Kontrakan rumah nenek sedang sepi. Hanya ada aku dan seperangkat alat komputer di depanku. Di luar angin bertiup lumayan kencang, menjadikan suasana agak horor. Disaat angin yang masuk melalui celah-celah ventilasi membelai lembut kulitku, disitulah rasa takut menghampiri. Aku benci suasana seperti ini. Padahal saat ini siang hari.
Kata pemilik kontrakan sih, bangunan ini dulunya tempat tinggal seorang dokter yang tidak pernah menikah sampai ajal menjemputnya. Kemudian sang dokter bunuh diri karena depresi berat. Terkadang saat malam hari, ada saja hal-hal ganjil yang selalu terjadi di kontrakan. Mulai dari ketukan pintu misterius sampai ada yang menarik selimut saat tidur. Tapi kejadian seperti itu sering kami abaikan. Malah menjadi guyonan, “Mungkin sang dokter sedang kangen dengan rumahnya…” celetuk teman-teman.
Setelah satu jam bertahan dalam situasi horor, datanglah Udin.
“Syukurlah”, batinku.
Kedatangannya kali ini ternyata untuk mengajakku ngopi. Katanya ada warung kopi baru dengan konsep mirip kafe. Kebetulan sekali. Aku butuh tempat baru untuk mengerjakan naskah buku. Tak perlu banyak pertimbangan aku langsung menjawab, “oke sikat.” Aku masuk ke kamar mempersiapkan segala alat tempurku laptop, charger, dan earphone masuk kedalam totebag kesayangan.
“Yuk gasss”, ucap Udin.
Sampai depan pintu Udin berkata, “pakai motor lu dulu ya, motor gua bensinnya habis soalnya hehe…”. Kebiasaan, setiap mau ngopi Udin selalu punya alasan untuk tidak memakai motornya. Padahal aku tau, bensinnya masih banyak. Dia melakukan itu supaya irit. Aku sebagai teman yang baik bin loyal, hanya memakluminya. Wajar, mahasiswa rantau. Kamipun berangkat dengan vespa bututku yang tidak bisa ngebut.
Sampai di tempat ngopi, aku agak terkejut dengan bentuk bangunannya. Udin benar, angkringan ini agak beda. Sangat pas untuk mengerjakan naskah buku yang sudah lama mangkrak. Kami langsung ke kasir, memesan minuman masing-masing dan segera mencari tempat duduk yang kosong. Karena hari ini hari selasa, jadi angkringan ini tidak begitu ramai. Tidak sulit menemukan kursi kosong yang nyaman.
“Gimana hubungan lu sama si Fira”, tanyaku tiba-tiba.
Dengan sedikit kaget, Udin menjawab, “yah, bertengkar seperti biasa, ngambekan seperti biasa”.
Hubungan mereka dari awal memang agak aneh. Bertengkar terus, walau yang diperdebatkan adalah masalah sepele.
“Baik-baik lu sama dia”, ujarku kembali.
~
Pelayan angkringan menghampiri dengan membawa minuman pesanan kami.
“Mas ada stopkontak lagi gak?”, tanya Udin.
Dengan muka sedikit masam, pelayan itu menjawab, “aduh maaf mas, disini tidak menyediakan”. Setelah mendengar jawaban itu raut muka kawanku menandakan kekecewaan. “oh yasudah mas”, pelayan yang memakai kaos hitam itu kembali ke kasir setelah sebelumnya meminta maaf kepada kami.
Tidak bisa dipungkiri — karena tidak ingin kehilangan pelanggan, kedai yang berada di sekitar kampus selalu menyediakan stopkontak tambahan untuk pelanggannya yang mayoritas diisi oleh mahasiswa sedang mengerjakan tugas kuliah. Tapi sepertinya, aturan itu tidak berlaku di kedai ini.
“Duh gimana nih, baterai gua abis, mana di sini gak ada stopkontak lagi”, keluh udin.
“Ya gimana Din, kan gak semua kedai kopi menyediakan stopkontak. Mungkin pemilik kedai ingin pelanggannya lebih bisa bersosial daripada main hp mulu. Udah nikmatin aja” tukasku sambil mengeluarkan laptop dari tote bag.
Selama proses loading laptopku berjalan, Udin masih terus mengeluhkan kekurangan dari kedai ini. Setelah laptokku terbuka ke laman home, aku kaget ternyata baterai laptopku juga hampir sekarat.
“Aduhhhh”
“Eh, eh kenapa?” tanya Udin yang masih sedikit kaget.
“Laptop gua juga hampir sekarat Din. Duh mana gak ada stop kontak lagi..” aku yang ganti mengeluh.
“Kan, apa gua bilang. Huft, tempat doang bagus tapi gak friendly buat mahasiswa.” Jawab Udin.
“Lah terus kita gimana dong, mana gua udah semangat banget buat nulis naskah.” Aku masih tetap mengeluh.
“Udah, mending kita habisin dulu minumnya, abis itu kita pindah ke kedai biasanya, di sana pasti ada apa yang kita butuhin saat ini.” Saran yang sangat pas dari Udin.
“Haah, yaudah deh kalau gitu, sebatang dulu lah”, tukasku sambil menyalakan sebatang rokok “Yaudah iyeee.” Jawab Udin.
Penulis: Dadang
Editor: Nurul
Memperbesar peluang dari waktu yang berpeluang terbuang.