Judul buku      : The Heart of Man

Penulis : Erich Fromm

Pener­bit          : IRCiSoD

Kota ter­bit       : Yogyakar­ta, 2019

ISBN               : 978–623-7378–08‑2

Erich Fromm terke­nal seba­gai psikolog sosial. Tak her­an jika beber­a­pa karyanya terke­san huma­n­is, salah sat­un­ya The Heart of Man. Buku ini berisi ten­tang manu­sia den­gan kehen­daknya meng­hadapi kehidupan.

Dim­u­lai den­gan per­tanyaan singkat ten­tang, Manu­sia: seri­gala atau dom­ba?”. Pasal­nya, manu­sia tak ubah­nya dom­ba yang selalu menu­rut. Dom­ba yang yang mudah ter­pen­garuh dan per­caya begi­tu saja omon­gan orang, apala­gi orang ini memi­li­ki kuasa dan terke­san meyakinkan.

Manu­sia juga begi­tu luluh ter­hadap ujaran dog­ma­tis dan tun­duk pada atu­ran pemer­in­tah atau instan­si lain. Seo­lah-olah hanya mere­ka yang pal­ing benar. Sehing­ga, mudah saja untuk mengiku­ti arus, alih-alih mere­ka kri­tis terhadapnya.

Tapi tung­gu, manu­sia juga bisa dik­lasi­fikasikan ke dalam golon­gan seri­gala. Menu­rut Thomas Hobbes, manu­sia adalah seri­gala bagi sesamanya, “Homo homi­ni lupus”. Manu­sia tak ubah­nya seri­gala rakus dan tak kenal ampun demi memenuhi hasratnya.

Jadi, saya kira per­tanyaan itu tak per­lu dijawab. Baik dom­ba atau pun seri­gala, manu­sia pun­ya kehen­dak untuk memil­i­h­nya. Mere­ka bahkan bisa memil­ih untuk men­ja­di dom­ba, seri­gala, atau tetap men­ja­di manusia.

Naas­nya, pil­i­han itu akan semakin sulit jika berhada­pan den­gan sin­drom yang mem­bayan­gi manu­sia. Fromm mem­ba­gi sin­drom ini men­jad dua, yaitu sin­drom pelu­ruhan dan per­tum­buhan. Sim­drom pelu­ruhan ter­diri atas nekro­fil­ia, nar­sisme, dan ins­es­tis sim­bo­lis. Sedan­gkan sim­drom per­tum­buhan –lawan dari sim­drom pelu­ruhan– ter­diri atas biofil­is­tis, human­isme, dan independensi.

Nekro­fil­ia meru­pakan sebu­tan untuk isti­lah cin­ta ter­hadap kema­t­ian. Orang yang men­gala­mi nekro­fil­ia akan lebih akrab den­gan ben­da-ben­da mati, may­at, pem­busukan, bahkan kotoran. Mere­ka juga gemar berbicara ten­tang kema­t­ian, pemaka­man, dan penyakit.

Fromm menye­but bah­wa Carl Gus­tav Jung seo­rang psikolog, karib dari Sig­mund Freud, meru­pakan seo­rang nekro­fil­is. Sem­pat dalam suatu per­jalanan bersama den­gan Freud, ia asik mencer­i­takan may­at dalam pem­ban­ta­ian. Namun, nekro­fil­ia yang diidap oleh Jung ini malah ia jadikan seba­gai peneli­tian­nya, bukan kelemahannya.

Ada lagi Hitler, pimp­inan Nazi Jer­man ini gemar ter­hadap kema­t­ian lawan yang tak se-ras den­gan­nya. Ia bahkan sem­pat meman­dan­gi may­at den­gan tat­a­pan datarnya. Ia tak sekali pun menam­pakkan ekspre­si sedih atau menye­sal ter­hadap may­at yang telah ia bunuh. Ironis.

Di samp­ing itu, seo­rang nekro­fil­ia jus­tru men­ja­di sese­o­rang yang tert­ib, obsesif, dan penuh kendali. Mere­ka begi­tu ter­ob­sesi pada sesu­atu yang ter­struk­tur. Ham­pir tak ada sesu­atu pada diri nekro­fil­is yang tak sesuai dengannya.

Lawan dari nekro­fil­ia adalah biofil­is­tis atau cin­ta ter­hadap kehidu­pan. Mere­ka, para biofil­is­tis, gemar sekali melestarikan kehidu­pan dan memeran­gi kema­t­ian. Mere­ka tum­buh den­gan cin­ta dan menikmati kehidupan.

Lan­tas, apakah biofil­is­tis lebih baik dari nekro­fil­ia? Tak juga. Tujuan dari pem­be­daan ter­hadap ked­u­anya bukan untuk menen­tukan sia­pa yang ter­baik, melainkan menge­tahui kehen­dak manu­sia. Ya, tujuan akhirnya ialah kea­manan, kead­i­lan, dan kebebasan.

Nekro­fil­is murni adalah orang yang tidak waras. Biofil­is murni adalah orang suci.” – Fromm, h. 65.

Kemu­di­an, ada nar­sisme indi­vid­ual dan nar­sisme sosial. Saya kira ked­u­anya dap­at dike­nali den­gan mudah. Pasal­nya, nar­sisme indi­vid­ual men­ja­di keyak­i­nan ter­hadap diri bah­wa segala sesu­atu memang untuk dirinya sendiri. Nar­sisme bisa digo­longkan men­ja­di posi­tif, jika ia ter­lalu cin­ta ter­hadap dirinya sendiri, men­jadikan diri seba­gai pusat segala sesu­atu. Akan men­ja­di negatif, jika tak ada keper­cayaan ter­hadap diri sendiri atau cen­derung mere­mehkan diri.

Sedan­gkan, nar­sisme sosial atau kelom­pok men­ja­di kecin­taan ter­hadap kelom­poknya. Seba­gian besar dari mere­ka cen­derung mem­bang­gakan kelom­poknya dan mere­mehkan kelom­pok lain. Seo­lah-olah kelom­poknyalah yang ung­gul atas segala sesu­atu. Pula Fromm menye­but Bangsa Arya yang demikian.

Lawan dari nar­sisme ialah human­isme. Seo­rang yang huma­n­is menci­ta-citakan kese­taraan ter­hadap sesama. Baginya, aku adalah kau. Sehing­ga, tak ada isti­lah “orang asing” bagi sesamanya.

Sese­o­rang hanya bisa men­ja­di manu­sia dalam sebuah iklim, yang mana ia bisa meng­hara­p­kan dirinya beser­ta anak-anaknya akan hidup untuk meli­hat tahun depan dan juga tahun-tahun yang akan datang.” – Fromm, h. 142.

Ter­akhir, ins­es­tis sim­bo­lis pada “ibu”. Ia semacam keter­gan­tun­gan yang kuat ter­hadap sosok ibu. Dik­si “ibu” bukan hanya melekat pada orang, melainkan suatu ben­da yang diper­son­ifikasi, memi­li­ki sifat keibuan. Ins­es­tis sim­bo­lis bisa meru­juk pada keter­gan­tun­gan akan tanah air –yang digadang-gadang seba­gai ibu bumi. Sehing­ga, sese­o­rang yang men­galaminya, tak akan mem­biarkan sia­papun melukai inangnya, tem­pat ketergantungannya.

Lawan dari ins­es­tisme sim­bo­lik ialah inde­pen­den­si. Sese­o­rang akan merasa lebih bebas, jika mere­ka mam­pu berdiri atas kemauan­nya sendiri, bukan malah depen­den atau bergan­tung­pa­da inang. Inde­pen­den­si men­ja­di sikap yang layak dit­er­ap­kan hanya jika sese­o­rang menghen­da­ki kemandiri­an, kebebasannya.

Kebe­basan ter­letak pada pen­ge­nalan­nya ter­hadap kemu­ngk­i­nan … yaitu mam­pu mem­bu­at kepu­tu­san antara alter­na­tive-alter­natif yang nya­ta.” – Fromm, h. 219.

Saya kira, keselu­ruhan dari tulisan Fromm akan mengkri­tik par­a­dig­ma Freud. Namun, seper­ti sosoknya yang dike­nal huma­n­is, Fromm jus­tru meng­har­gai Freud den­gan mem­per­lu­as pemiki­ran­nya. Sejauh ini, Fromm begi­tu luar biasa den­gan ide bril­ian yang ia tuangkan dalam tulisan The Heart of Man.

Penulis: Mif­takul Ulum
Redak­tur: Nata­sya