Judul Buku : Gadis Pantai
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Cetakan : Kedua, Maret 2015
Tebal :270 halaman
“Setiap saat, tugas dan kewajiban Gadis Pantai hanyalah sebatas sebagai alat pemuas birahi sang priyayi. Dengan menikahi Gadis Pantai, artinya adalah sah ketika Bendoro, priyayi itu menidurinya.”
Gadis Pantai merupakan sebuah roman yang ditulis Pramoedya Ananta Toer saat ia diasingkan ke Pulau Buru. Roman Gadis Pantai ini mengisahkan seorang gadis manis dari golongan menengah ke bawah yang hidup di kampung nelayan di Rembang , Jawa tengah. Tokoh utama dalam roman ini dipanggil dengan sebutan Gadis Pantai, gadis berusia empat belas tahun yang polos dan lugu yang kemudian dinikahkan dengan seorang dari golongan ningrat yang bekerja pada pemerintahan Belanda, dimana orang biasa memanggilnya Bendoro, seorang pembesar yang tinggal di kota yang kemudian menjadi suami Gadis Pantai. Seorang pembesar yang sopan, ahli agama, namun perlakuannya juga kejam. Gadis Pantai tidak mengerti siapa itu Bendoro suaminya, rupa dan wujudnya seperti apa ia tak tahu. Karena ketika itu, ia hanya dinikahkan dengan sebilah keris sebagai wakil dari Bendoro. Sebelum akhirnya sang gadis diarak oleh beberapa rombongan menuju kota dengan dokar sewaan yang dikirimkan Bendoro tersebut ke kampung nelayan. Berangkatlah ia bersama emak, bapak, kepala dusun, dan beberapa warga kampung nelayan.
Sampailah Gadis Pantai ke sebuah gedung megah, itu adalah tempat tinggal Bendoro. Sekarang posisi gadis pantai adalah istri seorang priyayi, tepatnya istri percobaan priyayi sebelum ia menikah dengan perempuan yang sederajat dengannya. Selama tinggal di kota, kehidupannya berubah drastis, kini tubuhnya dibalut pakaian dari sutra dan tenun yang bahkan tak pernah ia bayangkan. Ia mendapatkan perhiasan emas, dan wewangian yang dipersembahkan khusus untuk dirinya. Segala kebutuhan Gadis Pantai dilayani oleh Bujang Tua yang telah lama mengabdikan seluruh hidupnya di rumah itu. Si Bujang Tua, seorang wanita tua yang setia, penurut, sabar, serta penyayang.
Hari-hari yang dijalani Gadis Pantai serasa melambat, yang dilakukannya setiap hari hanyalah belajar membatik, merenda, atau membuat kue. Selebihnya ia hanya duduk dan berdiam diri di kamar sembari menunggu Bendoro datang dan menjalankan tugasnya melayani nafsu seks sang Bendoro. Gadis Pantai tidak banyak bertanya, keberaniaannya tak ada. Posisinya bukanlah seorang istri (sungguhan), melainkan hanya seorang abdi yang dinikahi secara resmi untuk memenuhi kebutuhan seks sang Bendoro. Ya, hanya seorang budak seks yang mendapatkan prestise dikalangan masyarakat sekitar hanya karena ia mempunyai banyak emas dan tinggal di istana megah. Tak peduli disana nasib Gadis Pantai tidaklah seberuntung bayangan masyarakat kampung nelayan.
Setiap saat, tugas dan kewajiban Gadis Pantai hanyalah sebatas sebagai alat pemuas birahi sang priyayi. Dengan menikahi Gadis Pantai, artinya adalah sah ketika Bendoro, priyayi itu menidurinya. Hanya sebatas itu, tanpa ada kewajiban dan hak-hak lain yang diterima Gadis Pantai. Kebahagiaan Gadis Pantai tak berlangsung lama, dua tahun setelahnya Ia ditendang dan diusir dari rumah pembesar itu setelah seorang anak perempuan berhasil dilahirkannya.
Dalam usia relative muda Ia telah kehilangan masa depannya. Suami tak punya, rumah tak ada, bahkan anak yang dilahirkannya direbut oleh mantan suaminya yang seorang pembesar itu. Sampailah gadis pantai pada kebingungan, untuk pulang ke kampung tempatnya dilahirkan ia malu. Hingga akhirnya Gadis Pantai memutuskan untuk tinggal di rumah Bujang Tua yang pernah menjadi pelayannya.
Dalam novel ini diceritakan tindakan seorang priyayi, ningrat yang perlakuannya semena-mena terhadap kaum kelas menengah ke bawah. Roman Gadis Pantai ini mengangkat kelas sosial dalam kebudayaan Jawa seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:
“Sst. Jangan keras-keras,” bujang memperingatkan emak. “Di sini hanya boleh terdengar suara pembesar yang datang bertamu ke mari. Dan Bendoro sendiri tentu.” (Gadis Pantai, Halaman 19).
Dalam kutipan tersebut bisa diketahui bahwa ada sebuah kelas sosial yang berlaku dalam kehidupan priyayi di tanah Jawa, kaum bawah tidak memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu saat mereka berada di wilayah priyayi. Kaum kelas menengah atas seperti lebih punya kuasa atas segala hal dan membatasi ruang gerak kaum kelas menengah bawah. Dalam teori Marxisme disebutkan bahwa, adanya perlawanan akan pertentangan kelas yang mana kelas dibagi menjadi dua, yakni kelas borjuis dan proletar. Kaum borjuis diwakili oleh golongan priyayi, ningrat. Sedang kaum proletar diwakili orang-orang kampung nelayan.
Dalam roman Gadis Pantai, terlihat bagaimana seorang perempuan yang kedudukannya sebagai seorang istri dan berasal dari keluarga yang berasal dari kampung, ia menempati kedudukan yang inferior atau memiliki kedudukan yang lebih rendah daripada laki-laki yang cenderung memegang kedudukan superior, karena tradisi mendekati dia berperan sebagai orang yang mengurus rumah tangga, meskipun ia sendiri memiliki pelayan. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut:
“Setelah pelayan tua diusir Bendoro, ia mulai kerjakan sendiri segala-galanya di dalam gedung ini.”
Hal tersebut membuktikan bahwa kedudukan seorang istri tidak akan jauh dari mengurus rumah tangga. Ini menandakan bahwa pemikiran orang-orang kala itu cenderung bersikap patriarki. Posisi perempuan selalu diletakkan tidak setara dengan posisi laki-laki. Patriarki adalah sebuah sistem yang diatur oleh laki-laki, yang kekuasaannya dijalankan melalui institusi sosial, politik, ekonomi, dan agama. Semua feminis menentang patriarki, walaupun mereka berbeda konseptualisasi tentang patriarki. Shulamith Firestone memandang pembentukan perempuan sebagai kelas yang lebih rendah muncul dari fungsi reproduksi mereka yang mengidentifikasi struktur keluarga biologis sebagai pusat terjadinya penindasan terhadap perempuan di bawah kekuasaan patriarki
Perempuan tidak memiliki hak atas tubuhnya sendiri. Itulah yang dialami Gadis Pantai. Ia dipaksa mengikuti kemauan orang tuanya terutama bapaknya untuk menikah dengan seseorang yang tidak dikehendakinya. Ia dipaksa bertindak sesuai dengan kehendak hati bapaknya, menuruti apa yang dikatakan bapaknya karena itulah yang diyakini bahwa Gadis Pantai akan bahagia jika mengikuti saran dari orang tuanya itu. Orang tua yang mendominasi anak ini punya kekuasaan untuk menentukan masa depan anaknya. Sang anak tidak diberi pilihan, bahkan tidak mengenali siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya. Sebagai seorang anak yang patuh, Gadis Pantai tetap menuruti keinginan orang tuanya. Walaupun dengan pengetahuan yang terbatas tentang pernikahan bahkan tentang kodrat dirinya sebagai perempuan.
Selain terkait kesetaraan gender yang digugat didalamnya, dari roman ini dapat kita mengerti maksud dari penulis ingin menjelaskan mengenai pertentangan kelas antara kaum priyayi dengan orang biasa. Antara golongan elit dengan golongan rendah. Antara pemilik kuasa dan yang tidak punya apa-apa.
Kelas sosial ternyata bukanlah sebuah status yang ajeg, terjadi perubahan kelas yang dialami Gadis Pantai ketika sebelum menikah dan setelah menikah. Status sosial Gadis Pantai menjadi berubah derajatnya lebih tinggi setelah menikah dengan Bendoro Bupati. Kemudian berubah pada status semula ketika Gadis Pantai diceraikan secara sepihak oleh Bendoro tersebut, ia termarginalisasi. Di sinilah feminisme hadir memberi ruang bagi para perempuan untuk mengkritisi ketimpangan yang sering diterimanya.