“Saya tidak heran kalau ada terjadi penangkapan mahasiswa hanya karena baca buku saya. Itu kekuasaan orde baru adalah kekuasaan fasis, yaitu membuat orang menjadi takut supaya manut. Itu biasa kekuasaan fasis di mana-mana. Teror membuat ketakutan orang, supaya orang hilang daya tahannya dan ikut saja apa maunya. Itu sudah seluruh dunia begitu, fasisme itu.”
“Itu semua anak-anak rohani saya sendiri. Mereka punya sejarah sendiri, dilepas dari saya. Kalau ditanyakan hubungan antara karya saya dengan saya, saya gak pernah jawab. Mereka itu anak-anak rohani yang punya sejarahnya sendiri. Ada yang mati muda. Ada yang mungkin bisa hidup seterusnya. Itu di luar kekuasaan saya.”
Tersebut adalah ungkapan Mbah Pram pada Agustus 1999, dalam sebuah wawancara. Begini, Mbah Pram atau Pramudya Ananta Toer adalah sastrawan yang masuk kategori sastrawan angkatan 45. Waktu mencatat ia terlahir 94 tahun lalu di bumi Blora, pada 6 Februari. Namun usianya terlebih dahulu henti napas pada 29 April 2006.
Di dunia jurnalistik Mbah Pram kerap disebut-sebut sebagai “nabi”. Sebab ia membawa risalah kemanusiaan dengan keadilan sebagai pijakan. Ia hadir dalam karya-karya yang mencerahkan. Utamanya terkait nasionalisme dalam melawan kolonialisme, sampai pada melawan fasisme pemerintah Indonesia sendiri, yang kala itu menyengsarakan kehidupan rakyat. Juga menentang warisan budaya yang tidak manusiawi.
Tersurat dalam anak rohaninya “Bumi Manusia”, lewat tokoh Jean Marais, ia menggemakan prinsip “seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Demikian tutur bijak yang kerap dijadikan quotes di pelbagai media sosial.
Pada masanya, beberapa buku Mbah Pram dilarang disebarkan oleh Jaksa Agung dengan alasan mengandung unsur subversif dan bertentangan dengan ideologi negara. Juga ada buku-buku yang terlahir dan tutup usia di pembakaran. Buku-buku yang sempat dilarang terbit itu di antaranya Tetralogi Pulau Buru.
Belakangan, pencekalan terhadap buku-buku yang dianggap kiri atau berbau komunis terulang. Di Kediri, buku yang menyinggung PKI dan komunisme diberangus oleh Komando Distrik Militer 009 Kediri. Di Padang, buku yang ditengarai menyebarkan paham komunis diamankan oleh aparat gabungan TNI, Polri, dan Kejaksaan Negeri Padang.
Merupakan turun tangan yang dangkal apabila aparat pemerintah khawatir paham komunisme menyebar. Buku-buku jadi tersangka setelah penerbitannya dilegalkan. Hak cipta dan kebebasan berkarya semacam bualan fiksi atas sistem pemerintahan demokrasi yang digencarkan. Jadi semakin saya yakin, bahwa apa yang dikatakan Mbah Pram terkait demokrasi itu tidak ada, yang ada hanyalah budaya panutan. Menganut politik ingatan di era Orde Baru. Apalagi kalau bukan legitimasi terhadap kekuasaan?
Zaman tetap berjalan sesuai hukum waktu yang tak bisa berulang. Namun bukan hal mustahil jika peristiwa dan peringatan sengaja atau tidak untuk diulang. Begitu pula atas hak tahun untuk berulang dan usia kian tambah. Selamat ulang tahun Mbah Pram, seperti yang kau katakan dua bulan sebelum meninggalkan dunia, “Sudah saya menulis apa yang ingin saya tulis. Sudah saya punya apa yang ingin saya punya.” Telah tercapai “kenabianmu” dalam mengemban risalah kemanusiaan. Buku-buku pemikiran semoga tak ada lagi pihak yang ingin melacurkan. Semoga sumbanganmu kepada dunia senantiasa benar di peredaran zaman.