Banyak truk lalu lalang pada hari itu, mem­bawa banyak tapol di atas­nya menu­ju tahanan. Tidak banyak dari mere­ka yang menge­tahui kesala­han apa yang telah diper­bu­at­nya. Mere­ka hanya bisa men­duga mungkin telah ter­ja­di sesu­atu di Jakarta.

Di sebuah rumah sak­it bersalin di kota Solo, seo­rang perem­puan sedang menyusui anaknya, baru dua hari yang lalu dia dilahirkan. Tiba-tiba lima ten­tara bersen­ja­ta masuk dan meny­eret perem­puan itu  dari atas ran­jangnya. Para ten­tara lalu melem­parkan sang ibu ke atas truk. Ia bert­e­ri­ak-teri­ak dan men­jer­it-jer­it mem­inta agar anaknya dap­at ia bawa bersamanya. Sial­nya, salah satu dari ten­tara itu men­jam­bak ram­but­nya dan memu­tar-mutar kepalanya den­gan kasar seba­gai jawa­ban  teriakannya.

Par­ti­ni nama ibu yang dis­eret oleh para ten­tara itu. Ia adalah salah satu perem­puan yang men­ja­di kor­ban trage­di ’65. Selain Par­ti­ni, masih banyak perem­puan lain yang men­ja­di kor­ban. Perem­puan-perem­puan itu dita­han tan­pa menge­tahui kesala­han­nya dan tan­pa per­nah sekali pun diadili.

Sela­ma bera­da di dalam tahanan mere­ka juga men­da­p­atkan kek­erasan men­tal, fisik dan sek­su­al. Perem­puan-perem­puan yang bera­da di tahanan itu disik­sa den­gan alat peng­han­tar listrik beru­pa kabel yang sal­ing menyam­bung. Kabel yang pada ujungnya dihubungkan den­gan gen­er­a­tor dan ujung lain­nya dihubungkan den­gan cincin-cincin tembaga.

Berdasarkan ceri­ta para kor­ban, cincin-cincin tem­ba­ga itu­lah yang digu­nakan untuk menyik­sa mere­ka. Den­gan cara dipasangkan pada bagian tubuh mere­ka yang pal­ing peka seper­ti, put­ing payu­dara, kli­toris, atau penis (jika pada laki-laki). Terkadang cicin tem­ba­ga itu juga dima­sukkan ke dalam vagi­na atau anus. Mary­ati, salah satu dari perem­puan kor­ban 65 menye­butkan, sik­saan yang pal­ing ringan cicin tem­ba­ga itu akan dipasangkan di jari-jari kaki atau jari-jari tangan.

Selain itu, perem­puan-perem­puan yang bera­da di dalam tahanan itu juga dipak­sa melayani ten­tara-ten­tara pen­ja­ga tem­pat mere­ka dita­han. Par­ti­ni dan Sudar­si mencer­i­takan ada isti­lah yang dise­but bon malam pada wak­tu itu. Keti­ka seo­rang tahanan men­da­p­at bon malam, artinya ia harus diam­bil dari tahanan untuk melayani ten­tara-ten­tara itu dan dikem­ba­likan ke tahanan keesokan harinya. Mere­ka diperkosa, bahkan ser­ing juga diperkosa beramai-ramai.

Lain lagi den­gan isti­lah bon malam yang bera­da di pen­jara Yogya. Di pen­jara Yogya isti­lah bon malam sama artinya den­gan diam­bil dari tahanan tan­pa per­nah kem­bali sela­manya. Keti­ka sese­o­rang men­da­p­at bon malam berar­ti ia akan dibunuh.

Hidup Sete­lah Bebas

Terpisah dari kelu­ar­ga, dipecat dari peker­jaan, diusir dari tem­pat ting­gal atau bahkan harus menyem­bun­yikan iden­ti­tas diri, itu lah sedik­it dari banyak kesuli­tan yang perem­puan-perem­puan itu ala­mi sete­lah mere­ka dibebaskan dari tahanan. Ham­pir semua dari kesepu­luh perem­puan itu men­co­ba menghi­langkan iden­ti­tas mere­ka, kare­na banyak sekali sen­ti­men yang muncul ter­hadap eks-tapol pada wak­tu itu. Apa­bi­la dike­tahui iden­ti­tas­nya seba­gai eks-tapol mere­ka akan diusir dari kam­pung atau desa tem­pat ting­gal mereka.

Dar­mi mengisahkan bagaimana kehidu­pan­nya sete­lah ia dibebaskan dari tahanan. Ia tidak hanya men­gala­mi pele­ce­han sek­su­al keti­ka ia bera­da di dalam pen­jara, ia juga masih men­gala­mi pele­ce­han sek­su­al keti­ka ia melak­sanakan wajib-lapor. Bahkan terkadang ten­tara-ten­tara itu juga men­datan­gi rumah­nya dan mem­intanya untuk melayani naf­su syah­wat mereka.

Mary­ati, sete­lah bebas juga men­gala­mi nasib yang sama den­gan Dar­mi. Rumah tang­ganya harus han­cur keti­ka suaminya menge­tahui bagaimana ia diper­lakukan di dalam tahanan. Semen­jak itu suaminya ser­ing men­caci-maki dan berbu­at kasar kepadanya. Sua­mi Mary­ati berpikir bah­wa ia telah berbu­at serong den­gan laki-laki lain. Mary­ati merasa tidak kuat den­gan per­lakuan suaminya sam­pai ia memu­tuskan kabur mening­galkan rumahnya.

Men­gubur Fakta

Tang­gal 1 Okto­ber 1965 TNI-AD telah menut­up semua kan­tor beri­ta (koran). Hanya dua koran yang boleh beredar, yaitu koran milik militer: Angkatan Bersen­ja­ta dan Beri­ta Yud­dha. Alasan pemer­in­tah menut­up kan­tor beri­ta pada saat itu adalah agar beri­ta men­ge­nai keja­di­an pada tang­gal 30 Sep­tem­ber 1965 hanya berasal dari satu sumber.

Pada tang­gal 11 Okto­ber 1965 har­i­an Beri­ta Yud­dha men­gelu­arkan beri­ta bohong ten­tang hasil autop­si jen­der­al-jen­der­al yang dibunuh di Lubang Buaya. Mere­ka menuliskan bah­wa “Mata mere­ka (7 Jen­der­al) telah dicungk­il, dan beber­a­pa alat kelamin beber­a­pa jen­der­al dipo­tong” (hlm. 16). Tuduhan men­cungk­il mata dan mem­o­tong alat kelamin para jen­der­al itu ditu­jukan kepa­da perem­puan-perem­puan eks anggota ger­wani. Selain itu mere­ka juga dituduh melakukan tari-tar­i­an ero­tis keti­ka mere­ka men­cungk­il mata dan mem­o­tong-motong alat kelamin jen­der­al-jen­der­al itu.

Dalam kata pen­gan­tar buku Suara Perem­puan Kor­ban Trage­di ’65 Sask­ia E. Wieringa menuliskan,

Seo­rang sukarelawan di Lubang Buaya bertu­tur pada saya bah­wa ia dipak­sa untuk menang­galkan semua paka­ian­nya, dan kemu­di­an menari-nari telan­jang di depan  para penyik­sanya, semen­tara mere­ka mengam­bil gam­barnya den­gan kam­era masing-masing”.

Yan­ti, anggota Pemu­da Raky­at yang seo­rang penari dia­jak men­ja­di sukarelawan di kam­pung Lubang Buaya, men­ja­di sak­si hidup kebe­naran trage­di pem­bunuhan Lubang Buaya. Yan­ti kemu­di­an dipak­sa men­gakui kesala­han yang tidak per­nah dilakukan­nya. Sebelum berte­mu den­gan wartawan, ten­tara-ten­tara yang pada saat itu ser­ing menyik­sa dan mem­perkosa Yan­ti “memer­in­tahkan agar saya men­jawab semua per­tanyaan para wartawan den­gan jawa­ban ‘ya’” (hlm. 79). Jika ia tidak mengiku­ti per­in­tah, mere­ka men­gan­cam akan menyik­sanya lebih kejam lagi.

Pen­gakuan dari para sak­si dan foto-foto hasil rekon­truk­si para ten­tara pada wak­tu itu men­ja­di kebe­naran satu-sat­un­ya yang dise­barkan di koran. Beri­ta-beri­ta bohong itu men­gak­i­batkan maha­siswa-maha­siswa dan ormas-ormas pada wak­tu itu melakukan unjuk rasa, “…berun­juk-rasa ditu­jukan kepa­da PKI dan Sukarno, ter­ma­suk ‘Ger­wani Tjabo’, ‘Gan­tung Ger­wani, dan ‘Gan­jang Ger­wani’” (hlm. 16). Bahkan ada seru­an dari seo­rang pemimpin ormas islam yang men­gatakan mem­bunuh anggota PKI adalah tugas wajib agama.

Akhirnya, buku Suara Perem­puan Kor­ban Trage­di ’65 men­ja­di kor­pus kebe­naran sejarah Indone­sia yang sebe­narnya. Buku ini sekali­gus dit­ulis dalam rang­ka menghen­tikan poli­tik pem­bisuan yang dilakukan oleh pelaku kek­erasan. Kisah-kisah dari sepu­luh perem­puan kor­ban trage­di ’65 mencer­i­takan awal trage­di sam­pai bagaimana kehidu­pan yang diala­mi oleh perem­puan-perem­puan eks tapol. Dalam pen­gan­tarnya, Nadia berharap buku ini dap­at “…meny­ingkap struk­tur keti­dakadi­lan kekuasaan dan poli­tik kek­erasan, yang menye­babkan jatuh­nya beribu-ribu kor­ban” (hlm. 32). Begitu. []

 

Data Buku

Judul buku            : Suara perem­puan kor­ban trage­di ‘65

Penulis                   : Ita F. Nadia

Pener­bit : Galang Press Yogyakarta

Cetakan ke           : III

Tahun ter­bit          : 2007

 

**Tulisan ini didedikasikan untuk peringatan Hari Perem­puan Internasional