Judul: Jejak Air (Biografi Politik Nani Zulminarni)
Penulis: Putut EA
Penerbit: INSISTPREES
Cetakan: April 2007
Tebal: vii + 199 halaman, 13 x 19
Salah satu buku Puthut EA yang berjudul Jejak Air (politik Nani Zulminarni) merupakan buku yang lumayan menegangkan jika dibaca. Selain tulisan Puthut di buku itu penuh dengan isu politik juga karena sebagian besar berisi kritik pada masa orde baru (orba). Saya kira tulisan Puthut itu lebih sering bersifat satir dan humor. Ternyata tidak, pandangan saya berubah setelah membaca buku biografi ini.
Nani Zulminarni atau sering di panggil Nani tokoh utama di buku ini. Nani lahir di Ketapang, kota sebelah Selatan Pontianak, pada tanggal 10 September 1962. Nani seorang anak yang pintar dari Ahmad Hidjazi dan Zuhairah. Nani anak ke tiga dari tiga saudaranya: yaitu, Rita nomor 2 dan anak pertama telah meninggal.
Nani seorang aktivis yang mana berbagai macam organisasi telah diikutinya. Setidaknya dua paling besar. Yaitu, Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSW) dan Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Ia juga pernah menjabat sebagai ketua Badan Pengurus Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASSPUK) yang berskala nasional. Ada juga yang berskala internasional yaitu sebagai anggota dewan eksekutif Asian South Pasific Bureaufor Adult Education (ASPBAE) dan masih banyak lagi. Nani juga sudah melancong setidaknya ke empat puluh negara.
Saya rasa Nani salah satu orang yang menarik dan memang harus ditulis biografinya. Melihat dari kesungguhannya dalam berorganisasi dan pengalamannya yang begitu banyak. Entah karena itu atau kemungkinan lain maka dituliskan pula oleh Puthut. Namun saya tidak akann mengulas Nani terlalu dalam sebab saya akan melihat sisi lain dari buku ini. Yaitu masa-masa orde baru yang secara jelas terekam oleh jejak kehidupan Nani dari biografi buku ini.
Cetak biru orde baru
Begitu jelas cetak biru orde baru yang dituliskan oleh Puthut. Baginya dimasa-masa itu kekuatan politik begitu besar. Lebih tepatnya tahun 70an. Sebuah orde yang dipimpin oleh tangan tentara, terutama Angkatan Darat. Sampai-sampai semangat ketentaraannya dapat menjadi percontohan di segala bidang. Seperti keputusan-keputusan ekonomi, politik bahkan impian dan imajinasi terletak di tangan mereka. Sekali lagi, sentral itu semua terlihat di Jakarta tak ada yang lain.
Nani tokoh utama dalam tulisannya Puthut, menjadi saksi bisu di zaman presiden kedua yang otoritarian. Nani teralienasi dari dirinya sendiri tanpa ia sadari. Karena Nani beranggapan Jawa adalah pusat dari Indonesia sehingga iapun bergerak untuk bersekolah di Jawa, terutama Jakarta. Selain itu, Nani sangat ingin ketemu Soeharto. Baginya presiden kedua itu adalah segala-galanya (hlm 23).
Di atas merupakan contoh hegemoni yang diciptakan oleh orde baru. Sewaktu Nani masih remaja, banyak remaja lainnya seperti halnya Nani, ingin bertemu dengan Soeharto. Mereka berlomba-lomba untuk berlabuh di Jawa atau lebih tepatnya Jakarta. Bagi mereka yang berada di luar Jawa, seseorang yang sudah pergi ke Jawa menurut mereka adalah orang keren. Inilah tata krama yang secara tidak langsung merawat pikiran para remaja saat itu. Orde baru memberikan imajinasi kepada mereka tentang Jawa sebagai sentral Indonesia.
Para remaja telah terbius dengan kedigdayaan orde baru saat itu. Seperti contohnya kegiatan pramuka di sekolah. Seharusnya pramuka mempelajari ketrampilan dan kekreativitasan semangat hidup sebagaimana kepanduan dunia umumnya. Namun telah terjadi pembiasan menjadi semangat ketentaraan dengan emblem, bendera regu dan pangkat yang telah menyisihkan subtansi ketrampilan semangat hidup. Selain pramuka, remaja saat itu bermimpi sebagai anggota paskibraka dan pelajar teladan (hlm 21). Beragamnya kegiatan ekstra yang dipadu menjadi tiga jenis kegiatan itu membuat setiap remaja berlomba-lomba masuk dalam salah satunya.
Tidak terkecuali Nani yang saat itu juga pernah mengikuti pelajar teladan di tingkat nasional. Artinya Nani juga menjadi tolak ukur remaja teladan di daerah Kalimantan saat itu. Akan tetapi ketika Nani sudah bersaing di Jakarta, hasilnya nihil Nani hanya peringkat 13 dari 27 peserta.
Secara jelas disinilah pemerataan pendidikan di era orde baru tidak begitu merata. Sebab pembimbing dan guru berkualitas saat itu tersentral di daerah Jawa tidak sampai ke daerah yang lain. Seperti guru Fisika di Jawa saat itu sangatlah banyak, sedangkan di sekolahan Nani tidak ada sama sekali. Begitu menyimpang agenda pelajar tauladan yang diadadakan era orde baru saat itu. Sehingga modal saing dari siswanya tidak sama.
Orde baru telah mendaku diri dengan jargon pembangunan saat itu. Jargon ini pula yang kemudian membuatnya memunculkan idenya yaitu menguasai teknologi tinggi. Di bidang pendidikan konsep pembangunan ini menorehkan kecacatan. Sebab pemahaman pembangunan hanyak akan mengedepankan pada ilmu eksak. Maka, ilmu yang bukan eksata seperti ilmu-ilmu sosial akan tergilas dan dianggap tidak mumpuni dalam pemahaman pembangunanisme saat itu. Inilah politik yang menuai kebobrokan di kala itu. Kebobrokan pada rezim orde baru begitu penting untuk dipahami dan dimengerti saat ini.
Refleksi buku
Rekaman-rekaman dalam tulisan Puthut di buku ini patut diapresiasi. Kehadiran buku ini dapat menjadikan masa sekarang dan masa yang akan datang tidak melupakan politik orde baru. Disinilah buku ini sangat berarti bagi khalayak umum. Serta mengetahui keganjilan politik yang dilakukan orde baru saat itu.
Membaca buku ini juga akan mengerti sedikit tentang politik zaman itu. Seperti membaca buku sejarah, tapi ada yang beda dalam memahaminya karena Putut meramunya dengan sudut pandang politik. Inilah yang menjadikannya berbeda. Tertarik dengan jalan kehidupan Nani? Ada baiknya ada baca lengkapnya. []
santai, tenang dan tak perlu seduh sedan terhadap realitas semu.
sekarang mahasiswa aktif di jurusan Tasawuf Psikoterapi, sekaligus crew di LPM Dimensi.