Perayaan hari kemerdekaan Indonesia serasa sangat meriah dengan berbagai pertunjukan yang diselenggarakan masyarakat. Pun demikian saat perayaan tersebut dilakukan sebulan pasca upacara bendera 17 Agustus 2017. Antusias masyarakat masih luar biasa demi menyambut acara tersebut. Berbagai pertunjukan telah digelar setelah matahari berjalan ke ufuk barat. Ada yang menampilkan drum band, tarian, jogetan, sepeda hias dan kreatifitas lainnya. Manusia berbaju pocong dan tuyul pun ikut terlihat di sela-sela tarian. Bahkan kehadirannya telah membuat penonton geger ketakutan dikala mereka mendekat.
Warga Desa Bendiljati Kulon terlihat begitu kreatif dalam membuat seni pertunjukan. Ada yang memanfaatkan sapu sebagai hiasan sepeda, koran bekas dibentuk baju mewah, bulu ayam untuk hiasan, dll. Namun sayangnya banyak dijumpai para pemeran terlihat murung alias tidak mau senyum. Terutama yang peserta karnaval perempuan. Entah karena kelelahan ataupun mereka sudah tidak nyaman dengan situasinya.
Model-model yang didandani layaknya putri di negeri dongeng tentu lumayan menguras tenaga. Pagi hari mereka harus bersiap-siap dan sejak itu rasa kantuk maupun lelah harus ditahan. Belum lagi masalah sayap yang lebar dengan kerangka besi yang membuatnya merasa terbebani dan harus tetap berjalan hingga garis selesai. Bahkan ketika angin berhembus putri-putri tersebut tak berdaya untuk berjalan, karena angin telah membuat tubuhnya makin lemah ditambah kedua sayap yang tidak dapat dikendalikan.
Hal yang membuat miris adalah banyak dijumpai para bencong alias laki-laki yang berdandan selayaknya perempuan. Mereka membuat tubuhnya montok mulai dari pantat hingga payudara, menggunakan rok mini, week, stocking, baju ketat serta dandanan yang menor. Mungkin mereka hanya ingin membuat penonton terhibur, namun dibalik itu mereka telah menunjukkan betapa rendahnya perempuan selama ini. Perempuan yang sering mereka maknai adalah perempuan dengan baju seksi dengan wajah terpoles riasan serta tubuh putih. Itulah perempuan cantik yang membuat mata melek ketika melihatnya.
Tak ada bencong yang berdandan dengan menutup aurat ataupun berdandan yang menunjukkan bahwa perempuan itu pantas untuk bekerja. Misalnya saja perempuan yang memakai baju guru, dokter, maupun yang lainnya. Mereka berjalan melengkak-lengkok dengan high hill sambil menunjukkan rasa malu ketika teman prianya merayu. Betapa mirisnya jika perempuan di mata masyarakat hanya dianggap rendah.
Ada juga pertunjukkan anak-anak yang mengenakan seragam SD atau SMP. Namun sayangnya baju itu sudah dicoret-coret hingga warna dasarannya tertutup warna lain. Bukannya membawa buku atau peralatan sekolah. Mereka membawa motor dengan sikap yang tak patut di contoh. Hal tersebut bisa saja dicontoh anak kecil dan akhirnya ketika mereka sudah lulus akan melakukan hal urakan dengan mencoret-coret seragam sekolah serta mengendarai motor dengan kebut-kebutan.
Ada hal yang sangat mengesankan. Ada anak kecil yang usianya sekitar enam tahun dengan luka di tubuhnya. Tangannya dibalut kain kasa selayaknya mumi dengan memakai helm serta berimpus. Sementara ia hanya memakai celana hijau pendek, kaos dalam putih serta kepala yang tertutup helm. Hal yang mengesankan adalah ketika punggungnya ditempeli kertas dengan tulisan “ Korban akibat kelalaian orang tua” lalu di bawahnya ada emoticon sedih.
Tulisan tersebut berpesan bahwa ketika kita diberi amanat oleh Sang Pencipta berupa anak. Jangan sekali-kali kita lalai dalam mengawasinya, karena dengan kelalaian bisa menyebabkan anak menderita. Contohnya saja ketika anak bermain di jalan dan kita lalai mengawasinya, bisa saja ketika ada motor di jalan dan anak malah menyebrang lalu terjadi kecelakaan. Atau ketika anak sudah dewasa kita tidak memantaunya sehingga anak bergaul dengan teman yang sembarangan, misal suka minum-minuman keras. Itu akan membuat moral anak menjadi hancur.
Meskipun ada kemungkinan bahwa anak menjadi korban bukan karena kelalaian orang tua. Namun orang tua adalah pemasok utama hidup anak dalam menentukan arah. Setidaknya sebagai orang tua harus mengoptimalkan pengasuhan anak supaya segala sesuatu yang tidak diinginkan tidak akan terjadi. Bagaimana jadinya jika orang tua modern hanya mencukupi kebutuhan jasmani anak dan bukan rohani, pastinya anak yang akan menjadi korban. Ini memang zaman modern, zaman dimana Ibu dan Ayah bekerja keras untuk kebahagiaan keluarga dan akhirnya menyampingkan kebutuhan rohani anak.
Dalam perayaan tersebut terjadi insiden kecil yang telah membuat anak menjadi korban. Bisa saja itu dimaknai sebagai kelalaian orang tua atau bahkan memang itu adalah takdir. Suatu ketika ada rombongan pemuda dengan mengendarai sepeda beroda satu dan tinggi sekitar 3 m. Sepeda tersebut tergolong belum lengkap karena cuma ada satu tempat duduk, satu roda dan setir. Berbeda dengan sepeda yang sering dipakai di masarakat pada umumnya, karena memang sepeda itu hanya sebagai atraksi saja.
Tiba-tiba sepeda itu berhenti dengan bersandar di temannya, sementara di bawahnya ada penonton. Tiba-tiba ia terjatuh dan kakinya yang bersepatu itu mengenai kaki balita yang masih berumuran sekitar 2 tahun. Wajar saja anak itu langsung menangis kesakitan, sementara pemuda langsung kabur tanpa meminta maaf kepada si anak atau setidaknya kepada ibunya. Bukan malah ibu bayi khawatir dan cepat memberi pertolongan. Sang Ibu malah ngomel-ngomel dan menggendongnya. Lalu ada seseorang yang mengambil tas ibu dan kemudian mengeluarkan yakult. Si balita terus saja menangis dan Ibu terus saja memaksa balita tersebut untuk meminum yakult.
Perayaan sebagai ajang pertunjukanan dalam menampilkan sesuatu sebagai wujud kegembiraan dan banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Namun sang pemeran juga sebaiknya lebih berhati-hati dalam mempertunjukkan adegan. Bisa saja adegan ditiru oleh anak dan akhirnya terjadilah perilaku menyimpang. Namun, ada juga pertunjukan yang bermakna positif yang bermakna bahwa dalam kehidupan kita tidak boleh lengah terutama bagi yang sudah memiliki buah hati. Namun masih banyak pelajaran yang tak bisa diceritakan satu persatu. []