Orang Jawa iden­tik den­gan sim­bol-sim­bol yang dijadikan suatu adat maupun tra­disi. Bahkan apa yang dik­er­jakan atau yang dimakan pun penuh den­gan mak­na ter­ten­tu yang dis­im­bolkan den­gan ben­da di sek­i­tar. Salah sat­un­ya adalah Kem­bar Mayang. Terny­a­ta diba­lik namanya ter­da­p­at seju­ta mak­na dan do’a yang diberikan kepa­da manusia.
Isti­lah Kem­bar Mayang memang telah dipakai dalam berba­gai upacara tra­di­sion­al Indone­sia. Pelak­sanaan upacara itu belum ten­tu sama antara daer­ah satu den­gan lain­nya, walaupun mak­sud dan tujuan­nya sama. Mis­al­nya tata cara adat perkaw­inan Yogyakar­ta berbe­da den­gan tata cara adat perkaw­inan di Jawa Timur, sehing­ga ben­tuk dan isi Kem­bar Mayang yang di gunakan juga berbeda.


Ada berma­cam-macam pen­da­p­at men­ge­nai isti­lah Kem­bar Mayang. Menu­rut Gon­do­w­a­sito (1965), Kem­bar Mayang adalah semacam buket (bou­quette) dari daun kela­pa yang masih muda (janur) den­gan beber­a­pa jenis dedau­nan dan bun­ga mayang (bun­ga pinang) atau bun­ga pudak (seper­ti pan­dan). Kem­bar Mayang terse­but berjum­lah dua buah yang sama ben­tuk dan isinya, dan bermak­na seba­gai pohon kehidu­pan yang dap­at mem­berikan segala hal yang diinginkan.
Menu­rut Kawin­dro­su­san­to (1979) ter­ja­di salah kaprah dalam peng­gu­naan isti­lah Kem­bar Mayang. Pengert­ian Kem­bar Mayang yang sesung­guh­nya adalah beru­pa dua untai kem­bang mayang (bun­ga pinang) yang dis­er­tai den­gan sepo­tong kain cinde dan sin­dur yang digan­tungkan pada kepala burung garu­da di pedaringan (sen­thong) ten­gah. Ada­pun janur yang diben­tuk meny­er­tai buket yang dile­takkan dis­amp­ing pen­gan­tin dise­but Gegar Mayang. Namun kebanyakan orang menye­but­nya Kem­bar Mayang, kare­na takut den­gan isti­lah Gegar Mayang yang mak­sud­nya adalah gugur atau mati.
Mak­na gugur yang sebe­narnya adalah ter­lepas dari satu keadaan (sta­tus), yaitu gugur sta­tus kegadis­an­nya atau gugur sta­tus jejakanya kare­na ked­u­anya sudah diikat dalam satu perkaw­inan dan sudah meningkat kede­wasaan­nya. Oleh kare­nanya pen­gan­tin yang sudah tidak gadis atau jeja­ka atau salah sat­un­ya sudah per­nah kaw­in tidak dibu­atkan Gegar Mayang. Rangka­ian secara keselu­ruhan dari Gegar Mayang itu dil­am­bangkan seba­gai pohon Kalpataru, yaitu pohon ajaib yang fungsinya seba­gai sak­si perkaw­inan atau pernikahan.
Sedan­gkan menu­rut pen­da­p­at umum yang banyak dipen­garuhi oleh buku “Par­takra­ma” men­garahkan pada satu analo­gi bah­wa peng­gu­naan Gegar Mayang adalah keti­ka ada orang yang mening­gal dan belum sem­pat men­gala­mi pernika­han. Sehing­ga dap­at dis­im­pulkan bah­wa Kem­bar Mayang adalah suatu hiasan dari janur dan dedau­nan lain­nya yang dibu­at sedemikian rupa dalam gede­bog (batang pisang) seba­gai pelengkap upacara perkaw­inan atau kematian.
Ada juga yang memak­nai secara ter­pisah. Dalam bahasa jawa kem­bar itu artinya sama, dan mayang artinya bun­ga. Mak­sud­nya adalah pen­gan­tin itu sama keing­i­nan­nya, sama pemiki­ran­nya, sama cin­tanya, sama tujuan­nya, dan sama yang lainnnya. Kare­na menikah itu meny­atukan dua hati yang berbe­da men­ja­di sama. Selan­jut­nya pen­gan­tin putri itu diibaratkan bun­ga dan bun­ga itu berbau harum. Kare­na keti­ka men­ja­di pen­gan­tin, pen­gan­tin putri akan indah dil­i­hat dan apa­bi­la dici­um aro­manya wangi.
Dalam adat jawa kita pasti ser­ing men­jumpai janur. Entah itu digu­nakan untuk kupatan (anya­man segi empat yang diisi beras) maupun digu­nakan seba­gai anya­man yang digu­nakan seba­gai hiasan dan digu­nakan pada kem­bar mayang. Janur di sini berasal Bahasa Arab “Ja’a Nur” yang berar­ti telah datang cahaya. Mak­sud­nya adalah pen­gan­tin terse­but supaya terang luar dan dalam­nya (dho­hir dan batin), barokah , dan sela­mat dunia dan akhi­rat­nya. Janur yang dip­il­ih juga tidak asal pil­ih, yaitu yang war­na kun­ing. Kun­ing itu berasal dari Bahasa Arab yaitu Qona’ah, mak­sud­nya mener­i­ma apa yang sudah diberikan oleh Alloh SWT.
Selan­jut­nya janur akan diben­tuk menyeru­pai burung. Hal terse­but dimak­sud­kan supaya pen­gan­tin memi­li­ki sifat seper­ti burung mer­pati, yaitu setia. Meskipun dalam suatu kehidu­pan mere­ka akan berte­mu den­gan banyak orang yang bukan pasan­gan­nya, ia akan tetap setia dan tidak akan menghi­a­nati pasangannya.
Ada juga janur yang diben­tuk menyeru­pai ulat. Sim­bol terse­but diar­tikan seba­gai orang yang tirakat men­cari nafkah untuk men­cari kesuk­sesan, kare­na dalam men­cari nafkah harus memer­lukan tirakat juga. Namun ada juga yang men­gar­tikan bah­wa ulat itu adalah hewan yang memi­li­ki 4 sifat yaitu: mem­bu­at gatal, men­ji­jikkan, rakus, dan suka merusak tana­man. Sehing­ga apa­bi­la berte­mu manu­sia, ia akan dimus­nahkan. Akan tetapi ada juga ulat yang pin­tar supaya tidak dibunuh oleh manu­sia. Yaitu den­gan cara berta­pa di dalam daun den­gan cara meng­gu­lungnya, kemu­di­an lama-lama ulat terse­but akan men­ja­di kepom­pong. Dan keti­ka itu ulat sudah tidak memi­li­ki 4 sifat tadi. Sete­lah men­ja­di kepom­pong, ulat terse­but akan berubah men­ja­di kupu-kupu yang bisa ter­bang dan memi­li­ki tubuh yang indah ser­ta makanan­nya adalah madu.
Manu­sia itu juga diibaratkan seba­gai ulat yang memi­li­ki sifat tadi. Sehing­ga jika manu­sia memi­li­ki sifat tadi, seyo­gyanya manu­sia terse­but cepat berubah. Jika ulat berta­pa di dalam daun, maka manu­sia akan berta­pa di dalam kamar (kubur). Jika ulat terse­but lama-lama berubah jadi kepom­pong, maka manu­sia akan berubah men­ja­di may­it yang nan­ti­nya akan diham­piri ked­ua malaikat den­gan berba­gai per­tanyaan . Kemu­di­an sete­lah ulat men­ja­di kepom­pong, lalu akan berubah men­ja­di kupu-kupu yang nan­ti­nya makanan­nya adalah madu. Jadi manu­sia itu apa­bi­la di duni­anya rajin berib­adah dan rajin menger­jakan amal sholih dan bisa men­jawab per­tanyaan dari malaikat, maka ia akan men­da­p­atkan imbal­an­nya yaitu sur­ga yang nan­ti­nya minu­man­nya adalah susu dan madu yang men­galir di sungai.
Janur ada yang dibu­at menyeru­pai keris. Keris berasal dari Bahasa Arab yaitu Kharisun yang artinya men­ja­ga. Mak­sud­nya adalah men­ja­ga hubun­gan si mem­pelai dari maraba­haya entah dari fit­nah, keja­hatan, maupun yang lainya. Seyo­gyanya manu­sia juga mengiku­ti ajaran Nabi dalam men­jalankan kehidu­pan­nya supaya rumah tang­ganya men­ja­di SAMARA (sak­i­nah, mawadah, dan rohmah).
Kom­po­nen lain dari Kem­bar Mayang adalah kem­bang pan­ca war­na yang ter­diri dari: daun beringin, daun pur­ing, daun andong, dan daun lan­cur. Ringin berasal dari Bahasa Arab yaitu Ro’in yang artinya memeli­hara atau melin­dun­gi. Sehing­ga daun beringin dimak­sud­kan agar ked­ua mem­pelai bisa men­gay­o­mi satu sama lain teruta­ma kelu­ar­ganya. Sedan­gkan daun pur­ing dimak­sud­kan agar ked­u­anya bisa mena­han ama­rah dan tidak sal­ing bertengkar. Daun andong dimak­sud­kan untuk men­ja­ga sopan san­tun ter­hadap sesama. Semen­tara daun lan­cur dimak­sud­kan agar manu­sia memi­li­ki wawasan yang luas dan jangkauan yang pan­jang dalam men­cari nafkah untuk memenuhi tanggungjawabnya.
Ter­akhir adalah mem­ben­tuk janur menyeru­pai gunung atau can­di den­gan cara dianyam. Mak­sud­nya adalah pernika­han dihara­p­kan seper­ti gunung yang san­gat kokoh dan tegar, meskipun berba­gai rin­tan­gan tetap meng­ham­piri akan tetapi tidak per­nah goy­ah imannya.
Pada saat mem­pelai diperte­mukan, Putri Domas/prawan sun­thi dan Joko Kumo­lo bertu­gas mem­bawa kem­bar mayang di samp­ing pen­gan­tin. Dalam mem­bawa Kem­bar Mayang pun juga tidak sem­barangan, ada atu­ran­nya. Jika mem­pelai wani­ta masih dalam keadaan per­awan, maka cara mem­bawanya adalah harus diangkat seja­jar pun­dak. Namun jika mem­pelai wani­ta sudah hamil atau dalam isti­lah Jawa ngekarne kare­na saat menikah dulu belum dibu­atkan Kem­bar Mayang, maka cara mem­bawanya tidak boleh di atas perut. Jika di atas perut, takut­nya roh suci yang ada di dalam rahim ibu akan kalah dan akhirnya keguguran.
Ter­lepas dari banyaknya filosofi men­ge­nai Kem­bar Mayang orang Jawa tetap kukuh meng­gu­nakan­nya hing­ga saat ini teruta­ma di daer­ah pedesaan. Orang Jawa juga meyaki­ni bah­wa tidak ada Kem­bar Mayang serasa ada yang kurang atau dalam isti­lah Jawa “durung dikarne” yang berar­ti belum dimekarkan. Sehing­ga orang yang sudah menikah seo­lah wajib ada Kem­bar Mayangnya. []