Aku ter­cip­ta bukan kare­na pen­cip­ta sedang bercanda

Aku ada bukan kare­na mere­ka iseng-iseng saja

Aku adalah buah dari cin­ta, bukan hina semata

Aku adalah sket­sa karsa orang tua, bukan hanya fatamorgana


Bau tubuhku seru­pa kem­bang tujuh rupa, yang nubu­at oleh pin­tu sur­ga yang pertama

Menyeli­nap ke dasar-dasar rong­ga dada, meronta-ronta memak­sa mem­ba­ca fana dunia


Belum kure­ka bahasa-bahasa manusia

Air mata mengem­bara tan­da dahaga

Sayup-sayup sab­da ayah menyeli­nap telinga

Berke­lana mewar­na jiwa den­gan riuh-riuh agama

Besar harap dan ucap agar kelak taat pada Tuhannya


Masa bali­ta adalah gem­bi­ra pal­ing setia

Bermain kere­ta di bawah pohon Akasia


Usia semakin hari semakin bertambah

Kupu-kupu ter­bang men­cari darah

Kum­bang-kum­bang hijrah menen­gok sejarah

Duni­aku legam seo­lah, tan­pa celoteh seo­rang ayah


Jadi anak berbak­ti duni­awi, dap­atkan rid­ha sur­gawi,” celoteh ayah yang gagal men­u­ai kisah


Anakku yang can­tik, takdir tak bisa dipetik, hanya sang­gup sal­ing menggelitik.”


Ibuku lebih memabukkan dari anggur yang diteguk teman-teman

Ibuku lebih mengi­gaukan dari pil yang diminum war­ga-war­ga sel tahanan

Tan­pa anggur, aku terbuai

Aku terka­par, dan terkulai


Kolam ikan, 23 Juli 2019