Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga marak diperdebatkan. Hal ini terjadi lantaran terdapat pasal-pasal yang kontroversional. Selain itu, RUU ini oleh sebagian masyarakat dianggap terlalu ikut campur dalam ranah privat.
Berdasarkan berita yang dilansir oleh tempo.co pada Kamis, 20 Februari 2020, menyebutkan bahwa draf RUU Ketahanan Keluarga ini diusulkan oleh perorangan. Pengusul tersebut antara lain, yaitu Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sodik Mudjahid dari Gerindra, Endang Maria Astuti dari Golkar, dan Ali Taher dari Partai Amanat Nasional (PAN). Sementara dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sendiri masih mempertimbangkannya.
Sedangkan menurut berita yang dilansir oleh kumparan.com pada Rabu, 19 Februari 2020, memuat motif dibentuknya RUU Ketahanan Keluarga. Di lamannya dipaparkan bahwa Endang dari pihak Golkar mengatakan awal mula RUU ini diajukan karena adanya keresahan orang tua. Mereka, Si Orang Tua, menjelaskan bahwa sekarang ini marak kasus anak yang terkena narkoba, terpapar pornografi, kekerasan seksual dan bullying.
Bagaimanapun, hal tersebut tidak cukup kuat untuk menjadi alasan dibentukknya RUU. Pasalnya, di dalam draf RUU memuat beberapa pasal yang dianggap merugikan beberapa pihak. RUU yang dipermasalahkan antara lain, yaitu perihal kewajiban dan hak suami, istri, dan anak, penanganan krisis keluarga karena penyimpangan seksual, pelarangan terhadap pendonor sperma dan ovum, dan pelarangan surogasi (penyewaan rahim).
Pertama, perihal kewajiban dan hak suami, istri, dan anak. Melihat dari draf yang telah disusun, seakan-akan manusia diharuskan menjadi suami, istri, dan anak. Selain itu, terdapat pembatasan peran dalam pasal-pasal ini.
Kedua, penanganan krisis keluarga karena penyimpangan seksual. Ini yang lucu dan banyak diperbincangkan di akun media sosial. Bukan lagi memarginalkan kaum penyuka sesama jenis, tetapi pasal di RUU ini malah dengan lantang menyalahkannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya pelaporan kepada pihak berwajib dan perlunya rehabilitasi bagi penyuka sesama jenis.
Ketiga, pelarangan terhadap pendonor sperma dan ovum. Pasal dalam RUU ini menyebutkan, bagi manusia yang mendonorkan sperma atau ovumnya kepada seseorang akan mendapatkan sanksi. Bahkan urusan dalam saja masih dipermasalahkan. Bukankah ini terlalu privasi?
Terakhir, pelarangan surogasi (penyewaan rahim). Sama halnya dengan pendonoran sperma dan ovum, mereka yang melakukannya baik secara sukarela atau melalui lembaga akan mendapatkan sanksi. Bahkan rahim saja bukan lagi milik perempuan, tetapi milik pemerintah.
Melihat beberapa pasal kontroversi tersebut, seakan mereka, Si Pembuat RUU lupa terhadap sejarah perjuangan feminis liberal dulu. Di mana feminis ini menuntut hak-hak perempuan di ranah publik. Hak-hak tersebut meliputi pendidikan, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Artinya, perempuan tidak hanya berkecimpung di domestik tetapi juga publik.
Bukan hanya perempuan yang dikekang di domestik menurut RUU tersebut, tetapi juga laki-laki. Dikiranya laki-laki tidak bisa di domestik? Laki-laki harus menjadi kuat dan pelindung? Mereka juga punyak hak untuk menentukan pilihan.
Memang sangat disayangkan jika RUU ini tidak memiliki keadilan gender di dalamnya. Hal ini seakan-akan turut mengabaikan perjuangan terhadap keadilan gender yang dari dulu hingga sekarang masih diperjuangkan. Selain itu, menurut pemaparan dari Arief Rahadian, Peneliti Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) yang dilansir dalam tirto.id pada Kamis, 20 Februari 2020, menyatakan bahwa kata ‘setara’, ‘kekerasan’, ‘poligami’, sama sekali tidak diatur. Justru keyword-keyword pentingnya tidak masuk.
Inilah mengapa keadilan gender perlu diterapkan. Bukan hanya di undang-udang, melainkan di segela ruang. Inilah salah satu cara dalam memanusiakan manusia.
Adapun Draf Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga Seperti Berikut:
Pasal 31
(1) Setiap Orang dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.
(2) Setiap Orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.
Pasal 139
Setiap Orang yang dengan sengaja memperjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 140
Setiap Orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 85
Badan yang menangani Ketahanan Keluarga wajib melaksanakan penanganan Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) huruf f berupa:
a. rehabilitasi sosial;
b. rehabilitasi psikologis;
c. bimbingan rohani; dan/atau
d. rehabilitasi medis.
Pasal 85
Ayat (1)
Yang adalah dimaksud dorongan dengan “penyimpangan kepuasan seksual” seksual yang ditunjukkan tidak lazim atau dengan cara-cara tidak wajar, meliputi antara lain:
a. Sadisme adalah mendapatkan cara kepuasan seseorang untuk seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya.
b. Masochisme kebalikan dari sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.
c. Homosex (pria dengan pria) dan lesbian (wanita dengan wanita) merupakan masalah identitas
sosial dimana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama.
d. Incest adalah hubungan seksual yang terjadi antara orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, atau menyamping, sepersusuan, hubungan semenda, dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk kawin.
Pasal 32
(1) Setiap Orang dilarang melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan.
(2) Setiap Orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan.
Pasal 141
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan surogasi untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 142
Setiap Orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain agar bersedia melakukan surogasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) untuk memperoleh keturunan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tahun) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 25
(2) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:
a. sebagai kepala Keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan Keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan Keluarga;
b. melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran;
c. melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; serta
d. melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.
(3) Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:
a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;
b. menjaga keutuhan keluarga; serta
c. memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan Anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penulis: Miftakhul Ulum A.
Redaktur: Rifqi Ihza F.