
Judul: Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia Modern ̶ Fotobiografi Kartoyono Ryadi
Penulis: Atok Sugiarto
Penerbit: Buku Kompas
Tebal: xxxiv+214 hal
ISBN: 978–979-709–597‑0
Jakob Oetomo mengantar pembaca dengan “Pakailah Otak dan Hati”, yang tak lain merupakan ulasan Atok kepada Kartono Ryadi ̶ akrab dengan KR. KR adalah wartawan-fotografer yang piawai secara teknik dan eksekusi pemotretan. Foto-fotonya disinyalir enak dilihat dan sarat akan pesan, sebab ia mengolahnya dengan kepekaan hati dan keterampilan otak. KR sebagai wartawan Kompas benar mempraktikkan sikap dan cara kerja yang bebas dan independen. Ia juga mempraktikkan dan menghayati cara kerja ideal seorang wartawan. Tak cukup sebagai wartawan yang melaporkan, ia sekaligus menafsirkan. Bagaimana membuat foto itu bisa lebih bicara disbanding dengan tulisan. Maka tidak berlebihan jika disebutkan ” padahal berbeda dengan wartawan tulis, hadir terlambat masih bisa diperoleh bahan, wartawan foto terlambat berarti kehilangan momentum.”
Mengiyakan Sidhunata, bahwa “hidup wartawan bukanlah di kantor, tapi di jalanan.” Lagi-lagi ini tentang momentum, sebab fakta dalam berita tidak mungkin direkayasa. Wartawan foto harus turun di lapangan dan menjepret fakta apa adanya. Ini menyangkut baik buruknya foto, yang tergantung pada tuntas tidaknya kehadiran fotografer di tempat reportase. Disiplin KR mengajarkan untuk jujur terhadap fakta sebagai moralitas seorang jurnalis. Dari hal inilah kemudian Sidhunata mengambil simpulan “wartawan pada awalnya pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan otak.” Lantas mengarah pada mata KR yang tajam, berhati, dan tetap mengemban visi kemanusiaan. Tajam menjepret fakta lewat makna, berhati sebab visualitas yang berkesan. Juga mengandung visi kemanusiaan lantaran menyentuhkan dimensi-dimensi rasa kemanusiaan, entah tawa atau air mata, maupun hal lainnya.
Narasi Sidhunata yang menarik adalah kedatangan pembaca berita ke kantor redaksi kompas untuk memberi sumbangan ̶ diperuntukkan kepada orang-orang miskin yang dipotret dan dimuat dalam koran. Kemudian bersama Sindhunata, KR mengantarkan sumbangan kepada mereka. Alhasil kebahagiaan tak terduga membersamai orang-orang miskin tersebut. Demikian Sindhunata pada akhirnya merekam perjalanan kewartawanannya bersama KR.
Lepas dari narasi pengantar, Atok Sugiarto membagi kisah KR dalam berbagai bab. Pertama, “Bermula dari Kota Batik” yang berkisah tentang perjalanan hidup KR dari kota lahirnya. Kedua, “Tripod bagi Sebuah Kamera”, syahdan KR menemukan pendamping hidupnya, Lily Kristianto Sutiono. Ketiga, “Kompas Tempat Mengekspresikan Buah Pikiran”, KR pada bagian ini dipaparkan sebagai wartawan yang ulet. Bagaimana tidak, dalam pengolahan berita foto tidak cukup pada proses jepretan angle yang pas saja. Sebab sebuah foto yang gagal sudah tidak dapat dipoles atau ditambah-tambahi. Itu pulalah ada ungkapan bahwa mahkota foto adalah kejujuran. Nyawa sebuah foto sudah ditentukan pada saat pemotret berada di tempat, maka dapat disimpulkan bahwa wartawan foto yang baik adalah selalu berada di tempat kejadian. Dari sebab ini seharusnya sudah dapat disimpulkan bahwa adalah hal keliru jika wartawan foto dikatakan sekadar pelengkap wartawan tulis dan bekerjanya hanya mengiringi peliputan wartawan tulis. Keempat, “Ribuan Sahabat, Tak Satupun Musuh”, narasi ini berisi bagaimana tanggapan orang-orang sekitar KR terhadap peringainya sebagai wartawan foto. Kelima, ” Damai dalam Rumah Tangga, Sukses dalam Karya”, profesional yang mencintai keluarga, begitulah KR. Sosok KR yang berdamai dengan keluarga dan pekerjaannya. Alhasil karya-karya fotografinya pun seolah mampu berbicara mengenai cerminan dirinya. Pun pada bab ini juga diulas berbagai karya foto KR yang memprioritaskan segi humanitas.
Kiat sukses KR menjadi penutup dari fotobiografi ini. KR adalah teladan yang jujur, berani, pantang menyerah, sabar, dan rendah hati. Begitulah almarhum KR diceritakan Atok Sugiarto lewat kata-kata dan foto yang bicara.[]