Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan ke-73 Republik Indonesia, ada banyak potongan harga yang ditawarkan pusat perbelanjaan dan ritel modern di Soloraya (Solopos, 8 Agustus 18), seperti The Park Mall Solo dan Lotte Mart Solo. Hypermart Solo Grand Mall masih setia dengan promo tiap pekannya.
Ada banyak tema yang diusung untuk menyambut hari kemerdekaan itu. The Park Mall Solo Bru menyelenggarakan banyak acara dan pameran, di antaranya festival kemerdekaan. Di sana akan dilangsungkan lomba-lomba. Sedangkan Lotte Mart Solo mengunggulkan paket diskon serba Rp73.000.
Sebenarnya, potongan harga atau biasa disebut diskon tidak hanya terjadi pada peringatan hari kemerdekaan saja. Pada hari besar lain juga menjamur diskon, misalnya pada Hari Pendidikan Nasional, Hari Kartini, Hari Natal, akhir tahun, maupun pada hari-hari raya. Diskon menjadi ikon yang ditunggu-tunggu sebab menawarkan angka-angka fantastis dan menggoda.
Selain menawarkan diskon, pada momen tertentu juga ada paket murah meriah. Diskon bak primadona yang dirias sedemikian menarik agar diserbu konsumen. Saking menawannya, terkadang muncul rasa penyesalan jika kita tidak memanfaatkan diskon tersebut.
Pola diskon biasa berlagak menyesuaikan momen tertentu. Pada momen peringatan hari kemerdekaan kita akan menemui diskon 17%, diskon 8% maupun diskon 45%. Angka 17, 8, atau 45 sengaja dipilih menjadi angka ampuh karena menyerupai tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Kalaupun ada perubahan angka biasanya karena umur kemerdekaan yang makin bertambah, seperti paket serba Rp73.000 yang menyesuaikan dengan umur Indonesia yang kini 73 tahun. Kalau sekarang angka-angka kemerdekaan dikisahkan menarik karena menjadi ikon diskon, dulu angka itu menyimpan cerita yang tak kalah menarik.
Soekarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (2007) menerangkan sempat terjadi perdebatan dalam pemilihan tanggal proklamasi kemerdekaan antara dirinya dengan Sukarni. Bagi Soekarno, 17 adalah angka keramat yang kala itu bertepatan dengan hari Jumat Legi bulan Ramadan.
Angka itu istimewa karena Alquran juga turun tepat pada tanggal 17 Ramadan. Orang Islam juga melakukan salat 17 rakaat setiap hari. Beberapa hal berhubungan dengan angka 17 itu membuat Soekarno merasa 17 memang angka yang suci.
Tirakat
Jalan terjal menjelang kemerdekaan dihadapi para tokoh negeri ini. Pada masa prakemerdekaan, kondisi bangsa ini bak seseorang yang tengah terluka. Dalam Indonesia Merdeka Biografi Politik Mohammad Hatta (1991), Mavis Rose menggambarkan bahwa kondisi Indonesia menjelang proklamasi sangat memprihatinkan.
Ketika itu, terjadi kelangkaan kebutuhan pokok. Wabah gizi buruk juga meluas di berbagai tempat. Kondisi demikian membuat bangsa prihatin. Tirakat menjadi kunci pembuka gerbang proklamasi. Tirakat pulalah yang kemudian menuntun bangsa ini menerima segala kondisi.
Sikap ini sebenarnya dapat mengilhami, bahwa sebagai bangsa, Indonesia mampu mengupayakan kemerdekaan, meskipun harus menahan banyak cobaan dan godaan. Pada masa seyelah kemerdekaan, tirakat menjadi agenda untuk mengenang proklamasi kemerdekaan. Salah satunya yaitu agenda malam tirakatan menjelang perayaan kemerdekaan.
Dalam agenda ini, biasanya masyarakat berkumpul dalam satu tempat untuk berdoa dan memanjatkan rasa syukur. Tirakat menjadi momen untuk mengingat kembali para tokoh bangsa bersusah payah untuk sampai ke kemerdekaan. Ini masih menjadi tradisi di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Tulungangung, Jawa Timur.
Tirakatan biasa dilangsungkan di alun-alun, halaman kantor bupati, taman makam pahlawan, juga di kantor kelurahan sampai tingkat RT dan RW. Tirakat juga menjadi kebiasaan Tan Malaka ketika menuliskan buku Merdeka 100% (2017). Pada 24 November 1945, Tan melihat secara langsung perjuangan Indonesia melalui perang di Surabaya.
“Dua lusin tahun lamanya saya menunggu-nunggu kejadian yang berlaku dengan pesat dahsyat di Indonesia sekarang ini. Berbahagialah rasanya hidup saya karena bisa menyaksikan perjuangan di Surabaya selama satu minggu lamanya (17–24 November 1945).”
Demikian tulisan Tan dalam baris awal bukunya. Perjuangan bangsa yang demikian menggetarkan membuat Tan menuliskan harapan-harapan besarnya. Ungkapan syukur itu dituangkan dalam karya yang sangat menarik. Tan dengan apik menjelaskan konsep kemerdekaan.
Kemerdekaan sepatutnya mengandung perdamaian bagi seluruh rakyat dan mencapai kemakmuran. Setelah merdeka, Indonesia harus mandiri dalam mengelola kekayaan alam. Kalau sudah begitu, Indonesia akan mampu mendirikan industri berat nasional yang akan menjamin kemakmuran rakyat.
Indonesia tidak boleh bergantung pada modal asing sebab modal asing bagi Tan akan mengakibatkan kekacauan politik negara merdeka. Angka-angka tidak boleh dikompromikan. Tan menggugat: Indonesia harus Merdeka 100%. Nilai 100% bagi Tan bukan sekadar angka presentase. Nilai 100% adalah harga kemerdekaan penuh yang harus dibayar lunas oleh bangsa Indonesia sendiri, tanpa ada campur tangan bangsa-bangsa lain.
Sayangnya, gagasan Tan menguap bersama hilangnya nyawa. Tan tidak berumur panjang, begitu juga ide-idenya tentang kemerdekaan. Dalam perkiraan Tan, kapital yang kadung tertanam sepenuhnya akan menjadi cambuk yang mengungkung kemerdekaan bangsa.
Sejarah kemudian mencatat pada 1967, negara asing mulai masuk dan mendirikan usaha di Indonesia (Historia.id, 28 Agustus 2015). Ada angka-angka yang kemudian dimainkan hingga berujung pada isu “menjual Indonesia”. Orde Lama telah tumbang dan digantikan Orde Baru. Negara tidak lagi bisa dikatakan merdeka 100%.
Kekayaan alam mulai benar-benar dikuasai asing. Dengan dalih pemutaran roda ekonomi, rezim Orde Baru mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No. 1/1967. Alih-alih memakmurkan, pengesahan undang-undang itu membikin kemerdekaan layaknya ‘terjual’.
Kemerdekaan diwujudkan dalam bentuk keberhasilan pembangunan. Di lain sisi, tidak ada tidak ada kemerdekaan negara dari modal asing, perusahaan asing, dan tenaga asing. Bisa jadi, angka-angka yang selama ini dimainkan dalam bentuk diskon adalah wajah lain dari belenggu.
Tidak ada merdeka yang sepenuhnya 100%, semua berdiskon. Sekarang, kemerdekaan hanya diwujudkan dalam angka-angka yang memikat konsumen. Masyarakat akan lebih tertarik mendengar kata diskon daripada murah. Dulu, kata murah acapkali digunakan dalam transaksi di pasar konvensional.
Kata murah mengandung sikap nriman sehingga menarik pembeli untuk mengambil barang tersebut. Kini, kata murah sudah digantikan dengan diskon yang melekat angka-angka yang lebih menggoda untuk mengajak membeli.
Sekarang, kemerdekaan dipandang sebagai angka dan diskon. Angka kemerdekaan tidak lagi dilihat sebagai peringatan melawan penjajahan. Sebaliknya, mengucapkan kata kemerdekaan kiranya cukup mengingatkan kita pada tawaran diskon-diskon yang menggiurkan.
*Tulisan ini pernah dimuat dalam Solopos edisi 14 Agustus 2018 dengan judul “Diskon Kemerdekaan”
Manusia dan kerak-kerak bumi, sama bergeraknya. Hanya, manusia itu lebih absurd