, ked­u­anya beru­paya untuk men­cip­takan indi­vidu men­ja­di lebih “baik”. Lapas berfungsi untuk mem­per­bai­ki sikap para crim­i­nal, sedang seko­lah mengam­bil per­an untuk mem­per­bai­ki siswa bodoh men­ja­di pin­tar. Sub­stan­si ked­ua lem­ba­ga itu sama, sama-sama mem­pun­yai dasar moral untuk mem­per­bai­ki indi­vidu. Per­baikan itu berdasarkan alasan yang poli­tis. Di dalam­nya terselubung niat untuk men­gubah, men­cip­takan, dan men­gatur indi­vidu agar sesuai den­gan nor­ma yang diusung kekuasaan.

Lapas mem­pun­yai nor­ma berke­lakuan baik. Nor­ma ini mem­pun­yai defin­isi sendiri bagi lapas, yaitu segala tin­dakan yang berun­sur mem­berontak dan kri­tis harus dimatikan dalam piki­ran nara­p­i­dana! Hal ini berfungsi untuk memu­dahkan men­gatur nara­p­i­dana. Sena­da den­gan itu, seko­lah mem­pun­yai nor­ma ter­ten­tu dalam men­jalankan fungsinya seba­gai aktor pen­disi­plinan. Pelak­sanaan upacara ben­dera mis­al­nya, siswa akan terus menerus didok­trin nilai nasion­al­isme tan­pa harus tahu kerumpan­gan dari negara. Jika siswa tidak melakukan kegiatan upacara akan men­jalani berba­gai huku­man nasion­al­is­tik, mis­al­nya hor­mat ke ben­dera berjam-jam.

 Pen­disi­plinan yang dilakukan seko­lah ter­ja­di pada keselu­ruhan kegiatan bela­jar men­ga­jar. Pemil­i­han mata pela­jaran dan sis­tem tata tert­ib digu­nakan untuk men­cip­takan siswa yang ser­agam dan patuh. Selayaknya bata di tem­bok seko­lah All in all it’s just anoth­er brick in the wall.” Tin­dak tan­duk siswa dila­rang untuk kelu­ar dari kat­e­gori yang telah diten­tukan oleh instan­si pen­didikan, dan nahas­nya  instan­si pen­didikan men­ja­di pro­duk kuasa dari kekuasaan yang lebih ting­gi. Den­gan begi­ni seko­lah bukan­lah ruang untuk siswa yang menginginkan kebebasan.

Lagu ini mengam­bil jalan kri­tik dalam meli­hat sis­tem pen­didikan. Dimana kebe­basan telah direnggut dan diubah men­ja­di indi­vidu yang patuh dan ser­agam. Pen­didikan semacam ini harus diti­adakan dan biarkan siswa men­e­mukan kebe­basan dan iden­ti­tas­nya sendiri.

Teach­ers leave them kids alone”
“Hey! Teach­ers! Leave them kids alone!”

Penulis: Gea
Edi­tor: Novin­da
Redak­tur: Zulfa