Saya pernah mengutip sebaris kata dari Cak Dzofir Zuhri dalam bukunya “Filsafat Timur”, ia mengatakan bahwa agama itu benar, filsafat itu baik, kebenaran idealnya dicapai dari kebaikan. Kalau saya menyimpulkan berarti agama idealnya dicapai melalui berpikir mendalam. Tapi kala itu ada seseorang yang menyanggah bahwa baik dan benar merupakan persoalan yang lain. Namun sebenarnya memang berkaitan, integral. Lantas dia mempermasalahkan apakah semua kebenaran itu baik atau semua kebaikan itu benar?
Teori absurditas Albert Camus mengatakan,” Kamu tidak akan pernah bahagia kalau kamu terus mencari apa sih kebahagiaan itu?” Teori ini bisa dianalogikan dan ditarik menjadi dasar pemikiran mengenai permasalahan ini. Banyak orang yang mungkin belajar tentang kebenaran maupun kebaikan. Apa itu sebenarnya kebenaran dan kebaikan serta sebenarnya kebaikan dan kebenaran itu diperoleh darimana? Isinya apa? Selama kamu mencari, maka kamu akan sibuk dengan pencarian itu sendiri sehingga tidak memberikan ruang bagimu untuk berbuat baik dan benar. Hal ini akan menjadikannya kabur dan justru menjadi absurd.
Akan tetapi kalau kita berhenti di titik ini saja maka kita tak bisa lebih mengkaji lebih dalam permasalahan ini sehingga membuat pemikiran mengambang dan tak berkembang. Ada yang mengatakan seseorang yang pandai itu akan senantiasa terlihat bodoh, karena apa? Karena dengan banyaknya pengetahuan yang ia peroleh membuatnya semakin ingin mencari tahu dan menemukan sesuatu yang baru lainnya. Dengan demikian ia terlihat seakan menjadi seseorang yang bodoh tak mengerti apa-apa. Pemikirannya sendiri yang memberikan definisi bahwa dirinya bodoh namun bila orang lain yang memberikan penilaian sebenarnya sudah berbeda lagi. Untuk lebih memahami meskipun sebatas di permukaannya, mungkin tulisan-tulisan berikut akan memberikan sedikit penjelasan. Walaupun penulis sangat kurang mengenai ilmu filsafat, bahkan minim sekali terhadap pemahamannya yang mendalam. Tetapi saya akan mencoba untuk mengulasnya. Jack Ma, pebisnis terkaya Tionghoa mengatakan,” Penakut tak pernah memulai, pecundang tak pernah menyelesaikan, dan pemenang tak pernah berhenti.” Mungkin dengan motivasi tersebut penulis sedikit mendapatkan motivasi untuk mencoba menemukan jawaban dari permasalahan tersebut.
Memang terkadang seseorang takut dengan pikiran yang mendalam, lebih jelasnya filsafat menjadi sebuah momok bagi mereka. Sebenarnya kalau sudah mendalami dan berenang dalam kolamnya akan segar juga. Penyebabnya adalah mereka berpresepsi dalam kolam tersebut ada buaya padahal mereka belum pernah sama sekali terjun di dalamnya. Inilah yang perlu diluruskan bahwasanya filsafat tak sebegitu mengerikan. Tapi tergantung orangnya juga, relativisme.
Al Kindi dengan logikanya mengemukakan bahwasanya tak mungkin seseorang itu menolak filsafat. Jika seseorang menerima filsafat maka ia akan belajar filsafat dan jika seseorang menolak filsafat maka ia harus berfilsafat juga. Mengapa seperti itu? Karena untuk membuat argumen tentang kebenaran pendapat yang dikemukakannya. Seandainya seseorang yang menolak filsafat itu diberi pertanyaan, “mengapa engkau menolak filsafat?” maka ia akan memberikan argumen atas apa yang ia lakukan. Ketika seseorang mengutarakan alasannya maka ia telah berfilsafat. Maka dari itu disimpulkan bahwa tiada sebenarnya seseorang yang menolak filsafat. Adanya seseorang yang menolak filsafat namun ia tak menyadari sebenarnya ia telah menggunakan filsafat itu sendiri. Memang terkadang terdapat filsuf yang pendapatnya bertentangan dengan Al Quran. Akan tetapi sejatinya bukan seperti itu melainkan pemahaman terhadap Qurannya yang bertentangan. Jadi yang bertentangan itu sama-sama manusianya, bukan antara manusia dengan Al Quran. Maka dari itu, marilah kita coba untuk berfilsafat bersama mengenai kebenaran realitas dan realitas kebenaran dengan saya bumbui tambahan ulasan tentang kebaikan.
Menurut perspektif Arthur Schopenhauer, kebenaran di dunia ini harus melewati tiga langkah. Pertama ditertawakan, kedua ditentang dengan kasar, dan ketiga diterima tanpa pembuktian dan alasan. Dua langkah awal adalah langkah terberat orang yang berbuat kebenaran. Kalau seseorang menghendaki kebenaran maka ia harus rela dicemooh dan ditertawakan. Lebih parahnya lagi ia akan mendapatkan sebuah pertentangan yang kasar. Di sisi lain kebenaran itu bisa diterima dengan mudahnya tanpa adanya bukti realistis dari kebenaran yang dibawakan. Oleh karena itu kebenaran itu relatif karena terminal akhir bukanlah ketepatan dan kebenaran.
Kebenaran memiliki porsi pada posisi tertentu, tolak ukurnya masih ambigu. Tidak jarang satu kebenaran bertentangan dengan kebenaran yang lain. Beberapa barometer yang digunakan sebagai ukuran kebenaran antara lain agama, sains, adat, undang-undang, dsb. Semisal dalam suatu forum terdapat sebuah perdebatan. Kemudian ditemukan dua argumen yang bertentangan sedangkan kedua kubu meneguhkan kebenaran yang diyakini oleh masing-masing diri mereka. Masing-masing individu pastinya menganggap bahwa argumen yang disampaikan paling benar dan yang disampaikan orang lain itu salah. Semua dalil dan alasan yang mereka miliki mereka pertahankan mati-matian. Alhasil, cintailah kebijaksanaan jangan berhenti pada kebenaran saja. Jadi, kebenaran diikuti dengan kebijaksanaan. Kalau kebenaran saja yang dipegang maka malah ditakutkan mengakibatkan perpecahan.
Dalam sebuah jurnal berjudul “Epistemologi Mencari Kebenaran Dengan Pendekatan Transendental”, Muhammadd Iksan menjelaskan beberapa teori kebenaran, di antaranya kebenaran biasa, kebenaran agama, kebenaran pengetahuan, dan kebenaran filsafat. Dalam versi lain, Uhar Suharsaputra mengemukakan bahwa teori kebenaran di antaranya adalah teori kebenaran korespondensi (the correspondence theory of truth); teori kebenaran konsistensi (the coherence theory of truth); dan teori kebenaran pragmatis (the pragmatic theory of truth). Teori kebenaran korespondensi menggunakan kriteria fakta yang disebut dengan teori kebenaran empiris, yaitu sesuatu yang dialami dan pernah terjadi. Teori koherensi menggunakan acuan pikiran sehingga disebut dengan kebenaran rasional, dan yang terakhir adalah teori kebenaran pragmatis yakni mendasarkan kebenaran pada kegunaannya sehingga disebut dengan kebenaran praktis. Tak cukup teori-teori tersebut untuk menemukan bagaimana sebenarnya kebenaran realitas? Manakah sebenarnya kebanaran yang nyata itu? Bagaimana sebenarnya seseorang membuat kebenaran? Atau bagaimana sebenarnya realitas kebenaran itu sendiri atau dalam kata lain, bagaimana kebenaran itu dibuat?
Kalau muncul sebuah pertanyaan bagaimanakah membuat kebenaran itu dan bagaimana kebenaan itu dibuat? Mayoritas manusia bahkan seluruhnya tak terkecuali ingin mencapai kebenaran baik itu mendekati kebenaran material, substansial, bahkan sampai kebenaran ilahiah dan kebenaran mutlak. Dengan segala kekurangannya penulis akan memberikan argumennya. Dari beberapa penjelasan di atas dapat diulas bahwasanya membahas kebenaran bukanlah sesuatu yang singkat melainkan membutuhkan ruang dan pemahaman yang mendalam dan luas. Setiap orang pastinya menghendaki kebenaran, kebenaran dikatakan benar tergantung seseorang yang memandangnya, bagaimana ia menggunakan sudut pandang karena manusia itu tergantung bagaimana cara ia memandang realita dan kenyataan adalah bekalnya pengetahuan. Oleh karena itu, seseorang menganggap dan membuat kebenaran terhadap sesuatu itu tergantung pada sudut pandangnya. Seorang yang ahli filsafat, akan menggunakan ilmu filsafatnya untuk mengukur sebuah kebenaran. Seseorang yang ahli ilmu, maka akan menggunakan ilmunya untuk mengukur kebenaan begitupun dengan seorang yang ahli agama, maka akan menggunakan dogma-dogma dalam agamanya untuk memastikan sesuatu itu benar.
Tak patut apabila kebenaran dihegemoni oleh sekelompok tertentu untuk kepentingan golongannya. Namun inti dari tercapainya kebenaran adalah kebijaksanaan. Maka jangan hanya berhenti di rasional dan irasional saja, setidaknya kita semua juga mencintai kebijaksanaan agar tidak selalu menghegemoni kebenaran sesuai dengan ego dalam diri kita masing-masing.
Nah sekarang bagaimana cara menjadi seseorang yang baik? Apakah dengan menjadi orang baik itu selalu benar ataukah sebaliknya menjadi orang benar itu selalu baik? Menjadi orang baik itu tidak cukup dengan memahami kebaikan dan mendeklarasikan kebaikan. Kalau kebaikan itu hanya sebatas seperti itu, maka masyarakat akan mudah tertipu dan terjerumus pada omongan tersebut. Versi kebaikan akan bisa diselewengkan dan dipelencengkan. Tokoh-tokoh yang sering dilihat oleh Diogenes hanyalah yang menang berdeklarasi kebaikan tanpa mengimplementasikannya dan hal inilah yang sering diabaikan dan dilupakan oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa orang yang baik adalah orang yang mempraktikkan dan menjalani kebaikan yang ia pahami dan ia deklarasikan. Dalam menjalani kebaikan itu sendiri harus diiringi dengan kejernihan. Apakah kejernihan itu? Kejernihan dalam pengimplementasian kebaikan itu sendiri. Karena tanpa kejernihan maka kebaikan itu akan sia-sia.
Kalau seperti itu, maka kebenaran tanpa kebijaksanaan itu sia-sia dan kebaikan tanpa kejernihan niat itu juga sia-sia. Oleh karena itu yang menjadi benang merah adalah kebijaksanaan dalam kebenaran dan kejernihan dalam melakukan kebaikan. Mengenai apakah kebaikan selalu benar dan kebenaran selalu baik? Penulis hanya memberikan satu jawaban, relatif. Tergantung perspektif orang-orang memandang dari kacamata apa?[]