Kami bang­ga, kare­na kami mem­bela dan berko­r­ban untuk bangsa. Merdeka!”

Mungkin begi­t­u­lah uca­pan patri­o­tis ala jen­der­al dan pra­ju­rit­nya yang terke­san san­gat hero­ik. Namun, seandainya men­di­ang Didi Kem­pot yang men­gu­cap­kan­nya, akankah kesan­nya sama?

Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Repub­lik Indone­sia tahun 1945 menga­manatkan bah­wa seti­ap war­ga negara berhak dan wajib ikut ser­ta dalam upaya pem­be­laan negara. Pasal ini men­gan­dung mak­na bah­wa bela negara meru­pakan hak sekali­gus kewa­jiban bagi War­ga Negara Indone­sia (WNI) demi kedaula­tan negara. Aspek penun­jang bela negara adalah cin­ta tanah air (nasion­al­isme) dan rela berko­r­ban demi tanah air (patri­o­tisme).

Bela negara adalah tekad, sikap, dan per­i­laku ser­ta tin­dakan war­ga negara, baik secara perse­o­ran­gan maupun kolek­tif dalam men­ja­ga kedaula­tan negara, keu­tuhan wilayah, dan kese­la­matan bangsa dan negara yang diji­wai oleh kecin­taan­nya kepa­da Negara Kesat­u­an Repub­lik Indone­sia yang berdasarkan Pan­casi­la dan Undang-Undang Dasar Negara Repub­lik Indone­sia tahun 1945 dalam men­jamin kelang­sun­gan hidup bangsa Indone­sia dan negara dari berba­gai Anca­man”. Begi­t­u­lah bun­yi pasal 1 ayat (11) Undang-Undang (UU) nomor 23 tahun 2019 ten­tang Pen­gelo­laan Sum­ber Daya Nasion­al untuk Per­ta­hanan Negara yang mendefin­isikan bela negara.

Lan­tas bagaimana bela negara seharus­nya ditem­puh? Men­di­ang sas­trawan, Arswen­do Atmow­ilo­to dalam sebuah monolognya berka­ta, “Kini, sekarang ini, para Arju­na masa kini, saya, Anda, kita semua juga ragu den­gan idiom bela negara.” Isti­lah bela negara diang­gap masih san­gat gen­er­al, belum jelas ben­tuk dan per­wu­ju­dan­nya, ser­ta masih memu­nculkan beragam tafsir­an dari berba­gai pihak. Ada yang per­caya bah­wa bela negara sudah dilakukan, bahkan ter­cer­min di berba­gai aspek kehidu­pan. Namun, ada juga yang yang yakin bah­wa bela negara itu harus­nya pakai senjata.

Huru Hara Bela Negara

Pro­gram bela negara di era refor­masi telah berkali-kali dicanangkan pemer­in­tah dalam rang­ka melakukan rev­o­lusi men­tal bela negara bagi selu­ruh war­ga Indone­sia. Salah satu yang berhasil ter­lak­sana, yakni di tahun 2015. Kala itu masyarakat sip­il dari berba­gai latar belakang pro­fe­si berbon­dong-bon­dong memenuhi tun­tu­tan 100 juta war­ga dalam 10 tahun untuk pro­gram kaderisasi bela negara oleh Kementer­ian Per­ta­han (Kemen­han) Repub­lik Indone­sia. Mere­ka yang mendaf­tar, dilatih dan dia­jari lang­sung oleh per­wira-per­wira Kepolisian Repub­lik Indone­sia (Pol­ri) dan Ten­tara Nasion­al Indone­sia (TNI).

Dari yang kasat dipan­dang mata, pro­gram empat tahun lalu itu lebih cocok diis­ti­lahkan “wajib militer”. Sebab agen­da-agen­danya cen­derung men­garah pada pelati­han militer dan keter­ampi­lan perang, di antaranya kedisi­plinan, baris-berbaris, bela diri hing­ga mer­ak­it sen­ja­ta. Pemer­in­tah pun dicuri­gai diam-diam ten­gah mem­ben­tuk dan menam­bah per­son­el Kom­po­nen Cadan­gan (Kom­cad) lewat pro­gram ini. Peri­s­ti­wa ini lang­sung menim­bulkan polemik. Golon­gan kon­tra meny­atakan ini bisa jadi pelang­garan Hak Asasi Manu­sia (HAM). Sedan­gkan, Kemen­han mem­ban­tah asum­si ini, menu­rut­nya hal semacam ini dise­but pem­ben­tukan karak­ter, bukan wajib militer.

Novem­ber 2019, sebu­lan sete­lah Prabowo Subianto dilan­tik men­ja­di Menteri Per­ta­hanan (Men­han) Repub­lik Indone­sia (RI), isu wajib militer dan bela negara sedik­it nam­pak kem­bali aki­bat perny­ataan Sang Men­han terkait “Total Peo­ple War”. Usu­lan terse­but dis­am­paikan pada salah satu rap­at bersama Dewan Per­wak­i­lan Raky­at (DPR). Men­han Prabowo men­gatakan, Indone­sia sedang dalam masa urgent, sehing­ga perang riil cepat atau lam­bat akan mele­tus. Oleh kare­na itu, diper­lukan dukun­gan dari selu­ruh raky­at Indonesia.

Ter­baru, Agus­tus 2020 keti­ka Kemen­han meren­canakan pro­gram bela negara bagi maha­siswa, isu wajib militer di kam­pus lang­sung trend­ing. Bayan­gan mili­ter­isasi kam­pus meng­han­tui maha­siswa. Pemer­hati pen­didikan, Doni Kusuma A. lewat sebuah pro­gram dia­log TV swasta berpen­da­p­at, “Ini jus­tru merusak eko­sis­tem kam­pus yang akademis, anali­tis, kri­tis, ser­ta ekspre­sif ter­hadap seni, budaya dan aga­ma”.

Mili­ter­isme kam­pus melanggengkan kem­bali prak­tik koman­do dan senior­i­tas. Pada­hal kam­pus adalah tem­pat mengkri­tisi, memerdekakan piki­ran, dan mer­a­jut kesat­u­an dalam perbe­daan. Kemen­han kemu­di­an men­je­laskan, pro­gram terse­but bukan­lah wajib militer, melainkan inisi­atif bersama Kementer­ian Pen­didikan dan Kebu­dayaan (Kemendik­bud), yang terangkum dalam pro­gram Kam­pus Merde­ka. Artinya, pro­gram ini bersi­fat sukarela bukan wajib.

Dari berba­gai peri­s­ti­wa tadi, akhirnya mengeru­cut pada beber­a­pa per­tanyaan. Demikiankah negara memak­nai bela negara? Hanya den­gan mesiu dan pelu­rukah war­ga negara mem­bela tanah airnya? Den­gan ini ada kekhawati­ran akan ter­ciderainya refor­masi aki­bat keku­atan militer yang kem­bali muncul.

Sejatinya ben­tuk dan per­wu­ju­dan bela negara telah dit­erangkan dalam pasal 6 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2019. Isinya, bela negara bisa diim­ple­men­tasikan melalui pen­didikan kewar­gane­garaan maupun pelati­han dasar kemilit­er­an secara wajib, pengab­di­an seba­gai pra­ju­rit TNI secara suka rela atau wajib, dan pengab­di­an sesuai pro­fe­si. Hal yang sama sesung­guh­nya juga telah ter­mak­tub dalam UU No. 3 tahun 2002 yang telah dicabut.

Dari pasal terse­but bisa dipa­ha­mi, selain hal yang berbau mili­ter­is­tik ada pen­didikan kewar­gane­garaan dan pengab­di­an sesuai pro­fe­si sebe­narnya sudah meru­pakan pem­be­laan ter­hadap tanah air. Ada apa sebe­narnya den­gan pemer­in­tah? Bukankah pem­ben­tukan UU juga atas per­se­tu­juan ekseku­tif (pres­i­den)? Lalu, men­ga­pa sep­a­n­jang orde refor­masi pola dan par­a­dig­ma pro­gram bela negara masih itu-itu saja?

Pada awal refor­masi, Pres­i­den Baharudin Jusuf Habi­bie mene­tap­kan UU No. 56 tahun 1999 ten­tang Raky­at Ter­latih (Ratih). Pasal 1 mema­parkan hakikat Ratih seba­gai wujud kea­manan raky­at. Semen­tara, Ratih adalah wadah dan ben­tuk keikut­ser­taan war­ga seba­gai per­wu­ju­dan hak dan kewa­jiban dalam usa­ha pem­be­laan negara.

Meru­juk ked­ua pasal itu, ter­li­hat bah­wa par­a­dig­ma bela negara yang dimak­sud dalam UU No. 56 tahun 1999 cen­derung menekankan aspek per­ta­hanan dan kea­manan (Han­kam), yakni pem­ben­tukan kom­po­nen dasar dalam penye­leng­garaan per­ta­hanan kea­manan negara.” (Has­tang­ka, 2020: 392).

Hing­ga saat ini mak­na dasar bela negara masih men­gala­mi penyem­pi­tan oleh tafsir­an Kemen­han sema­ta. Pada­hal bila mencer­mati UU No. 23 tahun 2019, pen­didikan kewar­gane­garaan juga per­lu diper­hatikan untuk merangsang jiwa bela negara mas­ing-mas­ing war­ga negara. Sehing­ga, dalam hal ini Kementer­ian Pen­didikan dan Kebu­dayaan (Kemdik­bud) lah yang pal­ing berhak. Kog­nisi ter­hadap bela negara mut­lak per­lu dilakukan, sebab aspek kog­ni­tif sesung­guh­nya lebih kuat dan man­jur diband­ing aspek fisik. War­ga negara yang sudah pun­ya pendiri­an dan keteguhan hati pada bela negara, pasti men­dasari segala per­bu­atan­nya den­gan itu.

Bela Negara dalam Ruang Nurani

Berpal­ing dari top­ik bela negara ala “mili­ter­is­tik”, selain pen­didikan kewar­gane­garaan, pengab­di­an sesuai pro­fe­si dimak­nai melakukan peker­jaan sesuai kemam­puan dan keter­ampi­lan den­gan sepenuh hati dan didasari kecin­taan pada tanah air. Sayangnya reli­tas hari ini seakan-akan meni­adakan ked­ua aspek ini kare­na ter­tut­up oleh hege­moni militeristik.

Bela negara ver­si ini jauh berbe­da den­gan ala mili­ter­is­tik tadi, kare­na seo­rang war­ga negara tidak dini­lai berdasarkan ketangkasan maupun kekayaan, melainkan nuraninya. Oleh sebab itu, kon­teks ini erat kai­tan­nya den­gan aspek kog­ni­tif yang tum­buh dalam diri war­ga negara. Bela negara keti­ka sudah mera­su­ki jiwa war­ga negara, maka baginya negara adalah segala-galanya. Tan­pa dim­inta mere­ka sudah disi­plin, rela berko­r­ban, meno­long sesama, berkarya dan melakukan peruba­han seke­cil apapun yang mem­berikan val­ue posi­tif bagi tanah airnya.

Ter­lebih war­ga negara yang rela berko­r­ban bukan berar­ti rela men­ja­di budak yang siap ditum­balkan kapan saja demi kema­juan bangsa. Seba­liknya, war­ga negara pun­ya sikap kri­tis dan demokratis, sehing­ga men­ja­di “watch dog” bagi seti­ap tin­dakan pemer­in­tah. War­ga yang berbela negara juga tak mungkin mem­per­soalkan plu­ral­isme di ten­gah-ten­gah tanah airnya, baginya ini meru­pakan rah­mat dan anuger­ah Tuhan yang wajib dipeli­hara, lewat per­sat­u­an dan kesatuan.

Ten­gok­lah men­di­ang penyanyi dan­g­dut kop­lo, Didi Kem­pot dan mae­stro tari, Dhid­hik Nini Towok, berkat komit­men, seman­gat, dan kegigi­han­nya berkarya mam­pu melam­bungkan seni Indone­sia di pang­gung dunia. Ada juga Oscar Lawa­ta, seo­rang transpuan yang berkarya lewat kemam­puan­nya mer­an­cang busana dan kecin­taan­nya pada kain-kain nusan­tara. Selain itu, para tena­ga medis yang men­ja­di gar­da ter­de­pan melawan pan­de­mi, para atlet dan pemu­da yang meng­harumkan nama bangsa lewat prestasi, hing­ga para relawan ben­cana, aktivis dan pegiat di berba­gai sek­tor yang berkon­tribusi pent­ing dalam mem­ban­gun bangsa. 

Bukankah yang demikian itu bela negara juga? Itu­lah patri­o­tisme sejati, aksi hero­ik sejati oleh kesa­tria-kesa­tria masa kini yang mem­bu­at ibu per­ti­wi tersenyum bang­ga. Para pakar pun lebih berse­tu­ju, bah­wa ini­lah hakikat bela negara yang pal­ing tepat. Kare­na mere­ka meli­hat bela negara ver­si ini lebih huma­n­is, bersa­ha­bat den­gan hak asasi, ser­ta men­jawab tan­ta­n­gan masa mendatang.

Penulis: Anjas Raden­ta
Edi­tor: Nifa Kur­nia F.

Nye­leneh’ dan ‘kepo-an’

FacebookTwitter