1935, Tuhan cip­takan romansa jena­ma Ren­dra. Yang tum­buh elok rupa­nya, segar bugar tan­pa memar.

Saat rema­ja, rupa-rupa ter­ma ia ter­ka den­gan sen­ga­ja. Hing­ga pada saat­nya, puak bahasa muntah dari laharnya.

Pegari, puisi-puisi untuk Sunarti.

Salah teka negara tak buat ia berdiam saja. Untuknya, ia rapal mantra di seti­ap peristiwa.

Poli­tik yang pelik menggelitik.

Ia kri­tik hing­ga capai batas titik. 

Anak muda tak berdaya.

Ia sulut ketaya agar mem­bara harapnya.

Sas­tra-sas­tra tak per­nah diam saja.

Pujang­ga-pujang­ga ia cip­ta agar kata tak mati sia-sia.

Dalu­ang-dalu­ang dip­inang jadi rumah keabadian.

Hing­ga saatnya … 

Baya yang tak muda dip­u­langkan oleh Pencipta.

Agar tak dunia saja tem­pat ia cengkra­ma aksara.

Sebab, nir­wana pula gulana akan syairnya.