Namaku Apti Burma! Lahir di sebidang tanah dunia! Aku melangkah di tanah basah. Basah oleh uang, bahan bakar kaum kapitalis kata ibuku. Udara pengap menyelimuti pagi sampai malam.
Usai bel pulang melengking di sekolah dasar tempatku mencoba pintar, beberapa orang dewasa datang. Mereka berjalan di jalan yang lengang itu. Jaket kulit hitam mengelilingi pria berjas. Aku berdiri di depan gerbang sekolah yang sudah sepi.
Mereka hanya lewat. Tak melirik. Kenapa orang dewasa begitu angkuh kepada anak-anak sepertiku? Tanyaku sebal. Punggung kekar mereka menjauh. Jalan yang dilaluinya menjadi merah dan waktu berhenti.
“Ayo pulang.” Sentak temanku membuyarkan imaji.
“Naik apa?”
“Nunggu becak.”
“Kau tau yang kulakukan dari tadi?”
“Kau melamun.”
“Nunggu becak.” Aku sebal dengannya.
Cerita sehabis sekolah memang mudah dilupakan. Ingatan harus dipicu kuat-kuat agar keindahan yang menyebalkan ini terpanggil kembali. Becak datang. Kami naik berdua. Tukang becak terlihat capai menyusuri jalan pengap dengan kami berdua menjadi bebannya.
Sampai rumah aku cium tangan ibu. Berjalan ke dalam masuk kamar dan istirahat dengan seragam masih melekat di tubuh bersama keringat. Sore aku bangun oleh rayuan merdu ibu. Mengingatkan mandi dan makan. Segera kamar mandi menjadi destinasi pertama, suhu pengap memaksaku mencari air segar.
Setelah segar meraba. Aku memakai terusan kuning dengan renda di dada. Berjalan menuju meja makan. Astaga, semua sajian masak digoreng, sampai terongpun digoreng.
“Gorengan semua, bu?”
“Minyak banyak di tanah kita.” Ucapnya santai.
Aku tak tau maksud ibu. Segera makan sajian itu. Belum sempat habis juga makanan di piring, teriakkan orang di luar membuatku bangkit. Ibu sudah berlari duluan. Aku pegangi baju ibu. Sembuyi di belakangnya. Di jalan tentara datang dan memukuli laki-laki, perempuan, dan anak kecil. Ibu cepat-cepat menggendong aku ke dalam. Mengunci pintu dan jendela. “Diam disitu.” Perintahnya saat mendudukkan di kursi. Ia sendiri mengintip dari serambu jendela. Dapat kutau ia ketakutan.
Terfikir olehku teman sekolah. Apalah ia sama ketakutan denganku? Dia orang yang riang. Tak mirip denganku, pastilah dia tak meringkuk ketakutan di kursi seperti ini.
Malam menjadi mencekam. Apa pantas anak-anak sepertiku berada dalam keadaan ini? Ibu tidak tidur semalaman. Aku tau. Aku tetap di kursi mengamati sikap ibu yang kawatir. Apa yang terjadi? Paginya ibu memintaku tidak keluar rumah yang artinya tidak sekolah, tidak bertemu teman yang menyebalkan itu. Tidak sekolah harusnya menjadi hal menyenangkan, sebab bisa menonton televisi dengan nyaman. Aneh, aku rindu dengannya. Padahal baru kemarin ia di atas becak bersamaku. Di keadaan ini ibu tetap melakukan sembahyang dluha seperti buasa.
**
Hari ini makin siang. Jalan-jalan makin ramai dengan orang-orang yang tak kukenal. Para tetangga berlarian dengan sarung berisi pakaian. Seolah mereka lari dari bencana. Sedangkan disini, aku dan ibu hanya membaca keadaan dengan ketakutan.
Beberapa hari berjalan ringkik. Sakit hari disini. Aku melihat teman-teman yang biasanya bermain lompat tali bersamaku ikut dengan rombongan yang lari itu. Wajahnya sama denganku, tak mengerti apa yang terjadi. Ibu mencoba menenangkanku. Menenangkan dirinya juga. “Segera semua kembali seperti biasa.” Hal ini pernah dibicarakan tetangga saat mereka berkumpul. Mengajak segera pergi.
Rumah ini milikku. Milik ibu. Banyak ingatan yang mengakar sejak aku kecil. Saat orang tuaku merayakan ulang tahunku, ulang tahun pernikahan mereka, sampai saat bapak mati di ranjang. Bapak orang baik. Ia terlalu keras bekerja sampai sakit, aku percaya itu. Senyum bapak terpajang di tembok depan televisi. Ini rumah kami, tiap sudut kupandangi dan muncul ingatan yang haru. Mau pindah kemana?
Ibu setuju denganku. Tak bakal pindah dari istana ingatan kami. Malam itu kami berjalan keluar, melihat rumah-rumah sudah sepi. Ibu melempar pandang ke arahku. Seakan memberitahu agar tak kawatir, kau sendiri kawatir, ibu.
Di ujung jalan banyak orang berkumpul! Mereka berteriak-teriak! Semakin dekat dengan kami. Aku dan ibu berlari ke rumah, tanganku dipegangi erat. Kakiku yang mungil tak bisa mengikuti langkah besarnya. Ibu gendong aku. Masuk rumah dan mengunci semua pintu dan ventilasi.
Ibu lelah beberapa hari tak tidur. Di malam yang syahdu itu kulihat air muka ibu yang pucat. Ia tidur di kursi. Kubuat tangan ibu sebagai bantal. Tidurlah kami di malam ini.
Pagi buta kami dibangunkan kobaran api! Ini bukan hal baik. Ibu panik bukan kepalang. Aku terpaku melihat api itu memakan kenangan kami. Ibu berlari ke belakang, mendatangi kobaran itu! Tak mampu. Ia kembali ke arahku. Merangkul kemudian menggendong pergi dari rumah. Sederet rumah dimakan api. Dan di ujung sana orang-orang semalam masih ada. Ibu dan beberapa tetangga berlari dengan aku digendongnya ke arah yang lain.
**
Sudah habis tenaga berlari. Kami berjalan. Sudah sangat jauh pula kami dari istana kenangan. Berkumpul bersama selusin orang yang sama-sama takut. Dimana pemerintah yang melindungi seperti yang diterangkan di sekolah?
Kami seperti hewan buruan yang harus dipenggal. Rumah kami, bayangkan itu. Dibakar! Itu rumah, bukan sarang penyakit kelamin! Kami duduk. Kelelahan. Beberapa perempuan dan laki-laki mulai menangis. Anak-anak juga menangis. Kami semua menangis. Meraung memenuhi alam dengan kesedihan.
Berhari-hari kami berjalan. Menyusuri sawah dan hutan. Ibu mulai sakit-sakitan. Jelas kami kelaparan. Tak ada sekepal nasipun yang sempat ibu bawa. Ia hanya membawa hal berharga, itu adalah aku. Aku berharga bagi ibu. Tidak bagi mereka yang membakar rumah ibu.
Beruntungnya orang-orang disini baik. Setidak-tidaknya memandang kami sebagai manusia. Diberinya sedikit nasi tapi rata.
Aku berjalan di depan dengan bocah yang sama sepertiku. Teringat teman sekolah, dimana sekarang ia berada? Kemana tujuan perjalanan ini? Aku hanya ingin main lompat tali seperti biasa. []
Meyakini berasal dari trah dewa. Lahir dari rahim bidadari yang susah payah menyamar sebagai manusia biasa.