“Karena kematian dan kebenaran adalah sama dalam hal bahwa keduanya mensyaratkan keberanian yang besar bila seorang ingin menghadapi mereka. Dan kebenaran adalah seperti kematian dalam arti membunuh. Ketika saya membunuh, saya lakukan hal itu dengan kebenaran bukan dengan sebilah pisau.”
–Nawal el-Saadawi (dalam novel Perempuan di Titik Nol)-
Judul Buku : Perempuan di Titik Nol
Penulis : Nawal el-Saadawi
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun terbit : 2018
Jumlah halaman : XXIV + 176 hlm.
ISBN : 978–602-433–438‑3
Budaya Timur Tengah, khususnya bangsa Arab masih banyak menerapkan budaya patriarki, seperti dalam novel Perempuan di Titik Nol. Novel tersebut menceritakan sebuah budaya yang ada di Tanah Arab, dengan menokohkan salah seorang perempuan yang bernama Firdaus. Novel ini sangat membeberkan bagaimana bangsa Arab memperlakukan perempuan di negaranya.
Nawal el-Saadawi terinspirasi dari riset tentang penyakit saraf di kalangan perempuan Mesir. Lewat novel ini pula Nawal seperti mencoba menggambarkan peliknya kehidupan perempuan Mesir dari tahun 1970–1980 melalui sosok Firdaus. Perempuan sering kali menjadi objek kekerasan dan pelecehan oleh kaum laki-laki. Hal ini seolah menjadi wajar di kalangan masyarakat Arab. Sejak kecil Firdaus sering menjadi sasaran pelecehan seksual dari teman-teman dan pamannya —seorang Syeikh. Bahkan setelah Firdaus menikah, acap kali suaminya sering memuki Firdaus tanpa alasan yang jelas.
Novel ini menguak kesetaraan gender yang ada di Tanah Arab. Firdaus menjadi contoh penggambaran perempuan di Tanah Arab. Dia seringkali terdiskriminasi oleh kesewenang-wenangan laki-laki yang seenaknya memperlakukan perempuan.
Pada awalnya, Firdaus dalam novel tersebut digambarkan sebagai anak yang polos. Namun seiring berjalannya waktu, ia tumbuh sebagai perempuan tangguh dan pemberani. Awal kisah Firdaus hidup dengan Ayah, Ibu, dan Adik-adiknya dalam satu rumah. Firdaus hidup dalam keluarganya yang miskin dan bisa disebut tidak harmonis. Ayahnya hanya seorang petani, sedangkan ibunya hanya berkutat di dalam rumah: memasak, menyapu, berias, dan menghangatkan ayah saat musim dingin melanda.
Pada suatu saat, Pamannya Firdaus pergi ke Kairo. Pamannya berjanji akan mengajari menulis dan membaca kepada Firdaus jika dia pulang nantinya. Ketika Paman naik ke atas kereta api, dan mengucapkan selamat tinggal, Firdaus menangis dan merengek supaya pamannya membawa Firdaus ke Kairo bersamanya. Kemudian Paman bertanya, “Apa yang akan kau perbuat di Kairo, Firdaus?” Lalu Firdaus menjawab,“Saya ingin ke El Azhar dan belajar seperti Paman.” Lantas Paman tertawa dan menjelaskan bahwa El Azhar hanya untuk kaum pria saja. Firdaus pun kembali menangis.
Setelah Ayah dan Ibu Firdaus meninggal, Firdaus tinggal bersama Pamannya. Mereka tinggal hanya berdua saja. Tugas Firdaus di rumah yaitu mencuci pakaian Paman, menyiapkan makan, menyapu, dan juga menghangatkan Paman saat musim dingin melanda. Sesuai dengan janjinya, Paman mengajari Firdaus membaca dan menulis saat menjelang tidur. Firdaus sangat nyaman dengan semua hal itu.
Sampai akhirnya, Paman menikah dengan putri gurunya di El-Azhar —perempuan bertubuh pendek, gemuk, dengan kulit yang agak putih. Suaranya yang halus bukan karena lemah lembut, tetapi kehalusan watak yang kejam. Semenjak itulah, perlakuan Paman kepada Firdaus berubah.
Firdaus kemudian melanjutkan sekolah menengahnya yang jauh dari rumah, ia bermukim di asrama. Selama di sekolah, Firdaus menghabiskan lebih banyak waktunya dengan membaca buku di perpustakaan. Dia senang membaca buku-buku tentang penguasa yang mempunyai selir banyak. Dia tahu banyak bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul uang, seks, dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis, dan menembakan panah beracun.
Usai Firdaus lulus sekolah, ia dinikahkan oleh pamannya —atas usulan istrinya. Firdaus dinikahkan dengan Syekh Mahmoud, usianya 60 tahun lebih, berbanding jauh dengan Firdaus yang 19 tahun. Firdaus merasa tidak nyaman dengan perlakuan Syekh Mahmoud yang suka memukul Firdaus. Syekh Mahmoud adalah “kakek” dengan bisul besar di mulutnya. Sehingga ketika malam Firdaus tidak mau dikecup bibirnya oleh Syekh Mahmoud.
“Pada suatu peristiwa dia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya. Muka dan badan saya memar. Lalu saya tinggalkan rumah dan pergi ke rumah paman. Tetapi Paman mengatakan kepada saya bahwa semua suami memukul isterinya, dan isterinya menambahkan bahwa suaminya pun seringkali memukulnya. Saya katakan, bahwa Paman adalah seorangSyeikh yang terhormat, terpelajar dalam hal agama, dan dia, karena itu tak mungkin memiliki kebiasan memukul isterinya. Dia menjawab, bahwa justru laki-laki yang memahami agama itulah yang suka memukul isterinya. Aturan agama mengijinkan untuk memukul isterinya. Aturan agama menginijnkan untuk melakukan hukuman itu. Seorang isteri yang bijak tidak layak mengeluh tentang suaminya. Kewajibannya ialah kepatuhan yang sempurna.”
Nawal el-Saadawi menyampaikan dalam novel ini, bahwaseorang laki-laki yang lebih paham agama justru ia yang lebih sering melakukan kekerasan kepada istrinya dengan memukul. Karena aturan agama memperbolehkan hukuman tersebut.
Akhirnya Firdaus memutuskan untuk meninggalkan rumah. Ia berjalan dengan tanpa tahu arah tujuan. Ia menangis pada setiap langkahnya. Sesampainya di perempatan, ia duduk dan masih menyisakan tangis. Tak lama kemudian, seorang laki-laki mendekatinya, Bayoumi. Laki-laki ini dengan senang hati mempersilahkan Firdaus untuk tibggal di rumahnya. Firdaus sangat nyaman tinggal di rumah Bayoumi, sebab dia tidak lagi dipukul. Tugas Firdaus adalah memasak, menyapu, dan menghangatkan Bayoumi pada saat musim dingin menghantui.
Bayoumi adalah seorang lelaki yang memperkenalkan Firdaus atas profesi pelacur. Hal inilah yang membuat Firdaus merasa dirinya dijajah laki-laki, ia tidak tahan, dan memilih kabur.
Firdaus pun bertemu seorang perempuan, Sharifa —seorang germo. Berkat Sharifa itu lah Firdaus mengetahui bahwa sebagai peremouan, ia memiliki harga diri yang tinggi. Tetapi di pelacuran itu Firdaus hanya dibodohi oleh Sharifa. Hampir setiap jam Firdaus melayani laki-laki yang masuk ke kamarnya. Dia merasa hanya diperbudak oleh Sharifa, sebab uang yang dibayar oleh para laki-laki itu, masuk ke kantong Sharifa. Akhirnya Firdaus memutuskan untuk kabur dari tempat pelacuran tersebut.
Untuk kesekian kalinya Firdaus kabur, tapi kali ini ia menyadari bahwa tubuhnya seharusnya milik dirinya sendiri, bukan milik orang lain. Dia terus berjalan, pada saat jalan utama dia mendapatkan seorang laki-laki yang “menawarnya”. Firdaus mendapat harga yang mahal. Dia mendapatkan uang senilai sepuluh pon. Itu adalah uang kedua yang ia dapat, setelah uang pemberian dari ayahnya. Kali ini Firdaus merasa puas, sebab mendapatkan uang dengan kerja kerasnya sendiri.
Kebebasan itu adalah hal yang istimewa menurut Firdaus. Firdaus baru sadar bahwa semudah itu untuk menjual dengan harga yang mahal. Ia juga sadar bahwa tubuhnya bukan milik Syekh Mahmoud, Bayoumi ataupun Sharifa, tetapi miliknya sendiri. Dia sekarang bebas bisa menjual tubuhnya seenaknya dengan harga jual yang mahal.
Suatu hari, seorang Germo yang meminta Firdaus untuk dinikahi. Firdaus tidak menyukai keadaannya saat itu, ia kembali memutuskan untuk kabur. Namun Germo itu sudah ada di ambang pintu. Percecokan pun terjadi, mereka saling beradu mulut. Merasa terancam lelaki Germo itu mengambil pisau yang ada di dalam sakunya. Namun Firdaus dengan cepat menangkis dan menancapkan ke leher, dada, dan perut si Germo. Lalu Firdaus kabur. Polisi menangkap dan memutuskan Fidaus untuk dieksekusi gantung.
Cerita pun berakhir ketika Firdaus diseret untuk dihukum gantung karena telah membunuh dan menampar seorang bangsawan. Sebenarnya Firdaus bisa bebas dengan meminta pengampunan ke Presiden, namun Fidaus menolak.
“Mereka tahu bahwa selama saya masih hidup mereka tidak akan aman, bahwa saya akan membunuh mereka. Hidup saya berarti kematian mereka. Kematian saya berarti hidup mereka. Mereka ingin hidup. Dan hidup bagi mereka berarti semakin banyak kejahatan, semakin banyak perampokan, perampasan yang tak terbatas,” kata Firdaus saat di sel penjara.
Penulis: Rifqi Ihza F.
Editor: Nifa Kurnia F.
Redaktur Online
Miris banget. Di Indonesia kasus pelecehan tiap tahun meningkat. Namun ternyata ada yang lebih parah lagi. Juga di India, disana gap culture terjadi setiap harinya. Akankah ini akan berakhir. Korban sexual harrasment saja kadang masih dihakimi saat melapor kepada pihak yang berwajib. Dan ditanya apakah sebagai perempuan kita menikmati perlakuan tersebut. “Jelas tentu saja tidak”. Bahkan mau kita memakai pakaian yang tertutup sekalipun laki-laki masih menganggap perempuan sebagai objek seksual.