“… aku harapkan kamu tetap menikmati hidup ini hingga kemudian hari serta bersenang-senanglah dengan semua kegiatanmu. Aku pikir, sangat bagus, kamu sebagai orang yang berpikiran positif dan senang bergaul dan penuh tenggang rasa.”
Claudia Beck
Judul : Kesetrum Cinta: Kisah Jenaka Pria Jawa Menikah dengan Perempuan Swiss
Penulis : Sigit Susanto
Penerbit : BUKU MOJOK
Tahun Terbit : 2016
Tebal Buku : 264 Halaman
Budaya itu apik, unik dan menarik. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, budaya berarti sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Sedang kebudayaan itu sendiri adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Kebudayaan juga bisa dikatakan sebagai pengetahuan penuh manusia sebagai mahluk sosial guna memperhatikan, menghayati dan memahami lingkungan sekitar. Selain itu juga digunakan untuk memahami pengalaman hidup yang menjadi pegangan tingkah laku.
Menurut Dodiet Aditya Setyawan dalam tulisannya Ilmu Sosil Budaya Dasar (ISBD), Apabila ditinjau dari asal katanya, maka “Kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “Budhayah”, yang merupakan bentuk jamak dari “Budhi” yang berarti Budi atau Akal. Dalam hal ini, “Kebudayaan” dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal.
Buku ini bisa dikatakan kumpulan kisah, catatan maupun cerita dari seorang Sigit Susanto atau bisa dipanggil Kang Bondet. Sigit Susanto adalah putra asli Kendal Jawa Tengah yang menjalin hubungan pernikahan dengan Claudia Beck putri asli Swiss totok yang pernah berwisata ke Indonesia. Pertemuan yang terikat hubungan pernikahan ini melahirkan mempertemukan dua putra dan putri beda negara, pun dua kebudayaan. Maka terciptalah gegar budaya antara Jawa (Indonesia) dan Swiss. Kisah sejoli inilah yang terangkum dalam buku karya Kang Bondet ini. Kang Bondet juga pernah menuliskan sebuah catatan perjalalanan di Indonesia dalam bukunya yang berjudul Menyusuri Lorong-lorong Dunia.
Ketika orang yang melihat judul buku ini, terutama yang tidak begitu tertarik soal percintaan mungkin tidak membacanya. Walaupun setiap manusia mempunyai potensi bercinta, tetapi tidak untuk selalu hobi pada bacaan tentang percintaan. Namun kumpulan catatan perjalanan ini bukan sekedar masalah cinta melulu. Catatan ini jauh dari kategori picisan. Catatan mengandung multikultural informasi dan bacaan anyar tentang pandangan budaya. Khususnya budaya Indonesia (Jawa) dengan budaya barat tepatnya di Swiss.
Meskipun judul yang tertera di kulit buku yakni Kesetrum Cinta: Kisah Jenaka Pria Jawa Menikah dengan Perempuan Swiss, tetapi dalam catatan perjalanan Kang Bondet ini tidak semua mengandung kelucuan selayaknya cerpen jenaka. Di sisi lain terdapat pula pengajaran budaya dan sikap yang bijak dalam menghadapi sesuatu. Sebut saja catatan pada judul Amplop Sumbangan dan Koper di Mobil Angkot. Dua catatan tersebut adalah salah dua dari beberapa catatan lain.
Beberapa di antaranya banyak mengandung beberapa pesan tersirat dalam hal perbedaan budaya dari dua daerah, bahkan sampai lingkup negara. Mungkin terlihat sepele atau mungkin diantara pembaca menganggap ini semacam bacaan ringan yang biasa. Namun, hal ini baik untuk kita ketahui guna menghargai perbedaan pada multi budaya. Maka, bagaimana kita menjawab pertanyaan terkait kebiasaan dan kebudayaan orang Swiss secara mendetail dari bangun tidur sampai tidur kembali, jika tidak Kang Bondet tuliskan di kumpulan catatan ini.
Satu kisah yang cukup menggugah tawa adalah ketika di Indonesia Kang Bondet dan istri diundang kondangan di desa sebelah. Kang Bondet sudah memberi tahu, amplop sumbangan harus diberikan kepada ibu si pengantin. Karena tidak terbiasa memberikan amplop dengan cara yang diwanti-wantikan Kang Bondet akhirnya begini:
Jadi, tak terjadi salaman tempel seperti yang aku rencanakan. Di luar aku tegur, mengapa amplopnya diangkat ke atas, seharusnya ditekuk bersamaan saat salaman. Ia mengaku, tidak biasa, mengapa mengasihkan amplop harus bersamaan saat salaman? (Salam Tempel: 150).
Meskipun yang menonjol diceritakan adalah budaya Indonesia khususnya Jawa, Kang Bondet juga banyak menceritakan kisah perjalanannya yang terkait budaya Indonesia yang lain. Salah satunya yakni budaya pamit (undur diri) di salah satu acara dalam kepercayaan Bali. Adapun penggalan ceritanya seperti berikut.
Kami berdua jongkok dan menyembah tiga kali dengan kedua telapak tangan mengatup ke arah pintu yang tertutup. Setelah itu kami berdiri lagi dan menoleh ke prabu sejenak. Musik India masih mengalun, lalu lalang orang seperti kisah seribu satu malam (Menyembah Pintu: 98).
Beragam perbedaan dan perbandingan yang terus muncul memberi pengalaman baru yang apik ketika membaca kisah Kang Bondet. “Bukan salah bunda mengandung,” ia katakan. Nasib orang lain tentu akan mendapat pengaruh dari peradaban lingkungan hidupnya. Berbeda di Indonesia, berbeda pula di Eropa (termasuk Swiss). Satu hal diantara lain, budaya yang sangat menarik untuk direnungkan, yakni:
Bagi warga, buku usai dibaca harus segera dibagi kepada sesama. Ada nilai sosial menyeruak. Bagi warga yang akan pindah rumah atau apartemen, tak perlu repot-repot memikirkan semua bukunya. Bagi pensiunan profesor yang menjelang ajal, jika kontrak hidup sudah menjemput, semua koleksi bukunya bisa dihibahkan (Bebek dan Buku: 239–240).
Diantara ketidaksamaan yang hadir dari kedua budaya negara yang berbeda, Kang Bondet mengungkapkan beberapa persamaan. Persamaan kehidupan sosial masyarakat Swiss tercatat ketika awal ia beradaptasi dengan tetangga di sana. Adapun penggalan salah satu cerita yang dikisahkan oleh Kang Bodet sebagai berikut.
Barter: Sebaliknya, Frau Hurlimann juga seperti orang desa di tempat kita. Dia menukar bawaanku dengan telur. Intinya dia tidak mau hanya menerima, tapi harus saling menukar atau barterlah.
Memilih untuk bersikap bijak. Kalimat ini sekiranya cocok ditujukan teruntuk Kang Bondet. mengapa demikian? Karena penulis dalam menceritakan kisahnya banyak memberikan semacam komentar terkait hal ini dan itu. Namun, penulis tidak menekankan pembelaan tertentu pada satu pihak, dalam arti kedua budaya yang berbeda. Penilaian untuk semua ceritanya diserahkan kepada pembaca. Multi perspektif dibiarkan lahir pada setiap pembaca setelah menerima pesan dari dalam cerita.
Keseluruhan catatan yang terkumpul dalam satu kesatuan buku ini terkemas dengan apik. Terutama pada bahasa yang digunakan. Bahasa yang digunakan terasa ringan. Namun berisi dan mudah dipahami. Dikatakan demikian karena bahasa yang terpakai cenderung biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari. Hal ini menjadi kelebihan tersendiri, menarik pembaca untuk terus menelusuri cerita selanjutnya.
Buku ini ditulis dengan renyah sehingga mudah cerna. Orang tidak perlu memahami teori mendalam untuk memahami cerita Kang Bondet, kecuali jika ingin mendalami beberapa konflik yang ada. Cerita ini mengalir begitu saja dan pada saatnya akan mengundang kegelian tersendiri ketika membacanya. Kegelian ditimbulkan oleh penulis untuk menunjukkan kejenakaan dalam ceritanya. Pada sisi ini orang menjadi terhibur dan lagi-lagi ketagihan untuk membaca keseluruhan cerita.
Hal lain yang terdapat dalam buku Kang Bondet yakni disertakannya beberapa gambar pendukung. Gambar pendukung yang dimaksud berupa foto maupun gambar animasi terkait dengan cerita. Baik dari kulit maupun isi buku, keberadaan gambar pendukung menjadikan buku ini menjadi lebih segar dan berwarna.