Dengan novel sejarah yang kedua, Laut Bercerita (2017), Leila menerima penghargaan SEA Write Award 2020, penghargaan tahunan untuk karya sastra se-Asia Tenggara. Ini berarti Leila mendapatkan penghargaan kali kedua untuk anak sastra sejarahnya. Sebelumnya, Pulang (2012), novel yang juga berlatar sejarah, mendapat penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2013 untuk kategori prosa. Keduanya diterbitkan oleh Gramedia.
Novel ini ditunjukkan Leila kepada mereka yang dihilangkan dan tetap hidup selamanya. Persembahan yang memberitahukan kepada pembaca, bahwa Laut Bercerita ini diangkat dari kisah nyata kehidupan mahasiswa aktivis yang dihilangkan pada zaman Orde Baru. Gaya realis digunakan Leila untuk mendeskripsikan kejadian-kejadian pada suatu waktu, pada suatu tempat. Sudah nampak saat pembaca melihat daftar isi. Subjudul seluruhnya berupa tempat dan tahun, seperti “Sayegan, 1991” hingga “Di Depan Istana Negara, 2007”. Ini menegaskan bahwa novel yang meskipun fiksi, tapi datanya berupa fakta sejarah.
Kekuatan novel fiksi-sejarah ini terletak pada kekayaan data dan ketepatan deskripsi gagasan, pengalaman, serta perasaan pada kedua tokoh utamanya, Laut dan Mara. Leila melukiskan kejadian-kejadian secara pararel, memperkuat kesan penghayatan, hingga mengoyak psikologis pembaca, untuk kemudian mempertanyakan kebenarannya pada diri pembaca sendiri. Data dimainkan dengan amat epik, hingga ramuan ceritanya nyaris nyata. Saya sendiri─yang terkonstruk oleh pelajaran sejarah sekolah─dibuat bertanya-tanya saat membaca narasi demi narasi, deskripsi demi deskripsi, suart demi surat, tempat hingga peristiwa, benarkah sejarah ini ada?
Genre fiksi-sejarah bukan hal baru dalam khazanah sastra Indonesia, sebelumnya sudah ada nama besar, Pramoedya Ananta Toer─tokoh yang juga baru saya kenal di luar bangku kuliah. Pram, sastrawan realisme-sosialis yang kondang dengan Trilogi Pulau Buru. Mungkin termasuk Leila yang mengekor pada Pram untuk berpegang pada realisme-sosialis dan seolah ia mengamini Pram, bahwa tindakan menghapus jejak tokoh-tokoh radikal dari catatan sejarah sama saja melanjutkan kebijakan politik kolonial yang ingin berusaha membangun narasi bangsa yang palsu. Lewat novel ini, Leila berusaha menunjukkan kenyataan bahwa pergerakan mahasiswa punya akar yang kuat itu dipengaruhi oleh mekarnya gerakan radikal.
Terbagi menjadi 2 bab, cerita dipaparkan dalam dua sudut pandang. Orang pertama pelaku utama, Biru Laut Wibisana. Laut menceritakan tentang sepak terjalnya menjadi mahasiswa aktivis di era Orde Baru. Lalu orang pertama pelaku sampingan, diwakilkan Asmara Jati, adik kandung Laut. Mara pada perannya menceritakan sosok Laut versinya, juga narasi berupa upaya pencarian Laut. Lewat Mara-lah, Leila menampilkan suara inferior dari sejarah yang pincang, sejarah yang berusaha ditutup-tutupi adanya.
Sejarah mulanya dari sudut pandang masing-masing individu, tinggal powernya sekuat apa yang kelak dibuat “layak” untuk dikonsumsi publik di masa kini juga mendatang, lagi-lagi sesuai kebutuhan pemerintah. Laut Bercerita secara dominan mendongkrak realitas kehidupan sejarah dari dimensi sosial-politik, tepatnya pada masa rezim Orde Baru. Novel ini menguak keberanian dalam membela keadilan dan kebenaran, arah gerak mahasiswa aktivis, gejolak perkembangan jurnalistik, seksualitas, hingga perihal makanan.
“Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali”
Pada versi Laut, Leila mengawalinya dengan prolog miris yang langsung menohok bagi pembaca. Di sebuah laut, berakhirlah perjuangan Laut. Ia dibuang ke laut usai dianiaya terlebih dahulu oleh pihak militer. Laut dan teman-teman seperjuangannya melawan kediktatoran penguasa lewat demonstrasi yang berakhir pada penangkapan, penahanan, penganiayaan, sampai pembunuhan. Sekelompok ini memperjuangkan keadilan dengan cara melakukan aksi dan diskusi untuk lepas dari Orde Baru yang dipimpin Soeharto selama puluhan tahun dengan sewenang-wenang. Bahkan masyarakat benar-benar dibungkam oleh pemerintah. Sehingga ketika ingin membicarakan isu-isu yang sensitif, mereka harus menggunakan metafora.
“Tapi aku tahu satu hal: kita harus mengguncang mereka. Kita harus mengguncang masyarakat yang pasif, malas, dan putus asa agar mereka mau ikut memperbaiki negeri yang sungguh korup dan berantakan ini, yang sangat tidak menghargai kemanusiaan ini, Laut.” (Chudori, 2017: 182)
Cerita bergulir di saat Biru Laut masih menjadi seorang mahasiswa pada tahun 1991. Dia memilih untuk kuliah di UGM, Yogyakarta. Bersama teman-temannya, Laut tinggal di kontrakan di daerah Sayegan sebagai tempat diskusi dan rencana gerakan Winatra. Tempatnya jauh dari manapun, akses yang dipilih agar mereka aman dari incaran intel. Di kontrakan itulah mereka melaksanakan diskusi-diskusi mengenai buku Laclau atau Ben Anderson, dan Pramoedya Ananta Toer. Mereka sekaligus menyusun propaganda untuk melakukan demonstrasi. Dengan berbekal pengetahuan serta melihat kondisi yang semakin memuakkan, para aktivis mulai melancarkan gerakannya. Mereka mulai mendampingi petani Blangguan dalam memperjuangkan hak-haknya yang telah direnggut penguasa.
Representasi cara memimpin negara saat itu dipegang kuat oleh militer, pelarangan berdiskusi, tidak adanya kebebasan berekspresi dan politik. Diskusi dianggap suatu hal yang membahayakan posisi Orde Baru. Diskusi bagai suatu hal kriminal, sehingga kontrol oleh intel akan selalu menyelusup. Penyekalan para aktivis terjadi secara bertahap, bahkan seringkali penyekalan terjadi di tempat umum. Para aktivis disekap dalam markas, introgasi yang diwarnai dengan penyiksaan seolah-olah telah menjadi runitias selama berbulan-bulan lamanya sebelum mereka benar-benar akan dihilangkan dari kehidupan.
“Karena peristiwa penangkapan para aktivis masih saja menggelayuti Yogyakarta, membawa-bawa fotokopi buku karya Pramoedya Ananta Toer sama saja dengan menenteng bom: kami akan dianggap berbahaya dan pengkhianat bangsa.” (Chudori, 2017: 20)
Pemerintah sebagai penguasa memberikan peringatan kepada para aktivis supaya tidak lagi menggugat pemerintah. Mereka yang menggugat berarti menjadi pengkhianat. Selama ini Orde Baru seringkali diagung-agungkan oleh masyarakat awam bahkan generasi muda sekalipun sebagai zaman keemasan. Hegemoni pemerintah telah mengakar pada ideologi dan budaya masyarakat. Leila menceritakan secara gamblang peristiwa-peristiwa kelam di balik kokohnya Orde Baru yang selama ini bungkam untuk dibicarakan oleh masyarakat umum. Tekanan atas beberapa keistimewaan yang diberikan membuat masyarakat menjadi gelap mata sehingga mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Ini menjadikan pemerintah dengan mudah menanggulangi arah gerak para aktivis. Di mana pada saat itu para pemberontak berhasil ditangani dengan baik seperti halnya PKI, juga penghilangan secara paksa para aktivis yang berpikiran kritis. Bahkan dalam berorganisasi diarahkan untuk mengekor Golkar, partai dominan pada Orde Baru.
Mereka yang dihilangkan berpusat pada cerita Biru Laut, Sekjen gerakan Winatra yang dipandang subversif sebab menggugat rezim otoritarian di masa Orde Baru yang nyaris tanpa demokrasi. Awal tahun 1998, bermula pada Aksi Tanam Jagung Blangguan, konflik antara petani dengan tentara. Lahan pertanian rakyat Desa Blangguan digusur secara paksa untuk latihan gabungan tentara. Laut dan beberapa temannya diculik secara berpisah. Di suatu tempat, Laut disekap, dipukuli habis-habisan, diinjak dengan sepatu bergerigi, dan disetrum oleh orang-orang berseibo, agar bersedia menjawab siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan gerakan mahasiswa. Sekali lagi, ini mengguncang jiwa saya, bagaimana mungkin tindakan lebih dari kriminal ini terjadi?
Biru Laut bersama 12 aktivis hilang tak jelas nasibnya, dan 9 aktivis lainnya menghirup udara bebas menanggung trauma berkepanjangan. Dalam hal ini, pemerintah diceritakan sedikit mengalami perubahan, terbukti mereka melepaskan sembilan aktivis yang telah ditawan selama berbulan-bulan. Semacam ini bak upaya kendali pemerintah untuk menjaga nama baiknya. Hingga tidak lama setelah peristiwa pembebasan tersebut, Soeharto dengan suka rela melengserkan diri dari jabatannya sebagai presiden.
“Pada tanggal 23 April 1998, Aswin meneleponku pada suatu subuh. Alex selamat. Dia sudah pulang ke Pamakayo. Aku begitu tekejut hingga hampir saja terjatuh dan segera bertumpu pada pegangan kursi. Hari masih agak gelap. Mendadak saja semua kantuk tergilas oleh berita ini. Menurut Aswin, Mama Rosa, ibunda Alex memberitakan itu dengan suara terputus-putus karena jarak jauh Pamakayo. Tak jelas mengapa Alex dilepas oleh para penculiknya ke kampung halamannya. Yang penting, Alex dalam keadaan sehat dan tak banyak bicara.” (Chudori, 2017:249)
Tokoh-tokoh dalam Laut Bercerita memang fiktif, tapi hal faktalah yang menginspirasi terciptanya cerita ini ada. Bahwa reformasi 1998 itu nyata, penculikan aktivis itu benar-benar terjadi, dan peristiwa 1965 itu masih menghantui. Membaca Laut Bercerita terasa seperti sedang membaca sejarah yang dihilangkan. Sejarah seolah-olah telah dimanipulasi dengan sangat rapi. Bagaimana tidak, generasi muda saat ini awam terhadap peristiwa pelik yang telah terjadi di negeri sendiri. Sejarah yang dinampakkan dalam pelajaran sekolah sebatas penjajahan yang dilakukan oleh Kolonialisme Belanda maupun Jepang, serta perlawanan pahlawan dalam mengusir penjajah. Setelah peristiwa penjajahan berakhir, generasi muda saat ini tidak tahu bahwasanya pembodohan telah terjadi di tangan presiden yang berkuasa saat Orde Baru berdiri kokoh.
Kekuasaan yang digunakan oleh para ahli sangat terlihat jelas, yaitu keahlian dalam memberikan kenyamanan pada kelas menengah atas maupun bawah. Ideologiyang tertanam di masyarakat menyebabkan mereka tidak memikirkan dampak yang akan disebabkan oleh adanya beberapa lisensi yang diberikan. Kekejian pada Orde Baru seakan-akan tidak pernah mendapatkan perhatian lebih di mata masyarakat saat ini. Framing yang terstruktur mempengaruhi dugaan baik masyarakat, sehingga mereka lebih pada pembicaraan tentang prestasi yang telah di raih pada rezim Soeharto tersebut. Bahkan satire “Panggah enak zamanku to?” beredar luas di masyarakat.
Laut yang sebatas diketahui hilang oleh keluarganya, sedangkan pembunuhan yang terdapat pada prolog novel secara perlahan-lahan ditunjukkan motif dan latar belakangnya. Pembaca akan kesulitan memutuskan bagaimana nasib Laut pada kehidupan nonfiksi, apakah berakhir di laut seperti prolog, ataukah masih ada harapan hidup seperti yang diharapkan keluarganya. Meskipun plot berloncatan dan mengganggu skema pembaca dalam memahami ceritanya. Namun sedikit demi sedikit mendobrak fakta di balik diagung-agungkannya Orde Baru.
Menengok ke dunia nyata, hal serupa dialami oleh Mugiyanto dan temannya yang tergabung dalam kelompok Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Mugiyanto merupakam salah satu korban yang dibebaskan. Pada 23 Mei 2016, CNN Indonesia mengangkat kisah Mugi yang mengalami penculikan. Suatu malam, pada 13 Maret 1998, Mugi dijemput paksa oleh 10 orang yang masuk ke kontrakan. Dua orang berseragam loreng dan 8 orang berpakaian sipil. Kala itu Mugi baru selesai mengikuti pertemuan dengan organisasi solidaritas untuk Timor Leste dari Australia di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, mewakili SMID untuk mengurus bidang hubungan internasional.
Teman Mugi lainnya adalah Nezar Patria. Pada 4 Februari 2008, Tempo mengangkat cerita yang ditulis Nezar dalam artikel “Di Kuil Penyiksaan Orde Baru”. Nezar Patria ini mengungkapkan pengalamannya sebagai aktivis yang pada Maret 1998 sempat diculik, diintrogasi, dan disiksa selama berhari-hari. Maka teranglah, selain penghilangan, penculikan dan penyiksaan para aktivis pada 1998 adalah fakta, meskipun luput diketahui publik.
Terlepas dari temuan dua tokoh tersebut, Laut Bercerita sekali lagi adalah novel fiksi. Leila memang mengawali novel ini melalui riset, namun keputusan alur cerita tetap pada pilihan suka-suka penulis sendiri. Abstraksi jalan cerita dan peristiwa sejarah yang melatarbelakanginya, sepertinya memang sengaja ditunjukkan penulis kepada masing-masing persepsi pembaca. Tentang nasib akhir Laut di prolog, Leila mempertegas bahwa ia telah gugur melalui epilog. Lewat surat wasiat Laut kepada Mara─meskipun nampak mustahil ditulis oleh orang yang telah tiada─memperlihatkan bagaimana Laut sudah memprediksi kematiannya sendiri, ia sadar ia tak akan hidup setelah penganiayaan sadis dan karam di dalam laut.
Bagaimanapun embel-embel sejarah yang ingin ditawarkan Leila tidak mengurangi iktikad sastra sendiri sebagai medium hiburan. Lihat bagimana Leila menawarkan larik-larik puitis dari penyair kondang, WS Rendra. Sajak Seoonggok Jagung diperalat Leila sebagai upaya pendekatan kepada pembaca untuk lebih menghayati alur cerita. Puisi-puisi Rendra yang tak terlepas dari kekritisan sosial-politik itu mengawali kisah perlawanan Laut dan aktivis lain bersama Petani Blangguan. Sajak Seonggok Jagung seolah yang menjadi pijakan bagi para aktivis untuk melakukan perlawanan. Laut yang tersulut jiwa perlawanannya setelah teringat puisi itu, ia mengusulkan agar aktivis melawan dengan aksi Tanam Jagung Blangguan. Mereka berangkat melawan dengan meneriakkan yel-yel dari bait-bait puisi itu penuh gelora. Puisi-puisi lainnya juga diikutsertakan sebagai suatu pengantar cerita di awal sub bab. Tak hanya memperalat puisi, lagu digunakan sebagai upaya untuk lebih intim dalam cerita. Lagu-lagu kembali diputar, ingatan kembali dikenang, lagu itu berusaha membuka layar masa lalu yang di dalamnya memuat rentetan kejadian di masa lalu.
Bab kedua buku ini menggunakan sudut pandang Asmara Jati, adik kandung Biru Laut. Duka psikologis menghantui keluarga Laut. Bagaimana Mara kehilangan kakaknya, kekasihnya, pada waktu yang berdekatan. Kehilangan Laut, membuat orang tua Laut hidup dalam penyangkalan. Semua tokoh yang terlibat pada bagian kedua ini dilukiskan penuh simpati, tingkah laku hingga perasaan mereka dapat dipahami.
“Di hadapan sebuah panci burik biru yang besar, mereka akan mencemplungkan semua bumbu itu.…ke dalam santan cair dan tentu saja iga serta tulang sumsum kambing yang nantinya “akan diseruput Mas Laut”, kata Ibu sambil mengaduk-aduk dengan keseriusan yang intens.”
Mereka membiarkan hidupnya menyatu dengan imajinasi, harapan agar keluarga mereka yang hilang masih tetap ada dalam keseharian. Mereka hidup dengan membayangkan anaknya akan kembali, bagaimana ritual saat menyediakan piring dan makanan, membersihkan kamar, dan berharap sang anak akan muncul di pintu. Dimensi waktu ikut memudar akibat kondisi emosional yang tak lagi terkontrol sebab kekalutan jiwa. Keluarga dari aktivis yang ditunggalkan itu menghabiskan waktunya dengan penantian panjang, menunggu dan menunggu, sementara mereka hilang tanpa kejelasan.
Tidak tinggal diam, Mara bersama orang tuanya dan keluarga aktivis mahasiswa yang hilang terus memperjuangkan hak mereka dengan menempuh berbagai cara. Mulai dari tergabung dalam Komisi Orang Hilang sampai menggelar aksi Kamisan di depan Istana Negara. Aksi yang bukan hanya sebagai tuntutan, melainkan juga sebagai upaya terapi bagi keluarga yang kehilangan. Hal ini pula yang dilakukan Mugi bersama keluarga mahasiswa yang hilang. Sebagai orang yang terbebas dari kasus penculikan aktivis, Mugi turut membantu pendampingan keluarga korban dan bergabung dengan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI). Bertahun-tahun tanpa jawaban, tapi aksi masih tetap saja digelar. Setidak-tidaknya sebagai peringatan bahwa mereka tidak akan membiarkan kebengisan penguasa dibiarkan tanpa hukuman.
Usai tragedi kemanusian 1998, Indonesia memang reformasi, namun keadilan masih dikebiri hingga kini. Aktivis yang dihilangkan tak kunjung tuntas terusut. Mereka masih dalam gaung pertanyaan yang senantiasa diharapkan kepulangannya. Novel ini membuka kembali penghilangan paksa sebagai kejahatan yang terlestarikan, sehingga membuka pertanyaan dan menggugat tanggung jawab kepada pemerintah dalam mengusut kasus ini. Sekaligus berupa sindiran kepada pemerintah Indonesia, bahwa di dunia nyata ia tak memiliki keseriusan untuk mengungkap kejahatan HAM dan menelusuri kepastian nasib aktivis-aktivis yang diculik. Padahal hilangnya para aktivis sudah diramaikan media, bahkan sampai diangkat dalam musik dan drama. Sedangkan keberadaan mereka terus-menerus dicari jawabnya oleh masing-masing keluarga dan berbagai lembaga dalam aksi Rutin Kamisan.
“Sudah cukup lama, setiap Kamis para orang tua, kawan, saudara, simpatisan, wartawan berkumpul di hadapan Istana Negara menggunakan payung hitam sebagai simbol sekaligus mempertanyakan ke mana para aktivis yang hilang itu.” (Chudori, 2017: 318)
Karya sastra pasca-Orde Baru, terdapat semacam kecenderungan eksesif untuk mendobrak ketabuan dan nilai moral yang berbicara tentang kediktatoran pemerintah. Pun perihal seksualitas oleh perempuan sebagai subjek utama. Yang sampai sekarang tetap dianggap tabu. Ini biasanya dilakukan secara memberontak dan seolah-olah pengarangnya dengan sengaja mencari-cari tema dan cara penyampaian yang mengejutkan pembacanya. Leila berhasil mendeskripsikan seksualitas sedemikian rupa hingga pembaca dapat merasakannya sebagai suatu hal yang wajar terjadi. Dalam novel Laut Bercerita seksualitas cukup berperan. Hubungan seks yang diceritakan adalah seks yang adil. Mungkin sekaligus cara Leila untuk mengedukasi pembacanya bahwa seks bukan perihal superior-inferior, seks adalah kenikmatan bersama. Mara dan Alex saling saling bersepakat untuk mencapai tataran kenikmatan yang sama.
Pembicaraan mengenai ketabuan seksualitas barang kali digunakan sekaligus sebagai alat popularitas. Bagaimana Ayu Utami mengolah tabu seksualitas pada Saman dan Larung, juga novel Eka Kurniawan dengan seksualitas adalah perbincangan dominan. Jangan-jangan menyisipkan prahara seksualitas pada jenis sastra semacam ini hanya berfungsi untuk membuatnya laku keras, seperti larisnya novel-novel mahakarya novelis-novelis sebelumnya. Atau memang sengaja dikemas setelah melihat pola pasar, dengan mempertimbangkan selera pembaca.
Leila melukiskan persetubuhan secara rinci, tanpa unsur mesum. Sehingga penyederhanaannya mengolah seksualitas berhasil membuat pembaca mempertanyakan nilai-nilai moral yang dipegangnya sekaligus menyadari betapa nilai-nilai tersebut tidak memadai. Apalagi tanggapan umum bahwa seksualitas yang di luar pernikahan dianggap melanggar norma, meskipun berdasarkan pada keinginan kedua belah pihak perempuan dan laki-laki. Leila tanpa ragu menarasikan bagaimana Laut melepas keperjakaannya. Seks bagi Laut malah hal yang mengecewakan. Fantasi bahwa seks akan dahsyat dan meledak-ledak, nyatanya hanya berlangsung sepersekian detik. Laut sangsi akan gambaran adegan seks yang ada pada film dan novel, ia tidak merasakan seks yang cantik, bergelora, dan mengguncang. Antitesis yang melunturkan konstruksi seksualitas sebagaimana yang kerap dijumpai pada film porno.
“Seks yang terjadi pada masa pertumbuhan biasanya mengecewakan karena terlalu banyak fantasi bahwa hubungan seks akan dahsyat dan meledak-ledak. Ternyata ketika kali pertama aku mengalaminya bersama pacar pertamaku, aku sama sekali tak tahu bahwa ‘peristiwa’ itu bisa selesai hanya dalam waktu beberapa detik. Bagaimana film-film dan novel menggambarkan adegan seks begitu rupa sehingga terasa cantik, bergelora, sekaligus mengguncang? Apakah mungkin seks begitu rupa sehingga terasa cantik, bergelora, sekaligus mengguncang? Apakah mungkin seks sebaiknya hanya dilakukan dengan orang yang sangat kita cintai?” (Chudori, 2017: 120)
Membincangkan Laut Bercerita, rasanya eman jika sebatas tertaut pada prahara sosial-politik. Perspektif makanan juga diangkat dalam novel ini. Rupanya, “makanan” adalah gaya Leila, pada novel Pulang, ia juga membincangkan perihal makanan. Makanan tradisonal, seperti gulai tengkleng dan gudeg tidak hanya dijadikan pelengkap “sekadar ada”, tapi juga ada usaha untuk mengenalkan bagaimana makanan itu berpengaruh pada kondisi psikologis tokoh-tokoh dalam cerita. Bagaimana Laut merindukan aroma makanan-makanan itu, pun saat ia terkulai lemah dalam penyekapan. Ingatan akan makanan itu membawa Laut pada kenangan pada ibu bapaknya. Atau sekadar sepotong daun jeruk yang mengantarkan pada kepulan asap dapur dan rutinitas di atas meja makan.
Demikian yang terjadi pada keluarga Laut setelah ia hilang. Tradisi di hari Minggu pagi mengoyak kondisi batin Ibu dan Bapak Laut. Mereka memasak makan malam sambil menunggu kedatangan Laut. Sedangkan di sisi lain, Mara remuk hati menyaksikan tingkah kedua orang tuanya. Bahkan bertahun-tahun setelah Laut tanpa kabar. Empat tahun sampai Bapak Laut meninggal, piring makan Laut tak pernah tersingkir dari meja makan.
“Kulihat, seperti biasa, seperti pekan-pekan sebelumnya, dengan tertatih-tatih bapak mulai menutup meja dan meletakkan empat piring makan: satu untuk bapak, satu untuk ibu, satu untuk mas laut, dan satu untukku. Aku berpura-pura permisi untuk ke kamar mandi dan akan segera bergabung lagi dengan mereka. Ibu mengangguk sambil berpesan agar jangan berlama-lama, karena barangkali mas laut akan akan datang dan gudeg ini lebih enak disantap saat masih panas.” (Chudori, 2017: 264–265)
Gudeg dalam novel ini juga berbicara tentang nasib orang kecil. Esai foto jepretan Alex tak hanya membangkitkan selera makan Mara, tapi sekaligus empati atas kerja keras si ibu dalam foto yang hanya memperoleh uang seadanya. Alex menjadikan makanan sebagai subjek potretnya. Di kamarnya, Alex memajang foto ibu penjual gudeg tertua di Malioboro dan ibu penjual jamu di dekat Sayegan. Makanan, lagi-lagi sebagai alat komunikasi Mara kepada Laut melalui surat imajinatif. Mara mengilas balik saat keluarga mereka di meja makan. Bagaimana si ibu menghidangkan makanan kesukaan Laut, nasi timlo, gulai tengkleng, gudeg, hingga brongkos.
Detik-detik kritis sosial-politik telah terlalui, hasrat novel dengan sembrek prahara di dalamnya tentu bisa memenuhi hasrat sastrawi Leila untuk mengisahkan dimensi-dimensi lain Indonesia. Ingatan-ingatan kembali disadarkan, yang tak sadar diupayakan tersadar. Tinggal bagaimana Laut Bercerita berkembang di dunia lepas dan menggerakkan sejarah-sejarah lewat komentar-komentar pembacanya.
Mantap tul. Keren. 🌹