
Judul buku : Muslimah Yang Diperdebatkan
Pengarang : Kalis Mardiasih
Penerbit : Buku Mojok
Tahun terbit : 2019
Harga buku : Rp. 78.000,00
“Buku ini hanya berupaya memberikan dukungan kepada suara perempuan yang sering kali gagal didengar sebab hukum halal-haram selalu dijatuhkan lebih awal dibanding aspirasi dan pengalaman perempuan.”
Tulisan-tulisan Kalis dihimpun dalam sebuah buku fenomenal yang berjudul, Muslimah yang Diperdebatkan tahun 2019. Kumpulan tulisannya lahir dari isu mutakhir dan dari berbagai narasi keislaman yang membicarakan perempuan terlihat amat menakutkan. Gaya tulisannya bernada sinis, tegas, dan tajam. Namun, diksi yang cukup mudah akan mendorong pembaca membuat perenungan dan sudut pandang pemikiran tentang apa yang menyoal perempuan. Di kalam pembuka Kalis telah mengakuinya sebagai, “narasi kontra yang sering kali bernada sinis tehadap semuanya.”
Suara Kalis hadir sebagai bentuk ketidakterimaan pada tren hijrah ala seleb, hijab syar’i dan non syar’i, pakem halal haram hijab, seminar pranikah, sampai hal-hal yang lebih serius berkaitan dengan perempuan. Tulisan dalam isi buku ini memberi kesan bahwa Kalis begitu kesal dengan siar-siar agamis yang selalu digaungkan terhadap perempuan. Bahwa perempuan yang baik dan diidamkan harus menuruti nasihat dan perintah yang seolah terkesan mengekang.
“Perempuan, kemudian menjadi sosok yang paling menentukan dalam kontestasi ini. Perempuan yang terlalu terpapar dengan nilai-nilai keterbukaan dunia modern tentu menjadi potret yang penuh dosa. Sebaliknya, perempuan yang tertutup, tidak banyak bersinggungan dengan dunia luar yang sering kali dibalut dengan kalimat “mampu menjaga kehormatan dirinya” adalah perempuan yang diharapkan oleh kelompok Islam eksklusif ini.”
Berdakwah pada umumnya dimaknai dengan mengajak manusia khususnya muslim untuk berbuat kebaikan, melaksanakan syariat yang telah ditentukan dan menyesuaikan kepada siapa dan kepentingan yang mau diajak. Saat ini, istilah hijrah menjadi fenomenal, contohnya disusul dengan penjual yang menjual perabot tubuh yang diembel-embeli dengan kata syar’i, beberapa artis yang baru saja berhijab dibilang hijrah. Hal ini dapat kita anggap sebagai keberhasilan para pendakwah yang dari awal menggunakan kekuatan internet dan media sosial sebagai syarat dakwah. Unggahan yang bertuliskan ajakan untuk hijab dan hijrah menjamur di kanal-kanal Youtube, video pendek di media sosial, Instagram, dan website Islami.
Di berbagai kanal media banyak ustaz berdakwah menyerukan orang-orang muslim untuk berhijrah khususnya para pemuda. Seperti kita ketahui, Ustaz Hannan Attaki yang menggunakan media sosial untuk media dakwah begitu digandrungi anak muda karena berdakwah dengan berpenampilan gaul; memakai baju ala anak distro dan kupluk dengan seruan dakwahnya yang tertuju pada generasi anak muda untuk mengajak hijrah ke jalan yang benar. Ustaz ini membahas topik-topik anak muda usia labil macam “jomblo fii sabilillah, friendship, baper, kangen, sampai tulus dan modus. Ustaz ini juga mendirikan Gerakan Pemuda Hijrah. Gerakan Pemuda Hijrah begitu fenomenal di sosial media seperti Instagram, Facebook, Twitter, dan Youtube sebagai media dakwah. Lewat cara dakwah yang populer di media sosial membuat anak-anak muda terpikat dan menjadi bagian dari komunitas hijrah.
Selain dakwah, semangat keinginan banyak yang ingin dilakukan seperti menerapkan hidup Islami dengan membangun perumahan, mendirikan Negara Islam, Sekolah, bahkan bisnis daycare Islami. Sering pula, entah disadari atau tidak kita pernah dan sering mendengar narasi berita bahwa umat Islam sedang dizalimi oleh Komunis, Amerika, juga konspirasi. Tidak hanya itu, dari pemahaman agama yang eksklusif ini menimbulkan konsekuensi yang cenderung mengurung perempuan dengan mendefinisikan perempuan salihah adalah ia yang rela dipoligami, tidak keluar rumah, patuh kepada suami, dan berbagai sikap lainnya yang dipercaya sebagai jalan menuju surga.
Dalam esai pertama yang berjudul, Curhat untuk Grilband Syar’i yang dimuat di mojok.co pada Desember 2015 yang menceritakan pengalaman Kalis dalam berjilbab. Secara tersirat kita bisa menyaksikan pada bagian ini bahwa bagaimana kelompok Islam eksklusif bisa merambah di dunia pendidikan, seperti perguruan tinggi. Karena itu terdapat perbedaan antara hijab syar’i dan non syar’i. Beberapa orang meyakini ketika muslimah mengenakan jilbab syar’i menurut keyakinan dirinya, ia sudah benar dan menuruti syariat tetapi orang lain yang memandang beranggapan, jilbab syar’i dibilang Islam garis keras. Hal ini juga ditandai dengan maraknya fenomena hijrah, kelompok mahasiswa berkenakan hijab, kajian liqo’, dan berbagai acara seminar Islami dengan tema-tema tertentu seperti menjadi perempuan berkarir surga dan poligami.
“Hak bagi siapa saja perempuan untuk mengenakan jilbab, baik itu politikus maupun bukan, harus bebas dari muatan nilai. Ada baiknya jilbab dipandang dalam bentuknya yang paling fungsional sebagai pakaian kesopanan.”
Di esai kedua, Kalis menulis Laporan European Network Against Racism pada Agustus 2016 melaporkan bahwa lebih dari 50% perempuan yang mengenakan jilbab kehilangan kesempatan untuk berkipirah di ruang publik karena alasan diskriminasi keagamaan. Hal ini sangat miris dan remeh. Padahal jilbab di kepala perempuan tidak memiliki kuasa apapun. Bahwa jilbab hanya sesuatu yang menunjukkan identitas sebagai muslimah. Sedangkan di esai ketiga, Kalis menampakkan kesinisannya pada optimisme sebuah jilbab merek ZOYA merilis produk jilbab halal bersertifikat MUI dan tak lupa memasang reklame iklan raksasa di kota-kota besar dengan tagline “Yakin Hijab yang kita gunakan Halal?”. Dan reklame semacam itu jelas-jelas mengecewakan “jilbab Paris sepuluh ribuan.” Karena itu, Kalis sangat sanksi dari berbagai bisnis muslimah yang diiklankan Ustaz seleb dadakan yang dengan angkuh menggemborkan pakem bahwa cantik itu dengan berjilbab. Adapun beberapa kasus hujatan juga menimpa Rina Nose yang dihujat warganet karena melepas jilbab. Seruan Kalis turut bersimpati dengan sekeras-kerasnya menyerukan judul esainya, Jilbabku Bukan Simbol Kesalihan.
Diskriminasi yang menimpa perempuan kerap sekali terjadi di lingkungan sekitar kita, utamanya di kendaraan umum. Seperti Jihan salah seorang teman pesantren yang pernah mengalami pelecehan seksual di kereta api ketika akan pulang menuju rumah. Kabarnya dalam perjalanan ia merasa risih ketika seorang kaki laki-laki yang duduk di depannya berusaha menyentuh kaki Jihan berulang kali. Merasakan sesuatu yang aneh terjadi Jihan hanya berusaha menghindar agar kaki si Bapak tidak lagi menyentuh kakinya.
Di tahun 2019 Hijrah Fest menjadi gerbang “hijrah”, istilah populer menyebut orang ingin kembali mempelajari Islam dengan serius. Acara ini didirikan oleh para selebritis dan Ustaz media sosial, diantaranya Teuku Wisnu, Arie Untung, Dimas Seto, Felix Siaw, Hannan Attaki, dan banyak lagi. Acara hijrah seperti ini begitu populer sehingga membuat sebuah tren seperti gaya hidup dan usaha syariah yang menghasilkan penghasilan cukup memuaskan dan tentunya gaya hidup kapitalis. Karena banyak pengusaha hijrah telah meyakini bisnisnya sebagai jalan dakwah. Ariani Rudjito, pendiri aplikasi ponsel Muslimnesia, aplikasi yang di dalamnya berisi jadwal kajian dan referensi restoran halal. Sejauh ini, bisnisnya berhasil meningkat seiring perkembangan kelas menengah muslim di tanah air dan telah direspons positif oleh publik. Jika kita lihat, dibalik semangat hijrah yang kuat mereka juga menjadi pelaku usaha bisnis. Meskipun mereka meyakini bisnisnya sebagai jalan dakwah, tetapi ada maksud lain yang ditujukan yakni kapitalisasi yang menjadi keberhasilan bagi pelaku usaha hijrah.
“Mengapa perempuan selalu salah? Mengapa ia tak boleh bicara? Mengapa perempuan harus menjadi pihak yang paling ikhlas, paling sabar, dan paling tak boleh melawan?”
Orang tua pasti menegaskan anjuran untuk melarang anaknya berbuat negatif. Sebab, jika pergaulan anak dianggap melampaui batas maka orang tua yang dianggap telah gagal dalam menjaga dan merawatnya. Terutama anjuran menutup aurat untuk anak terlihat sangat ketat. Sebab jika anak tidak diajari menutup aurat sejak kecil, ia tidak dapat melindungi diri bahkan melakukan seks bebas dan hamil. Mereka juga tidak segan menambahkan keterangan, Islam punya instrument aturan berjilbab untuk menjaga kehormatan perempuan dan melindungi diri dari kejahatan seksual. Selain itu, kultur Indonesia masih menempatkan perempuan sebagai warga kelas kedua.
Dan mempercepat perkawinan gadis sering kali menjadi solusi untuk berbagai alasan ekonomi, anggapan pendidikan tidak penting, sosial, dan stigma negatif terhadap perawan tua nantinya. Padahal perempuan saat ini dituntut dan harus terbiasa mengambil peran di ruang publik dalam berbagai profesi khususnya muslimah dan tetap melaksanakan peran sebagai istri dan ibu tanpa harus mendebatkan mana yang lebih baik antara ruang publik dan domestik. Tercatat di Indonesia banyak perempuan pada masa kolonial melahirkan banyak pahlawan perempuan. Perempuan-perempuan tangguh berada gi garis terdepan dalam mengembangkan peran pada lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, bisnis, hingga lembaga berita pada alam merdekanya saat ini.
Pada isu keragaman, kita temui esai berjudul “Islam di mata Orang Asing”. Di dalamnya menarasikan ketika Kalis mengikuti program (pertemuan) bersifat ragawi bernama EYES for Embracing Diversity bersama Japan Foundation Di Jakarta yang mendatangkan peserta non muslim dari beberapa Negara, yakni Jepang, India, Filipina, Thailand, dan Peru. Di situ, Kalis merasa diuji oleh pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang asing yang ingin tahu tentang Islam, dari persoalan ibadah sampai peci. Justru di acara seperti ini, diantara orang asing, Kalis lebih sadar menjadi berbeda di tengah yang beragam. Berada di antara manusia yang berbeda, pengajaran keragaman lebih terasa efeknya. Perasaan Kalis sangat berbeda ketika menghadapi orang berbeda agama yang ingin tahu dan belajar tetapi tidak sok tahu dengan menghadapi orang yang sama-sama Islam, tapi sok tahu dan gemar mengingatkan dengan hujatan.
Berbagai isu dalam buku ini tidak mengesampingkan aspek hukum Islam atas apa saja yang telah dibicarakan. Buku ini mengajak kita untuk membuat sudut pandang baru sekaligus terbuka untuk memikirkan hal yang lebih substansif, yakni menjamin kesetaraan bagi perempuan dalam kehidupan, tidak membatasi ruang dan peran publik dalam berbagai profesi, memberi perhatian kepada kalangan yang terpinggirkan, baik karena budaya, perubahan tatanan sosial dan ekonomi, dan supaya memikirkan kembali tafsir keagamaan yang melekat oleh kalangan tertentu yang tidak selaras dengan keadilan, keberagaman, dan keperempuanan.
Penulis: Ni’am K. Asna
Editor: N. K. Fahmi
“Orang bodoh tak kunjung pandai.”